Nadia berangkat sekolah dengan rasa malas yang lebih
hebat daripada biasanya. Hari ini pun ada ulangan Kimia, Nadia semalaman hanya
membaca novel, tak menyentuh bahan ulangan. Ya, sudah seminggu ini Nadia merasa
sekolah Nadia bukan sesuatu yang menyenangkan lagi. Ini karena Nadia mendapat
kabar dari papa, bahwa papa akan dipindah tugas ke Surabaya. Ah, bagaimana bisa
Nadia meninggalkan Bandung yang sudah menjadi kota kecintaannya. Karena semua
teman dan impian telah ia miliki di kota kelahirannya itu.
Lupakan ulangan Kimia. Pindah sekolah adalah hal
yang paling rumit di seluruh jagat raya ini. Ya... setidaknya bagi anak sekolah
seperti Nadia. Pindah sekolah berarti harus meninggalkan Bandung, teman, mimpi
buat kuliah di ITB atau UNPAD, dan... meninggalkan Chandra, si sobat sejak
sama-sama ketahuan mencuri jambu air waktu SMP dulu. Pindah sekolah juga
berarti harus siap jadi anak baru, harus siap untuk ikut peraturan baru, harus
siap mencari teman baru, harus siap untuk mulai membiasakan dengan suasana
baru. Oh... jangan lupa... harus siap di-bully
bila ada yang tak suka. Walaupun sekarang sudah kelas tiga, tapi tetap namanya
anak baru pangkat senior turun jadi junior. "Apa siap aku dengan semua
itu???" batin Nadia.
"Nad, kamu serius mau pindah ke Surabaya?"
tanya Chandra ketika mereka sedang makan siang di kantin.
Nadia mengangguk cepat. Ia berusaha menyembunyikan
kekhawatirannya di depan Chandra.
"Yaaah... siapa lagi dong yang bakal main
sepeda tiap sore keliling komplek?" celetuk Chandra sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
Nadia diam, menatap Chandra dengan mulut yang masih
penuh dengan bakso.
"Trus, kamu udah siap jadi bahan bully-an teman-teman barumu?
Haha..." Chandra seakan menggerus perasaan Nadia dengan banyolan yang
bernada ejekan itu.
Uuuhh andai Chandra tahu, Nadia sedang membangun
benteng supaya dia lebih kuat saat bertemu dengan teman-teman baru. Dan
pastinya, ia juga harus membangun impian baru.
***
Percakapan siang itu di kantin sekolah sesaat
sebelum les di sekolah benar-benar membuat Nadia tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Bahkan sampai Pak Bambang memanggilnya beberapa kali pun tak
dihiraukannya.
"Nadia!" panggilan itu disertai tepukan pelan di bahunya. Nadia mendonggakkan kepala. Matanya berhadapan dengan mata Pak Bambang. Dirinya gelagapan. Tak sanggup ditatap oleh Pak Bambang, guru muda yang baru tiga bulan mengajar di sekolahnya.
"Eh, iya Pak. Maaf." gumamnya.
"Kalau Saya menerangkan, dengarkan. Jangan
pikirin Chandra terus." sahut Pak Bambang dan beliaupun kembali ke depan
kelas. Anak-anak sekelas riuh menertawakannya. Ah... bagaaimana mungkin dia
sanggup meninggalkan kegilaan mereka saat kebersamaan tiga tahun ini sudah
hampir selesai...
***
"Udah
siap Nad?" tanya papa.
Ya, pagi ini, mereka siap berangkat ke Surabaya.
Sebagian barang sudah dikirim terlebih dahulu. Sekarang, tinggal Nadia, Kak
Dito, mama dan papa akan berangkat dengan pesawat.
Chandra sudah menunggu di bandara, ia memang sengaja mengantar Nadia.
"Nad, baik-baiklah di sana. Jangan bandel.
Suatu hari kamu bakal bisa meraih semua impian kamu. Iya, menjadi sutradara dan
atlet bulutangkis,hehehehe..." pesan Chandra disusul dengan tawanya yang
khas. Ia berikan pada Nadia sebuah kotak warna ungu, sebagai kenang-kenangan
buat Nadia.
"Buka nanti waktu kamu pulang dari sekolah hri pertama." kata Chandra waktu menyerahkan kotak berwarna ungu itu.
***
Masih ada dua jam sebelum sekolah hari pertama berakhir. Tapi tak tersisa sedikit pun kesadaran Nadia untuk pulang ke rumah
dan membuka kado dari Chandra. Dengan malas diikutinya pelajaran terakhir hari ini.
Pelajaran Fisika yang diajar oleh Bu Rani. Tuh kan... pindah sekolah
benar-benar tak mengenakkan. Tak ada lagi Pak Bambang dengan senyum dan
pandangan mautnya.
"Nadia..." panggil seorang cewek berambut
pendek saat Nadia melangkah keluar gerbang sekolah.
"Eng... siapa itu tadi namanya? Dita? Dila?
Atau Dina ya?" Nadia sibuk mengingat nama cewek yang berlari ke arahnya.
"Annisa" nama yang tertera di baju sekolahnya. "Ya... Nisa."
ucap Nadia dalam hati.
"Rumahmu di Jalan Rambutan kan? Aku juga. Yuk
pulang sama aku aja." ajaknya.
Nadia teringat kejadian sepulang sekolah tadi saat
melihat kado pemberian Chandra. Ada boneka monyet berwajah lucu di dalam kotak
tersebut. Selembar kertas tersangkut di telinga boneka tersebut. "Hai...
namaku Ndut. Aku anak baru disini. Mau yah jadi temanku." Teman baru. Ya, dan tadi
di sekolah pun dirinya sudah mendapat teman baru. Tapi tak sama seperti temannya
di Bandung. Nadia lalu memeluk erat boneka pemeberian Chandra.
***
Ini Surabaya,
Nadia, dan disini adalah pertemuanmu dengan Annisa. Annisa menyemangati dirinya
sendiri. Nadia mulai bersemangat menikmati hari-harinya. Awalnya hanya bersama
Annisa. Dan sekarang, ia mulai memberanikan diri untuk berteman dengan yang
lain.
"Nadia, kamu sudah senang sekolah disini?" tanya Annisa ketika mereka pulang bersama.
Nadia mengangguk pelan. "Tapi Nis, aku masih suka kangen
Bandung," celetuk Nadia. Lalu Nadia pun menceritakan segala kegiatannya di
Bandung, yang ia rindukan. Yang jelas, Nadia ingin maen teater, seperti dulu.
Nadia bosan dengan kegiatannya yang itu-itu saja.
"Aku juga gitu kok. Sampai sekarang aku juga masih kangen sama teman-temanku di Yogya. Aku nggak akan pernah ikhlas buat ninggalin Yogya." jawaban Annisa sungguh mengejutkan. "Tapi, walaupun nggak ikhlas bukan berarti aku nggak berbuat apapun disini." lanjutnya lagi.
"Bandung itu masa lalu. Saat ini yang ada Surabaya. Besok entah dimana." Itu ucapan Annisa sebelum masuk ke rumahnya." Itu prinsip Annisa sekarang. Tapi... bagaimana denganku?" batin Nadia. Pelan-pelan ia mulai merunut hari-harinya selama disekolah yang baru.
"Nad, Sabtu ini kita jalan-jalan yuuk...kita keliling Surabaya, mumpung Papa tidak terlalau sibuk," ajak Mama sepulang Nadia dari sekolah. "Hmm asik tuuhh, kita kuliner ya Ma, kita makan bebek goreng," sambut Nadia senang. Mungkin ini sederhana, tapi Nadia berusaha menikmatinya. Semangat papa, mama, Kak Dito juga Annisa mulai menyatu dengan diri Nadia.
***
Sekarang, Nadia pun sudah berani ikut dalam
komunitas-komunitas kesukaannya. Nadia hanya perlu memindahkan tempat untuk
melakukan hal-hal yang ia suka. Nadia tetap bisa menyusun mimpi-mimpinya. Nadia
tetap akan bisa melangkah untuk meraih impiannya. Ya, itulah Nadia, yang yakin
dengan apa yang dimilikinya sekarang.
Senyum masih mengembang di wajah Nadia. Dirinya
masih terbayang kejadian tadi pagi disekolah. Tadi pagi Kepala Sekolah
mengumumkan nama-nama murid yang berhak mengikuti crash program, yaitu
bimbingan belajar dari bimbel pilihan sekolah buat sepuluh orang murid, tiga
kali seminggu dengan sistem satu murid satu pengajar, gratis. Nama Nadia masuk
di urutan ke-tiga.
"Nad ada tamu." panggilan Mama mengagetkan lamunan
Nadia. Annisa tidak pernah mau masuk langsung ke kamarnya bila bertamu, ia akan
duduk di ruang tamu atau teras depan sampai Nadia mengajaknya masuk ke kamar.
"Hei... Apa kabar?" sapa tamu tersebut. Nadia bengong. Ternyata, Chandra
berdiri di depan pintu.
I'll be there for you
(When the rain starts to pour)
I'll be there for you
(Like I've been there before)
I'll be there for you
('Cause you're there for me too)
(When the rain starts to pour)
I'll be there for you
(Like I've been there before)
I'll be there for you
('Cause you're there for me too)
Nadia hanya bisa diam, ia tersenyum. Sampai saat ini Nadia masih mengantongi semangat yang dibekalkan Chandra untuknya. Senyum dan segala kenangan yang pernah diberikan Chandra menjadi alasan untuk Nadia selalu berjuang. Memperjuangkan impiannya. Dan saat ini, Chandra benar-benar datang, iya, Chandra ada di depan matanya. Alasan apa lagi bagi Nadia, untuk tidak merasa bahagia.
Tulisan kolaborasi @wulanparker dan @putripwu
No comments:
Post a Comment