Saturday, February 11, 2012

I Didn't Mean To Hurt You


Dari kejauhan, kilauan lampu-lampu kapal terlihat cantik, melambai, membisu. Menawarkan fatamorgana kebahagiaan namun hening dalam sepi. Hanya deburan ombak yang terdengar lirih sukses menggelitik begitu mesra membran timfani dan merefleksikannya dengan sempurna ke gendang telinga.

"Jika Aku nanti jauh darimu, jangan menangis ya! Aku tak suka melihatmu menangis"

"Jauh darimu? Maksudnya?"

"Tidak, Mmm.. ambil ini! Jangan buka sebelum Aku pulang nanti", katanya sambil menyodorkan amplop putih kepadaku.

"Apa ini, Rei?"

"Sesuatu", jawabnya singkat.

"Sesuatu apa? Kau aneh hari ini!", kataku ketus karena rasa penasaran yang membuncah.

"Ayo pulang! Sepertinya sebentar lagi hujan. Jaga kesehatanmu ya! Aku sayang Kamu", serunya sembari mengulurkan tangan kanannya dan membelai rambutku. Dan Rei benar-benar aneh saat itu.

Setelah puas menjelajah pantai, Ia pun mengantarkan aku pulang. Dan, sesampainya di rumahku...

"Kenapa diam saja? Kau tak ingin berbicara padaku?"

Aku hanya menggeleng. Menandakan tak ingin berbicara apapun saat itu.

"Aku minta maaf jika nanti membuatmu cemas. Tapi keadaanku akan baik-baik saja", jawab Rei. Ia palingkan wajahnya, pelan, lalu melajukan sepeda motornya, melesat cepat. Aku hanya mampu melihatnya beberapa detik sebelum lajunya menghilang.

Tak lama setelah Rei pulang dan merebahkan tubuhku di ranjang, dering telepon genggamku mengalahkan lelahku. Gemetar telepon genggam itu terasa di sekujur tubuhku. Aku pun beranjak dan duduk di tepi ranjang.

"Halo", kataku begitu telepon menempel di telingaku.

"Halo Intan. ini Tara, kakak Rei"

"Iya, Kak. Ada apa?"

Perempuan di telepon itu tak langsung menjawab. Sepertinya ia menjauhkan gagang telepon dan berbicara dengan seseorang di sampingnya. Aku juga mendengar jeritan dan tangis kala itu. Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba jantungku berderap lebih kencang, ada pikir yang tak masuk akal yang sedang aku bayangkan. Iya, aku cemas, sangat!

"Aku hanya ingin mengatakan, Rei.......Rei sudah meninggal. Parasit Toksoplasma Gondii menggerogoti otaknya. Dan tadi dia kabur dari rumah sakit. Dia menemuimu bukan? Dia menitipkan pesan untuk segera mengabarimu dengan apa yang terjadi nantinya", kata Kak Tara terbata-bata.

Telepon genggamku terlepas dari tanganku seketika, terjatuh dengan suara keras di lantai. Kakiku mendadak lemas, Aku pun jatuh terduduk di lantai. Sebelah tanganku memegang dada, berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang. Aku merasa dingin, dingin sekali. Rintik airmata tak mampu aku bendung lagi. Dan aku teringat akan sesuatu. Surat itu........

Ada sesal yang mungkin tengah menjamah seluruh batinku. Ada keangkuhan yang mungkin tanpa sengaja aku lumurkan dalam pertemuanku dengan Rei tadi sore. Aku bahkan tak mendesaknya dengan semua tanya yang mencekat tenggorokanku. Ah, kata-kata seperti apa lagi yang masih akan dimengerti Rei, yang kini telah membujur kaku tanpa sukma.

Rei, yang begitu peduli padaku dengan sempurna, meski aku tak memberikan balasan seperti yang ia punya. Kini, hanya aku dan surat itu. Iya, barisan aksara yang merekam semua rasa Rei, yang seharusnya bisa aku balaskan dengan sempurna tadi sore. Ia, bahkan tak menuntutku menjawabnya.

Aku tahu, tangan Tuhan yang akan menyampaikan pelukku untuk Rei. Tuhan, aku juga sayang Rei.


Tulisan Kolaborasi @crystalzizahh dan @wulanparker

No comments: