Sunday, September 30, 2012

Menghilanglah Lagi



Bahkan siluetnya pun masih aku kenali dengan baik. Apalagi punggung tegaknya, sepasang lengan kokoh yang... ah... sudahlah. Aku tak perlu memastikan wajah pemilik siluet itu. Aku sangat yakin. Bahwa itulah dirinya. Ia yang masih mengisi desakan-desakan rindu. Rindu yang bertuan namun tak mungkin aku kirimkan.

Kamala menghela nafas panjang. Jemarinya ia genggam sendiri. Menahan getar yang entah sudah ia tahan berapa ratus detik. Kali ini ia menyelesaikan tegukan terakhirnya, dari gelas ke dua air mineral yang sengaja ia ambil di meja prasmanan.

Anggita datang menghampiri. Kamala tampak kikuk, kemudian melukis senyum yang diusahakannya menjadi senyum terbaiknya malam itu.
"Kamu kenapa, Kamala? Ayolah bergabung dengan yang lain. Katamu kamu ingin bertemu dengan orang baru, yang mungkin saja berjodoh denganmu". Anggita menarik lengan Kamala. Kamala menyambutnya dengan malas dan sedikit menahan.

Ini reuni. Artinya kita bisa bertemu dengan masa lalu. Bukan jebakan, ini kenyataan. Mungkin, akan menguji kejujuran dan kekuatan hati mengahadapi apapun.

Kamala, berdiri diantara kerumunan teman-teman SMA-nya. Mereka tertawa, mengenang semua yang terjadi di masa lalu. Kamala, beradu dengan dirinya sendiri. Berbicara dengan hatinya. Menuruti perasaannya yang katanya sudah pekat, bahkan memandang pun menyesak. Kamala tampak begitu mengatur segala sikapnya. Hingga mengatur jarak pandang kepada tamu-tamu yang hadir.

Namun, mungkin Tuhan yang telah menggerakkannya. Pandangan Kamala menumbuk satu wajah yang sejak tadi ia hindari. Pemilik wajah itupun tersenyum. Kamala membalas dengan malas. Kamala tak menampik, sebuah lengan lain menggamit lengan sang pemilik wajah. Seorang teman di jaman sekolahnya, yang tidak begitu ia kenal. Dan kenyataannya, Kamala justru mengenal baik sang pemilik wajah. Pemuda dengan sepasang lengan kokoh yang menjerat Kamala dalam sebuah ingatan.

"Nanti ada acara nemenin temen reunian"
Itu kalimat yang kemudian terngiang di kepala Kamala. Satu kaliamat diantara panjangnya pembicaraan dengan Rama di kotak chatting.

Bahkan Kamala pun tak sempat menduga bahwa ia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang Rama menjadi salah satu tamu dalam acara reuni sekolahnya.

Sungguh, tak ada yang tahu bahwa, Parama adalah teman dekat Kamala selama bertahun-tahun. Mereka jarang bertemu. Namun, dunia maya selalu menjadi ruang yang luas bagi pertemuan mereka. 

"Sudahlah, kamu harus bisa mengurus dirimu sendiri, tanpa aku", kata Rama santai, menyudahi pembicaraannya dengan Kamala.
Kamala tetiba tersedak, nyaris makanan yang ada di dalam mulutnya bubar keluar, "Maksud kamu?"
"Kamu harus bisa mengurus impianmu sendiri", lanjut Parama.

Lihatlah Parama yang awalnya begitu sayang pada Kamala, kini memilih pergi darinya. Ia adalah penyokong semangat terbesar untuk Kamala selama ini. Teman brain storming yang sangat bijaksana dalam penyelesaian naskah novel-novelnya. Sekarang tak ada lagi. Ia pergi. Bukan sekadar menjauh, bahkan menghilang.

Dari semua akun sosial medianya pun, Rama tak bisa ditemui. Kamala menyerah. Percuma saja menantikan sesuatu yang sudah tak mungkin ia raih. Parama sudah bahagia dengan hiupnya. Mungkin. Begitupun Kamala, jalan hidupnya masih panjang.

Hingga malam itu, Kamala tak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Sebuah email dengan pengirim Parama ia terima. Rama menyapa, bercerita, seakan tak pernah ada luka diantara mereka. Entah bagaimana, Kamala larut dalam keterkejutannya dan terus menyelam dengan segala pertanyaan, kabar dan segala kisah Parama.

Seperti ingin membayar kesalahannya, Parama memperbaiki hubungannya dengan Kamala.
"Mungkin aku salah besar padamu. Semoga masih ada kesempatan untuk mengembalikan niat baikku", kata Rama malam itu.
Kamala, memang tak lagi berharap besar kepada pemuda yang sekarang ada di hadapannya. Ia masih takut sakit itu menyapa lagi. Kamala hanya tersenyum.
"Terserahlah dengan niat baikmu yang seperti apa. Aku tak lagi berani jatuh cinta kepada yang belum muhrimku". Seakan ada yang mendikte Kamala menimpali Parama.

Bukannya mudah Kamala berhadapan kembali dengan Parama. Ia berusaha kuat membatasi segala perasaannya kepada Parama. Ia tak mau jatuh di lubang yang sama, sekali lagi. Kamala mencoba berfikir lebih positif dan percaya kepada Parama meski tak sepenuhnya.

Sayangnya, acara reuni itu justru menghunus jantungnya sekali lagi. Dari sekian cerita Parama yang menyebut dirinya masih juga sendiri, Kamala justru menyaksikan kenyataan lain. Kamala tak marah kalaupun Parama pergi dengan siapa saja. Tapi, semua temannya pun tahu bahwa Parama adalah kekasih perempuan yang ia lihat menggamit lengan Parama.

Ada dendam apa kau padaku, Rama? Sampai di titik mana kau akan mengakhiri semua ini? 
Aku tak pernah tak rela kamu bahagia. Dengan siapapun. Dengan cara apapun.
Tolong jangan sekat satu takdir terbaikku hanya dengan prasang-prasangka burukku padamu. 
Jika luka yang pernah kusemat di jantungmu tak lagi bisa sembuh, kau boleh benci aku dengan caramu. Namun tidak dengan menyiksaku, membunuhku perlahan, tapi pasti.
Parama, Tuhan Maha Melindungi. Aku... dan juga kamu. Bertemanlah dengan-Nya. Agar ada cara yang lebih baik untuk menyelsaikan semuanya.

Kamala menekan tombol "send". Email untuk Parama telah terkirim. Namun entahlah, kapan terbaca oleh Parama. Atau bahkan justru Parama memilih untuk tak membacanya. Kamala membiarkan pikiran itu menghilang. Meski pelan tapi pasti. Kamala memilih lupa. Membiarkan gemuruh langit melumat segalanya. Membiarkan hujan mengguyur tubuhnya senja kali ini. Tanpa jingga.



Wednesday, September 19, 2012

Aku Titip Salam




Kepada malam,
aku titip salam..
Untuk yang selalu menanti hujan dan rindu pulang..

Kepada malam,
aku titip salam..
Untuk yang tak kasat mata, tak mau tunjuk hidungnya sendiri..

Kepada malam,
aku titip salam..
Untuk sepasang telinga yang terus merindu kabar dari seberang laut jawa..

Kepada malam,
aku titip salam..
Untuk sekarung tawa yang tersimpan menanti temu bahagia..

Kepada malam,
aku titip salam..
Untuk yang sedang merasa bukan siapa-siapa..
Hei..take my hands..
Mari, main layang-layang..
Kemudian, kita terbang dan tertawa-tawa..

Kepada malam,
aku titip salam..
Untuk semesta yang merekam semua cerita..
Aku..kamu..dia..mereka..
Semuanya..
Cinta..

Sepetak Ingat




Sepetak ingat yang tersekat satu purnama
Tentang sepasang mata tajam yang sanggup membungkamku lebih dari 3600 detik

Sepetak ingat yang tersekat satu purnama
Tentang sepasang lengan yang masih tetap kokoh ketika merengkuhku meluruh pedih kala itu

Sepetak ingat yang tersekat satu purnama
Tentang senyum yang memendar suka menarikan kupu-kupu dalam perutku

Sepetak ingat yang tersekat satu purnama
Tentang pemilik sebuah nama.. Kamu..

Ah, Kita




Aku biarkan gemintang menari
Mengiring tawa kita
Menyeruak gulita
Ah, kita

Aku biarkan bibirmu menari
Melagu cerita
Aku tamatkan
Aku pahamkan
Ah, kamu..

Ini guratan rindu
Yang tak pernah semu
Hingga kau pun tak berhenti meramu
Setiap suka dalam tatap yang bertemu
Ah, aku...

Saturday, September 15, 2012

Sampai Jumpa, Bayu



"Kamu balik lagi ke Jakarta kapan?" tanyamu siang itu.
"Nanti sore", jawabku.
"Ya udah, nanti aku anterin ya.. Naik pesawat juga kan?" lanjutmu.
"Iya, eh tapi aku udah pesen travel kok. Daripada kamu repot-repot nganterin aku segala", tapi sepertinya kamu memilih tak mendengarkan alasanku.
"Batalin aja travelnya, aku mau nganterin kamu ke bandara".

Entah kenapa dengan mudahnya aku menuruti semua katamu. Mulai dari membatalkan travel, sampai mengijinkan kamu mengantarku sampai ke bandara.

Sepulang dari pesta pernikahan Ambar dan Dani, kamu memilih untuk terus melanjutkan perjalanan, bersenang-senang katamu. Kamu, aku, Arga, dan Enggar. Ya, kita mengunjungi tempat-tempat yang sering kita kunjungi di jaman kuliah dulu.

Aku tak ingin bertanya apa-apa, yang aku tahu, semburat tawalah yang aku lihat saat itu. Semoga benar, kita sungguh-sungguh berpeluk suka... :)

"Buruan pulang yuk... aku belum packing nih..." ajakku setelah menyelesaikan suapan terakhir semangkuk es campur di kedai favorit kita.
" Iya nih, kayaknya sebentar lagi juga hujan", gayung bersambut, Arga mengiyakan ajakanku.

Padahal, biasanya cuaca tak mendung seperti hari itu. Itu juga menurut ceritamu. Jadi, kenapa hari tiba-tiba mendung dan langit seakan tak mampu menahan tangisnya. Ah, mudah-mudahan karena ia bahagia, melihat kita bahagia. Ehmmm.. kamu... iya, melihat kamu bahagia.... bertemu kembali denganku. Aku mengikik dalam hati. Kamu lucu sekali, aku hanya bisa membatinnya.

Setelah mengantar Arga dan Enggar, kamu mengantarku pulang, menungguku packing, dan siap mengantarku ke bandara.

Perjalanan kali ini ditemani langit sore dengan gerimisnya. Kemudian menderas. Aku pun nyaris beku di dalam mobil yang kamu kendarai. Kamu menatap jalanan dengan begitu serius, sepertinya pandanganmu mulai terganggu gerimis yang kian deras itu. Aku, berada di sampingmu, diam. Mungkin, tanpa sadar aku telah membeku.

Sesekali kamu menatapku, aku cuma bisa tersenyum.
"Ini benar-benar tanpa logika" keluar juga suaramu setelah tarikan nafas panjang yang terdengar jelas di telingaku.
"Maksudnya?" tanyaku yang tak mengerti sekali.
"Iya, yang aku lakukan sekarang ini, nggak ada logikanya", lanjutmu.
"Mmmm... nganterin aku maksudnya?" tanyaku lagi.
Kamu mengangguk. Pasti.

Kemudian ingatanku berlari ke belakang, pada waktu-waktu yang panjang. Masa-masa yang mungkin sangat indah untuk dikenang.

"Kamu nggak nyanyi-nyanyi lagi?" tanyamu tiba-tiba.
"Haaa? Nyanyi apa?" aku malah balik bertanya.
"Yang dari tadi kamu nyanyiin laahh..." jawabmu santai.
Aku mengernyit, "Apaan sih?"
"Yaaahhh... malah lupa... itu yang tadi...." lanjutmu sambil cengar-cengir.

Aku pun terbahak ketika menangkap apa yang kamu maksud. Iya ya, kenapa juga harus lagu itu yang keluar. Ah....

Ijinkan aku.. untuk terakhir kalinya...
Semalam saja bersamamu...
Mengenang asmara kita....
(Berharap Tak Berpisah - Reza Artamevia)

"Kamu ingat, Bay?" tanyaku dalam hati. Aku tersenyum kecil. Dan kamu, justru terus memerhatikan aku. Ah, Bayu...

"Kenapa lagu itu, Luh?" tanyamu.
Aku tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Aku menggeleng.
"Galuh, jadi jawaban apa yang akan kamu berikan pada lelaki yang melamar kamu itu?" tiba-tiba kamu menanyakan sesuatu yang aku tak pernah ingin bahas, ketika aku hanya ada denganmu.

Aku mengambil sebuah boneka lumba-lumba yang ada di dashboard mobilmu.
"Itu buat kamu Galuh, bawa aja. Kamu suka ikan, kan?"
"Enggak ah, ini pasti punya adik kamu.. hehehe.." aku menimpali, mencoba meruntuhkan kaku yang tetiba membelenggu.
"Sejak kapan aku lupa bahwa kamu suka semua hal tentang ikan".

Mobil yang kamu kendarai memelan, kemudian berhenti di belantara parkiran. Ya, kita sampai di bandara. Artinya, perjumpaan kita kali ini, sampai di sini saja.

Tetiba handphone kamu berbunyi. Kamu menatapku sebelum kemudian menjawab telepon itu.
"Halo..."
Entahlah pertanyaan apa dari si penelepon, aku hanya mendengar sederet kalimat jawabanmu.
"Lagi nganter ke bandara,"
"Eemm... nganterin... kekasihku yang dulu".

Deg.
Aku belum pernah mendengar kata-kata seperti itu sebelumnya, Bayu.
Maaf Bayu...
Katamu, kita harus saling merelakan. Harus kuat dengan segala ketetapan Tuhan. Bayu,waktu itu kita sedang diijinkan. Entah kapan lagi... sampai hati akan bertaut, entah diantara aku dan kamu, atau bukan.

Sampai jumpa, Bayu....