Tuesday, February 14, 2012

I Hope It's The Best Choice


Mendung menggantung. Tapi aku menepati janjiku untuk bertemu denganmu sore ini. Di resto unik, tempat kita biasa bertemu. Aku tunggu kamu di saung no dua puluh tujuh.

Pukul enam belas kurang lima belas menit, aku sudah duduk manis, dengan segelas jus stroberi kesukaanku. Bayanganku tentangmu mulai kembali mengunjungiku. Ah, kembali aku merapal mantra agar aku tak bermain dengan imajinasiku sendiri. Membayangkan tentang apa yang akan kita bicarakan sore ini.

Tepat pukul enam belas, kamu datang, duduk di hadapanku, dan sikapmu masih sama, begitu dingin. Aku ingin mengbaikan rasa itu, aku berusaha melumerkan semua suasana yang terlanjur beku.

"Sayang, kamu mau pesen apa? Mau kopi?, tanyaku penuh perhatian sembari memberimu bonus senyuman paling manis.

"Boleh," jawabmu pendek, sambil melayangkan pandang ke luar saung. Menatap jalanan yang semakin basah karena gerimis yang makin rapat.

Aku menarik nafas panjang, mencoba membungkam mulutku untuk tidak membuat sore ini menjadi semakin keruh. Semuanya bergeming, tetap hening. Bahkan derap langkah pelayan pun bisa ditangkap telingaku dengan jelas. Aku ingin memulai percakapan. Tentang kita. Tapi aku tak tahu harus memulainya dari mana. Aku, yang merasa ada yang sesuatu yang salah dalam hubungan kita.

"Hmmm.. jadinya kita mau prewed di mana? Ke pantai ya sayang... aku pingin sekalian main air di sana," aku mencoba membuka percakapan. Tapi kamu masih saja diam, seakan tak peduli dengan rajukanku. Ihh, padahal kamu dulu tak begitu.

"Kamu yakin kita masih bisa melanjutkan semuanya? Pernikahan kita," satu kalimat meluncur cepat dari mulutmu. Bersaing dengan petir di luar sana, mengiring hujan yang menderas.

Ada yang mencekat tenggorokanku. Aku bahkan kesulitan memberi balasan. Padahal, detak jantungku menderap semakin kencang. Bahkan, air mataku pun seakan tak mampu terbendung. Tapi aku tak mau menangis di depanmu. Berkali-kali aku menelan ludah dan menarik nafas dalam-dalam.

Ternyata kebersamaan kita yang sudah berjalan di tahun ke tiga ini belum cukup mampu membuat kita bisa saling memahami dan menerima apa adanya diri kita masing-masing. Keyakinan yang tercipta ketika setahun lalu, saat kamu menggenggam jemariku dan menatap dalam-dalam mataku, sampai kemudian meluncur kalimat ajaib "will you marry me?" itu, seakan ikut terkikis seiring berjalannya waktu. Waktu itu kamu meminta aku untuk menjadi ibu dari anak-anakmu kelak. Dan masih jelas juga dalam ingatanku, binar matamu menyatu dengan kebanggaan karena kamu mendapat promosi jabatan yang cukup bagus di kantormu. Ya, kamu pun mengatakan siap untuk melangkah lebih jauh dan membangun masa depan,  bersamaku.

Karirmu yang semakin menanjak membuat kita harus menunda pernikahan untuk sementara. Lalu aku menyadari, kenyatannya melejitnya karirmu itu justru membuat intensitas kebersamaan kita berkurang. Waktumu yang tersita karena kamu lebih sering sibuk mengurus event-event pameran yang kebanyakan
di luar kota, mau tak mau mulai merentang jarak antara kita. Mulai dari telepon dan sms yang tak terbalas, sampai janji bertemu yang harus batal di menit-menit terakhir. Itu membuatku merasa kamu begitu jauh. Sikap posesifku yang dulu kamu anggap sebagai bentuk perhatianpun mulai kamu bilang melebihi batas kewajaran. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Tak jarang, pertemuan kita yang seharusnya jadi ajang untuk melepas rindu dan bertukar cerita hanya menjadi arena perdebatan yang tak jelas muaranya.

Dan sore ini kamu menanyakan sesuatu hal yang sudah lama aku takutkan.

"Aku sudah memikirkan hal ini sejak aku pulang dari Banjarmasin", sambungmu yang melihat aku hanya terdiam dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Terus?", tanyaku singkat karena tenggorokanku tercekat.

"Sepertinya aku tidak sanggup melanjutkan hubungan kita selama kamu masih bersikap posesif seperti ini. Kalau kamu ingin aku kembali seperti dulu, jujur aku katakan aku tidak bisa. Aku masih akan terus sibuk, bahkan mungkin lebih sibuk lagi di masa mendatang. Perusahaan semakin berkembang. Karirku sedang di puncak, dan yang aku butuhkan adalah seorang pendamping yang bisa mendukungku, bukan seseorang yang tiap menit berusaha menyelidiki apa saja kegiatanku."

"Seseorang seperti Dewi maksudmu?", kusela kalimatmu dengan nada sinis dan airmata yang tanpa kusadari sudah mengalir di pipiku.

"Terserah kamu mau bilang apa. Kamu tahu dari awal hubunganku dengan Dewi hanya sebatas hubungan kerja. Tidak lebih."

"Sekarang mau kamu apa?", tanyaku semakin memahami alasanmu mengajakku bertemu sore ini.

"Sebaiknya kita tunda pernikahan kita", ucapanmu terdengar lebih menggelegar daripada petir yang makin sering saling sambar.

"Tunda?? Lagi? Dengar ya Pras, tak perlu lagi ada penundaan. Pernikahan kita batal!! Kamu tidak perlu jelaskan apa-apa padaku ataupun keluargaku. Dan cincin ini aku kembalikan padamu," ucapanku terdengar begitu emosi seraya melepaskan cincin yang sudah setahun ini melingkari jari manisku dan meletakkannya di atas meja tepat di depanmu, Prasetyo, yang sekarang adalah mantan tunanganku.

Aku beranjak dari dudukku, meraih tas yang kubawa tadi, melihatmu untuk yang terakhir kali dan kemudian melangkah pergi. Air mataku sudah tak terbendung. Setengah berlari aku mulai terisak. Beradu dengan air langit yang semakin deras. Sampai di pelataran parkir, masih dengan air mata yang mengalir, tanpa sengaja
aku melihat mobil Nissan Terrano hitam milikmu, dan jelas terlihat ada seorang wanita duduk di bangku depannya. Wanita itu aku kenal betul. Dia, Dewi.


Tulisan kolaborasi @wulanparker dan @cute_codew

No comments: