Tak seperti biasanya, hari ini Utari masih bermalas-malasan
di kamarnya. Tubuhnya masih bersembunyi di balik selimut, namun matanya telah
terjaga sejak subuh tadi. Ah, mimpinya semalam membuatnya semakin merasa aneh.
Ya, ada sesuatu yang ia pikirkan. Tapi, Utari tak tahu harus menceritakannya
kepada siapa.
Tak lama kemudian, ia duduk di tepi pembaringannya. Dibolak-baliknya buku yang belum juga habis dibacanya. Ia masih ribut sendiri dengan pikirannya yang terus berkelana. Tetiba handphonenya berdering. Layarnya berkedip-kedip. Huruf-huruf kecil itu tersusun sempurna membentuk sebuah nama.
"Pagi, ada apa
Aryo?" segera Utari menjawab telepon.
"Kamu gak kuliah Tar?" teriak suara di seberang. Berisik sekali, sepertinya si empunya suara sedang berada di jalan.
"Kuliah, kenapa Yo?" sambung Utari cepat.
"Kamu gak kuliah Tar?" teriak suara di seberang. Berisik sekali, sepertinya si empunya suara sedang berada di jalan.
"Kuliah, kenapa Yo?" sambung Utari cepat.
"Aku jemput kamu
ya?" sekali lagi Aryo mengeraskan suaranya.
"Gak usah, aku bisa berangkat sendiri, lagian aku
belum siap-siap," ujar Utari sedikit ketus.
Aryo pun tak bisa memaksa. Ia
menyudahi pembicaraannya, dan menutup telepon.
Uuuhh... Utari makin bingung dengan telepon dari Aryo. Apalagi sih maunya cowok
ini, pikirnya kesal. Dengan segera Utari beranjak bangun, berseiap-siap berangkat ke kampus. Mending
buruan berangkat deh, daripada kedulua di jemput si Aryo, batin Utari sembari
melenggang ke kamar mandi.
***
"Utari..."
Ah.. si Aryo lagi. Utari hanya tersenyum.
"Tadi aku ke rumah Tar,
kamunya udah berangkat." Aryo berusaha membuka percakapan
"Kan udah aku bilang, aku berangkat sendiri."
"Tapi Tar, aku mau ngomong sesuatu," perkataan Aryo kali ini menghentikan langkah Utari menuju kelasnya.
Utari melirik jam tangannya. Kuliah akan dimulai sepuluh menit lagi. Ia tak punya waktu untuk bercakap-cakap lebih lama dengan Aryo.
"Ehhmm, tapi maaf Yo, aku ada kuliah statistik. Nanti siang aja ya, kita ketemunya," ujar Utari tegas. Lalu melangkah meninggalkan Aryo sendirian.
"Kan udah aku bilang, aku berangkat sendiri."
"Tapi Tar, aku mau ngomong sesuatu," perkataan Aryo kali ini menghentikan langkah Utari menuju kelasnya.
Utari melirik jam tangannya. Kuliah akan dimulai sepuluh menit lagi. Ia tak punya waktu untuk bercakap-cakap lebih lama dengan Aryo.
"Ehhmm, tapi maaf Yo, aku ada kuliah statistik. Nanti siang aja ya, kita ketemunya," ujar Utari tegas. Lalu melangkah meninggalkan Aryo sendirian.
***
Siangnya, Aryo sengaja datang ke ruang kuliah Utari. Utari tampak masih sibuk
dengan laptopnya. Aryo pun berjalan mendekat.
"Kamu masih sibuk?" sapa Aryo dengan tiba-tiba duduk di samping
Utari.
Utari terkejut, "Eh, kamu Yo.. ada apa?" Utari balik bertanya. Utari
menutup layar laptopnya yang masih menyala.
"Ehmm... kita makan dulu yuk Tar, kan udah waktunya istirahat," ajak Aryo.
Utari masih diam.
"Ehmm... kita makan dulu yuk Tar, kan udah waktunya istirahat," ajak Aryo.
Utari masih diam.
Dari sudut ruangan, tampak Adelia melambaikan tangannya pada
Utari. "Tari, sini deh, soal nomer lima tadi gimana deh caranya?"
tanya Adelia.
"Bentar Del, aku liat punya aku sebentar," jawab Utari sambil membuka kembali laptopnya. Belum sempat ia memerhatikan soal yang ditanyakan Adelia, Adelia sudah menyeret Utari untuk datang ke bangkunya. "Ayoo...kamu ke tempat aku aja..." rajuk Adelia.
"Bentar Del, aku liat punya aku sebentar," jawab Utari sambil membuka kembali laptopnya. Belum sempat ia memerhatikan soal yang ditanyakan Adelia, Adelia sudah menyeret Utari untuk datang ke bangkunya. "Ayoo...kamu ke tempat aku aja..." rajuk Adelia.
Sementara Utari pergi ke meja Adelia, ada yang menarik perhatian Aryo dari laptop Utari. Aryo mendekat ke laptop itu, di layarnya, menghampar satu tulisan di blog milik Utari. Perlahan, dibacanya kalimat demi kalimat yang tertulis di blog itu. Ada keringat dingin yang mengucur makin deras dari kening Aryo. Aryo pun terpaku dengan kalimat "Bukan karena aku gak suka sama dia, tapi aku tau betul, sahabat dekatku, suka sama cowok itu. Cowok yang juga dekat dengan aku."
Belum selesai Aryo membaca serentetan tulisan-tulisan itu Utari berjalan mendekat ke tempat duduknya semula. Aryo terburu-buru membetulkan letak laptop Utari seperti semula.
“Kamu kenapa Yo? Kok kaget gitu?" ujar Utari sembari duduk kembali di tempatnya.
“Ah.. nggak.. gak apa-apa Tar, yuk temenin aku makan, sekalian aku pengen ngomong sesuatu sama kamu."
"Okelah, kita ke kantin biasanya aja ya," Utari kali ini menyerah dan mengikuti kemauan Aryo.
***
Aryo terdiam sesaat. Ia teringat tentang tulisan yang ia baca tadi.
Aryo menghela nafas panjang. Kalimat yang sudah disususnnya sejak tadi malam dan ingin ia ungkap kepada Utari, sekarang berantakan. Jujur saja, Aryo tak pernah bayangkan bakal seperti ini kejadiannya. Aryo terdiam. Bungkam, ia hanya mampu menatap Utari yang dengan lahapnya menikmati menu kesukaannya. Sedangkan dirinya, membiarkan semangkuk baksonya menguap. Menguap bersama harap yang tetiba ia hapus sendiri. Mungkin.
Aryo menghela nafas panjang. Kalimat yang sudah disususnnya sejak tadi malam dan ingin ia ungkap kepada Utari, sekarang berantakan. Jujur saja, Aryo tak pernah bayangkan bakal seperti ini kejadiannya. Aryo terdiam. Bungkam, ia hanya mampu menatap Utari yang dengan lahapnya menikmati menu kesukaannya. Sedangkan dirinya, membiarkan semangkuk baksonya menguap. Menguap bersama harap yang tetiba ia hapus sendiri. Mungkin.
"Tar, kamu sayang sama Adelia?" tanya Aryo tiba-tiba.
"Yaiyalah,
kenapa musti tanya," jawab Utari ketus.
Aryo kembali terdiam. Ia mencoba menyesap es capucino yang dipesannya. Tetap
saja, tak menyusut keraguannya untuk berkata-kata.
"Tar...." suara Aryo sedikit parau.
"Hmm..." Utari tak serius menimpali. Ia sibuk menambahkan saus sambal ke dalam mangkuk mi ayamnya.
Utari berusaha menyembunyikan kebingungannya. Ia berusaha menebak-nebak apa yang akan dikatakan Aryo padanya.
"Haahh.. pedes banget nih
ternyata," ceplos Utari mengurangi ketegangan. Padahal, itu tak terlalu
pedas, ia hanya ingin menyamarkan keringat yang mulai mengucur dari keningnya.
Aryo mulai menangkap gelagat aneh Utari. Ia mulai paham, Utari pun bingung menghadapi dirinya yang tak mampu mengucap apa-apa.
"Tar, maaf, selama ini bukan tak ada alasan kenapa aku selalu memperhatikan kamu. Aku......." Aryo berucap terbata-bata.
"Taaarraaa... haaaaaiiiii... kalian masih asik aja disini... gabung dong...." Belum selesai Aryo mengungkap kalimatnya, tetiba Adelia datang dengan semangkuk bakso dan langsung duduk di sebelah Aryo.
"Hai... ayok aja... kita belum kelar koook," sambut Utari sambil nyengir.
"O iya Yo.. ntar malem ada acara nggak?" Adel
membuka pembicaraan diantara mereka bertiga
Dengan spontan Aryo dan Utari saling melemparkan pandangan.
"ya maksudku mau refreshing, jalan-jalan gitu Yo" lanjut Adel.
"Hmmm... lain kali aja ya kita jalan-jalan bertiga. Kalau malam ini, aku belum bisa..." Aryo memberikan jawaban seraya tersenyum pada Adelia.
Adelia memasang tampang cemberut.
"Tenang aja, kamu nggak usah sedih gitu, lain kali Aryo pasti mau kok jalan bareng kamu..." hibur Utari pada sahabatnya itu.
Dengan spontan Aryo dan Utari saling melemparkan pandangan.
"ya maksudku mau refreshing, jalan-jalan gitu Yo" lanjut Adel.
"Hmmm... lain kali aja ya kita jalan-jalan bertiga. Kalau malam ini, aku belum bisa..." Aryo memberikan jawaban seraya tersenyum pada Adelia.
Adelia memasang tampang cemberut.
"Tenang aja, kamu nggak usah sedih gitu, lain kali Aryo pasti mau kok jalan bareng kamu..." hibur Utari pada sahabatnya itu.
Aryo dan Utari kembali saling berpandangan. Mereka sama-sama tak mampu berkata-kata. Entah mana yang harus dipertahankan. Untuk saat ini, Utari memilih diam.
Sejak siang itu, Aryo mulai mengurangi intensitas pertemuan dengan Utari maupun Adelia. Aryo memilih menyimpan perasaannya dan entah kapan ia kan meluruhkannya.
Tulisan kolaborasi @wulanparker dan @sawitrii21
No comments:
Post a Comment