Saturday, March 20, 2010

Suami Piala Dunia

Jadi gadis pemimpi itu mengasyikkan!! Menahun, kegiatan yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah ingin untuk dihentikan, adalah bermimpi. Tentang apa saja, yang jelas sesuatu yang membuat diri senyum-senyum sendiri membayangkan masa-masa yang akan terjadi. Wuahh spektakuler yang terbentuk atas sugesti sendiri, wkwkwkwkwk…..

Sebagai penikmat bola bau kencur, kadang aku juga punya mimpi aneh dari kegiatan persepakbolaan itu. Mulai dari jadi pemain bola, jadi psikolog sebuah tim sepak bola, atau sekadar menjadi supporter sejati yang bakal rela nonton secara langsung laga negeri Indonseia di sebuah perhelatan akbar Piala Dunia *ini sih harapan yang sangat diidam-idamkan*. Seperti saat itu....

Juni-Juli 2006

Sebuah program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang merupakan tugas wajib dari kampus mengharuskan aku bergulat dengan kehidupan sosial di sebuah kawasan terpencil di ujung timur Provinsi Jawa Timur *pemindahtanganan kegagalan untuk pergi ke Sawahlunto*. Menerima tugas negara yang cukup menyenangkan *lebay* dan melelahkan, tak menghalangi naluriku untuk berjuang mendapatkan siaran Piala Dunia 2006 di Bumi Bondowoso itu.

Memaklumi tak semua warga memiliki televisi layak tonton, harus sabar menunggu pertandingan-pertandingan besar yang memikat warga untuk menontonnya juga, sehingga mereka siap pasang channel dan tentu saja siap "digerebek" sekompi mahasiswa pegila bola yang tak tahu diri *malem2 buta nebeng nonton bola*.

Untungnya, signal ponsel lumayan bisa diandalkan. Info dari rekan-rekan nun jauh di kota bisa diakses lebih cepat dan akurat. Tapi tetep, pertandingan final harus disaksikan dengan mata kepala sendiri.

Masih ingat betul, perjuangan mencari tumpangan nonton final cukup sulit. Tadinya, Koramil bakal menjadi tempat asyik buat nonton bareng begundal-begundal KKN yang aneh itu. Sayangnya, televisinya bener-bener nggak kooperatif. Hingga akhirnya, tetangga seberang menjadi pilihan terakhir meski layar tipi banyak ‘semut’nya hehehehehe…

Duduk di kursi paling depan *nyadar ukuran badan paling minim* lengkap dengan sarung, kerpus, kaos tangan dan kaos kaki, aku nangkring dengan indahnya menyaksikan setiap pose yang dipamerkan para pemain Italia dan Perancis. Maklum ingin menjadi fans Azzuri yang setia :p. Mendampingi papa Cannvaro untuk merebut gelar juara dunia lewat adu pinalti. wuiiihhhhh kereeennnn abezzzz.....

Tapi detak jantungku jadi dobel kerjanya. Sang pemilik rumah ternyata punya piaraan yang namanya kucing. Lalu, kebawelan kawan-kawan yang justru mengganggu konsentrasiku makin membuatku tidak tenang. Dikit-dikit noleh, dikit-dikit ngecek kolong kursi, dan dikit-dikit nabok temen pake bantal yang berisik bilang, "Eh, kucing, eh, kucing," padahal itu kucing lagi lelap di bawah meja. Inilah yang membuatku makin bersikeras menambah satu impian lagi. Di ajang Piala Dunia selanjutnya, empat tahun berikutnya, akan lebih aman jika aku menonton bersama belahan jiwa yang telah dimuhrimkan secara sah (baca: husband) tanpa harus was-was diributi kucing…wkwkwkwkwk…kacau!!! Bakal lebih asyik juga acara taruhan nantinya, hehehehehe…


Menjelang Juni 2010


Nah, sekarang telah sampai empat tahun berikutnya, dan ternyata aku bisa aman tanpa kucing tanpa diamankan oleh belahan jiwa yang telah dimuhrimkan itu. Pertaruhan masih akan berlangsung antara aku dan kawan-kawan di setiap penjuru dunia. Lalu, apakah masih akan bermimpi Suami Piala Dunia lagi…???? Wkwkwkwkwkwk……