Semalaman aku berpikir tentang pesan ibu sebelum aku berangkat dengan pilihan pekerjaan yang baru. Ibu sepertinya juga lelah melihatku sering berpindah-pindah tempat kerja. Dan kali ini aku pun berharap, aku akan menjadikannya pilihan terakhir.
Walau berat, harus jauh dengan ibu, aku harap aku sanggup melewati hari-hari yang mungkin juga akan terasa lebih berat. Ya, aku sudah bertekad memilihnya, ini impianku.
Memang tidak akan menjadi mudah meninggalkan dan melepaskan segala sesuatu yang kupunya sebelumnya. Ya, aku sudah memiliki karier yang bagus, posisi yang kuat di pekerjaanku sebelumnya. Tapi satu hal yang tidak pernah kudapatkan. Dan itu adalah sebentuk ‘kepuasan’. Entah kenapa hingga hari ini aku tidak pernah sekali pun merasa puas. Aku menginginkan lebih. Aku mau segala sesuatunya sempurna.
Banyak orang yang menyangsikanku, banyak orang juga yang dengan jelas-jelas menghina dan mencaci-maki setiap keputusanku. Aku bergeming. Tak peduli dengan ucap dan laku orang-orang lain di sekitarku.
“Aku yang memutuskan apa yang terbaik untuk hidupku.” Itu yang selalu aku dengungkan setiap saat. Itu juga yang selalu menjadi kekuatanku selama ini.
Aku melirik jam di pergelangan tanganku, ah, satu jam lagi aku akan bertemu dengan klien. Mereka ingin membuat sebuah iklan untuk produk makanan bayi. Ya, ini tantangan pertama di tempat kerjaku yang baru.
“Ken, nanti sila kamu buat konsepnya, sampai iklan itu layak tayang dan sesuai dengan yang dikehendaki klien kita,” kata Pak Adam kepala divisiku. Tentu saja aku harus siap dengan tugas ini. Apalagi, klien kali ini bukan perusahaan abal-abal. Mereka sudah banyak dikenal masyarakat, dan sekarang, mereka sedang mengeluarkan produk terbaru mereka. Ah, aku harus bisa. Aku meyakinkan diriku sendiri.
“Akan saya persiapkan semuanya. Bapak jangan khawatir. Saya tidak akan mengecewakan bapak sedikit pun.”
Pak Adam mengangguk, tanda ia mempercayaiku. Aku merasa lebih tenang sekarang. Aku tahu tantangan di depanku memang bukan hal yang biasa dan mudah untuk diselesaikan. Tapi, dengan sekian dukungan yang diberikan kepadaku, aku tahu aku bisa melakukannya.
“Ken, kamu bisa kontak Wulan. Dia akan memberitahumu tentang apa saja yang akan kamu perlukan ketika bertemu klien kita nanti. Bagaimana? Kamu bisa? No kontaknya bisa kamu tanya di bagian personalia.”
Satu jam pertemuan dengan klien cukup memberiku bayangan tentang konsep apa yang akan aku tuang dalam iklan itu nantinya. Sebelum keluar ruangan, Wulan memberikan berkas dari klien.
“Ini berkasnya, bisa dilihat lebih detil tentang produk mereka,” ujarnya seraya tersenyum. “Oke, terima kasih,” jawabku mantap.
Aku punya waktu tiga minggu untuk meyelesaikan iklan itu. Pikiranku, penuh tentang iklan itu. Hingga aku pun tak sempat bertanya kabar tentang ibu.
Tidak ada yang pernah menyangka segala sesuatu yang kupunya akan terasa berbeda sekarang. Di saat segala sesuatu bisa kuraih dengan mudah. Ada hal yang tetap membuatnya tidak sempurna. Dan baru kini aku tahu bagaimana rasanya.
“Ken, aku turut berduka cita dengan kabar yang kuterima kemarin.”
“Tidak apa Wulan. Terima kasih.”
“Kamu sudah mengunjungi Ibumu? Maaf jika aku membuat kamu merasa tidak nyaman.”
“Tidak masalah Wulan. Jangan merasa terbebani dengan itu.”
Tanya Wulan membuatku sadar. Aku memang sudah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupku. Nyatanya memang aku sudah dapatkan semua yang kumau dalam hidupku. Aku tahu, kali ini segala sesuatunya akan sempurna sesuai kehendakku. Tapi, aku tak sadar, ada seseorang yang justru menangis karena ketidak-sempurnaanku menjaganya. Aku tak pernah sadar telah begitu sering menyakitinya.
Aku meraih telepon genggamku. Aku sengaja menelepon ke rumah, Tiara, adikku yang menjawabnya.
“Tiara, bagaimana keadaan ibu? Apakah kakak boleh biacara dengan ibu sebentar saja…” pintaku.
“Ibu sedang istirahat kak, belum kuat betul, nanti aku sampaikan kalau kakak telepon,” jawab Tiara. Aku terdiam.
“Kak, kalau bisa, pulanglah, aku tahu ibu sangat merindukanmu,” lanjut Tiara. Ah, darahku mengalir cepat seketika. Aku juga rindu pada ibu. Tapi, kantor belum memberikan cuti pada karyawan baru sepertiku.
“Kamu bisa minta ijin Pak Adam, untuk menjenguk ibumu sebentar. Mungkin, beliau akan segera membaik dengan kehadiranmu Ken,” kata Wulan setelah aku menceritakan kondisi ibuku.
Wulan memegang erat tanganku. “Ibumu akan baik-baik saja. Aku yakin. Segeralah menemuinya.”
Aku mengangguk. Benar apa yang Wulan ucapkan. Aku harus segera menemui Ibu.
Pagi ini aku berangkat, aku akan pulang ke rumah, menemui ibuku. Wulan mengantarku pergi ke bandara. Ada rasa takut yang berlebihan, tentang ibu. Yah… aku sangat mengkhawtirkannya. Wulan seakan mampu membaca apa yang sedang aku pikirkan.
“Berdo’alah, agar kamu lebih tenang. Tuhan akan selalu membantumu, menjaga ibu. Berikan senyummu untuk ibu,” katanya.
Aku hanya bisa diam. Berusaha menenangkan diriku sendiri. Meyakinkan bahwa Tuhan juga akan menyempurnakan maafku, pada ibu.
Sepanjang perjalanan itu pun akhirnya aku tersadar. Betapa memang kesempurnaan bukanlah hal yang harus kukejar selalu. Dunia memang bisa aku genggam dalam kedua tanganku. Dunia memang bisa aku taklukan. Tapi aku tahu, semua itu tidak akan pernah menjadi sempurna tanpa kehadirannya. Tanpa kehadiran cinta. Cinta yang begitu tulus menguatkanku hingga menjadi seperti sekarang. Cinta ibu kepadaku.
Dalam hening, akhirnya aku angkat kedua tanganku. Aku bermunajat kepadaNya. Menyimpan sekian harap dalam balutan doa yang kuucap. “Semoga Engkau selalu melindunginya selalu. Berikan aku kesempatan untuk membahagiakannya. Berikan aku waktu untuk membuatnya gembira. Kabulkanlah segala sesuatunya, aku memohon itu kepadamu, Tuhan.”
Tulisan Kolaborasi : Teguh Puja @teguhpuja dan Wulan Martina @wulanparker
No comments:
Post a Comment