Sunday, February 19, 2012

Untuk Ibuku



“Dek, kamu gak sekolah, ini sudah siang loh. Kak Danar juga sudah berangkat…” Ibu Sari membangunkan Satrio yang belum bangun juga. Padahal ini sudah pukul setengah tujuh. Seharusnya, Satrio berangkat bersama Kak Danar.

“Iya Bu, sebentar lagi. Satrio masih capek, kelamaan main futsalnya kemarin, Kak Danar siih..” Ujar Satrio dari balik selimut. Ia mencoba mencari-cari alasan.

Ibu Sari hanya menggelengkan kepala, kemudian kembali melanjutkan menjahit pesanan kebaya. Meski begitu, ia sedang menebak-nebak kenapa Satrio mendadak malas ke sekolah. Ah, pasti ada apa-apa nih, batinnya entang putra bungsunya yang masih duduk di kelas dua SMU itu.

Telepon rumah berbunyi, “Siapa ya yang menelpon pagi – pagi begini? Apa jangan – jangan Bu Salim yang mau ambil pesanan kebaya, duh, belum selesai lagi.” gumam Ibu Sari. Maklum mereka hanya tinggal bertiga di rumah mungil itu, dan semenjak suaminya meninggal, Ibu Sari harus berjuang menjadi penanggung kebutuhan keluarga. Dan saking sibuknya mengejar orderan karena mendekati waktunya bayaran uang sekolah, Ibu Sari kelabakan meladeni pelanggan.

“Halo, selamat pagi..ohya Ibu wali kelas Satrio? Oh, Satrio punya hutang? Wah..maaf Bu saya juga nggak ngerti kok bisa begitu ya Satrio, ini ada di rumah sekarang, Bu. Nanti coba saya bicarakan Bu, terima kasih pemberitahuannya.”

Mendengar kabar bahwa anak bungsunya ternyata memiliki hutang uang buku yang cukup banyak yang telah dibayarkan oleh Ibu Sari kepadanya, membuatnya lemas sesaat dan terduduk di meja jahit. Ia tak habis pikir kenapa anaknya bisa begitu, buat apa uang sebanyak itu untuk seorang anak SMA seperti Satrio. Ia kemudian berjalan ke arah kamar Satrio sambil memegang kepalanya yang terasa agak pusing.

“Satrio, bangun Nak, hari ini ibu buatkan nasi goreng sosis kesukaan kamu,” Bu Sari duduk di tepi pembaringan Satrio, sambil mengguncang-guncang tubuh Satrio yang masih terbalut selimut.

Agak lama Satrio mengintip dari balik selimut. Ibunya masih ada di sebelahnya. Satrio pun nyengir, bergegas bangun lalu mencium pipi ibunya. Bocah SMA yang hobi sepakbola ini tetiba saja manja. Ibunya pasti bingung, sebingung Satrio menyembunyikan kegelisahannya pagi ini. Uuuh… harus gimana nih, aku harus jawab apa ya kalau ibu bertanya. Satrio bercakap dengan dirinya sendiri.

Namun ketika Satrio hendak duduk di meja makan, ia mendapati ibunya terkulai lemas di lantai dan menyenderkan tubuhnya ke pinggir kaki meja makan. “Bu, ada apa Bu? Ibu sakit?”, tanya Satrio panik.

“Nggak apa – apa kok, nak, coba bantu Ibu ke tempat tidur, mungkin hanya cape saja.” Satrio kemudian mengangkat tubuh Ibu Sari dan menggantungkan tangan kanan ibunya ke pundaknya, berdua mereka berjalan tertarih – tatih ke kamar.

“Bu, apa mau kubelikan obat saja?”
“Nggak perlu,nak, lagian kita masih banyak kebutuhan, kan lebih baik buat bayar hutangmu saja, ohya tadi wali kelasmu telpon, kamu disuruh ke sekolah hari ini. ” tanpa mempedulikan tubuhnya yang lemah, Ibu Sari meraih dompet yang ada di dalam lemari dekat tempat tidurnya, sedangkan muka Satrio tiba – tiba berubah, terkejut mendengar apa yang dikatakan ibunya.
“Ini, nak, ambillah, dan kasih ke wali kelasmu ya.”

Mata Satrio berkaca – kaca, “Bu, jangan Bu, ini salahku Bu, Ibu terlalu baik, aku pakai uang buku itu untuk ke warnet, Bu, awalnya aku cuma mau cari bahan untuk tugas sekolah, tapi lama – lama aku malah main game, maafkan aku Bu.”

Satrio menyelimuti ibunya yang telah berbaring di tempat tidur. Pikirannya lalu melayang pada hari kemarin, ketika ia entah bagaimana bisa, semena-mena terbius candu terhadap game online yang akhir-akhir ini juga menjangkit di sebagian besar teman-teman sekolahnya. Padahal, sekali waktu, Kak Danar sudah mengingatkannya agar tidak lagi bermain game online yang ternyata memang cukup menguras uang sakunya. Sampai – sampai ia memaksakan dirinya mengambil sedikit demi sedikit uang yang diberi ibunya untuk membeli buku pelajaran itu sampai habis terpakai.

“Tidak apa-apa, nak, yang penting jangan diulang lagi ya, semua orang pernah berbuat salah, mungkin ini salah Ibu juga yang kurang memperhatikan kamu beberapa minggu ini, karena sibuknya pesanan Ibu, kan sebentar lagi kamu juga perlu bayar uang sekolah.”

“Jangan, Bu, Satrio sudah berencana mau kerja part time jadi loper koran, Bu, lumayan uangnya bisa dikumpulkan sedikit demi sedikit, Bu, Satrio janji tidak akan mengganggu waktu sekolah dan waktu belajar ya Bu, uang Ibu disimpan saja.” kini Ibu Sari pun ikut meneteskan air mata melihat kedua tangan anaknya yang menyerahkan kembali uang yang sudah diberikan padanya.

“Tidak apa-apa, nak, ini memang tugas Ibu, adalah tanggung jawab Ibu demi kalian, ini adalah amanah dari Bapakmu, demi apapun Ibu akan terus berjuang untuk kalian..”

“Sst..Ibu..sudah jangan banyak bicara dulu, Ibu perlu istirahat, aku bikinkan teh manis hangat ya,” Satrio tidak tahan lagi mendengar kata – kata Ibunya yang begitu mengasihi dia, ia sangat menyesal dengan apa yang telah diperbuat. Ia tidak menyadari betapa Ibunya sudah berjuang untuk dirinya tanpa mempedulikan kesehatannya. Di pagi hari itu sambil membuatkan teh untuk Ibunya ia bertekad dalam hati, untuk selalu berjuang bagi Ibunya, sekalipun sepertinya masa depannya tidak pasti karena keadaan ekonomi mereka, namun satu hal ia percaya akan kasih Ibunya yang akan terus membuatnya bertahan.



Tulisan kolaborasi @dreamofmay dan @wulanparker

No comments: