Sunday, February 12, 2012

Aku Ikat Lebih Erat


Bima tampak sibuk membongkar rak buku hingga ke laci meja. Sejak tadi pagi, ia tak keluar kamar, bahkan ketika teman-teman kosnya mengajak keluar untuk makan, Bima hanya bergeming. Kardus buku yang tadi telah dibongkarnya lalu disusun rapi, kini ia bongkar kembali. Bima tak pernah seheboh ini mencari sesuatu, apalagi hanya di dalam kamar kos mungil yang sudah tiga tahun ini menjadi saksi penat dan semangatnya.

Bima beranjak, ia duduk melantai di sudut kamarnya. Tatapannya kosong, seperti ada sesal yang tengah memenuh bahkan menyesak dalam diri pemuda dua puluh-an tahun itu. Hanya sebuah kitab suci saja, tak mampu ia temukan dengan mudah. Dia mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali benda itu dilihatnya. Jika membaca pasti sudah terlalu lama untuk bisa diterka, setidaknya buku itu adalah buku dari segala buku. Tak mungkin meninggalkan kamarnya tanpa dia tahu. Ah, apa ini? Ia mulai menyusup ke dalam ingatan tentang apa yang telah dilakukannya setahun belakangan ini.

***

"Ayolah Bim, sebentar saja, nanti kan kita sambil wawancara di kafe," ajak Bang Gigih, yang akan menjadi narasumber untuk tulisan tentang Suku Badui.

"Tapi besok saya ada ujian, Bang, makanya saya datang ke kantor abang, supaya bisa lebih cepat saya kerjakan tulisan ini," Bima mencoba menolak secara halus.

"Yaahh tapi tadi saya baru saja rapat dengan atasan, jadi saya agak pusing, ayolah pergi sebentar, sambil cari-cari inspirasi baru lahh.." ajak Bang Gigih sekali lagi disusul senyum penuh persahabatan yang sulit sekali Bima tolak.

Sore itu, pergilah Bima bersama Bang Gigih ke sebuah kafe yang memang begitu banyak menawarkan pilihan hiburan. Ya, ini bukan kafe biasa. Bima yang awalnya tampak canggung, mulai menyesuaikan dirinya dengan suasana di tempat itu. Demi selesainya wawancara, demi matangnya tulisan yang harus Bima kirimkan kepada sebuah redaksi majalah, dimana ia menjadi penulis freelance.

Sejak saat itu, Bima terbiasa dengan hedonisme, hingga lama-kelamaan, ia menguapkan janji yang selama ini telah ia ikat dengan rapat. Bima seperti terbawa begitu saja dalam kehidupan yang membuatnya lupa tanpa sengaja pada banyak hal. Pada orangtua, pada kuliah, pada teman-teman, dan bahkan pada Tuhan. Sampai kemudian suatu hal yang luar biasa sederhana seakan mencoba mengingatkannya untuk pulang.

Tamparan keras itu datang dalam bentuk surat peringatan, resmi diatas kop surat, diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin. Tanpa basa basi, pihak kampus Bima memberikan peringatan bahwa mereka akan mencabut beasiswa yang selama ini diterimanya jika ia tak mampu memperbaiki nilainya hingga akhir semester ini. Bukan hanya itu, di depan mata Bima hanya tersisa satu tahun untuk menyelesaikan seluruh tunggakan SKS-nya. Hanya satu tahun untuk memperbaiki nilai, kuliah normal, sekaligus menyelesaikan tugas akhir. Satu tahun yang tampaknya akan jadi tahun yang berdarah-darah bagi Bima.

"Kau kurang apa Bim? Beasiswa bisa kau pegang, belum lulus pun sudah ada perusahaan besar yang melamarmu. Ayah dan ibumu, serta adik-adikmu, begitu berharap, kau bisa menjadikan kehidupan kalian lebih baik," Kemal, sahabat Bima ikut gusar dengan kejadian itu. Kemal tak kurang-kurang mengingatkan Bima untuk kembali pada kebiasaannya yang dulu dan meninggalkan gaya hidupnya yang sekarang.

Bima hanya bisa diam, memutar otak.

"Bim, kau boleh menjadi penulis lepas, tapi tak usah lah kau lalu mengikuti tawaran-tawaran yang sebenarnya hanya mampir. Itu cobaan untukmu, Bim..." Kemal sedikit menurunkan nada bicaranya. Bukan karena Kemal tak lagi kesal, tapi karena ia pastilah orang kesekian yang telah menasehati Bima dengan segala logika itu. Dan diantara semua orang, Kemal lah yang seharusnya paling bisa mengerti bahwa Bima tak perlu lagi diceramahi panjang lebar tanpa solusi.

"Baiklah. Mal. Jadi menurutmu aku harus mulai dari mana?", Bima baru bisa menjawab setelah keheningan membungkam mereka beberapa saat.

"Oke, kalau begitu dengarkan aku sekarang dan jangan menyela sampai aku ijinkan."

Bima mengangguk. Tak ada pilihan.

"Fokus, Bim. Fokus. Itu yang pertama harus kamu bereskan. Buatlah komitemen dengan dirimu sendiri, dan jalani satu persatu dengan istiqamah. Satu per satu, Bim. Bukan semua dalam sekali tebas," Kemal mencoba meyakinkan Bima.

Rasanya ada yang menggelitik di telinga Bima ketika Kemal mengucapkan kata istiqamah. Sudah lama sekali rasanya, sejak Bima mengucapkan janji di malam itu, menjelang ujian sekolahnya, sebuah janji yang tak dia ceritakan pada siapapun karena hanya ia ucapkan di hadapan Tuhan. Bahwa kalau dia bisa mendapatkan beasiswa, kalau dia bisa mendapatkan posisi freelance yang selama ini dia idam-idamkan, dia berjanji akan istiqamah menjalaninya. Tekun belajar, rajin menulis, menyeimbangkan kehidupan sosial dan interaksi dengan keluarga. Sebuah janji yang kedengaran sederhana namun sungguh sulit menepatinya.

***

Dan, disinilah Bima sekarang, duduk bersimpuh di atas sajadah. Apa yang dicarinya sudah berhasil ia temukan di pojok kamar, diantara tumpukan fotokopi catatan kuliah dan coretan tulisan tangan. Wajahnya masih basah oleh air wudhu, dan tangannya pelan-pelan mengusap sampul Al Qur'an yang tampak berdebu. Dibukanya pelan-pelan, lembar demi lembar, untuk mencari kertas pembatas yang selalu dia selipkan sebagai penanda. Bima menemukannya, ada di sepertiga bagian pertama. Diambilnya kertas itu dan diletakkan di atas meja.

Bima tak peduli lagi. Dia akan mengulang semuanya dari awal. Mengadu dan memohon ampun dalam sujudnya. Mengikat janji lebih erat dengan Tuhan. Mencoba lebih kuat, bertahan diantara cobaan, yang kadang menawarkan ribuan bahkan jutaan kesenangan.

Bima, melanjutkan perjuangannya. Menemukan kebahagiaan di jalan Tuhan.


Tulisan Kolaborasi @wulanparker dan @diahrizka

2 comments:

Diah Ayu Rizka said...

terimakasih atas kolaborasinya :*
link-nya aku pasang di blog-ku yaaa...

lunaspider said...

sama2 cinta.... oke, baiklah.. sila dishare... :D