Monday, December 14, 2009

Dasar, Ayam Mengaum

“Hhhhhh…..” Tanaya menghela nafas panjang, seraya menghentakkan tubuhnya ke kursi kerjanya. Bos gila, batinnya. Harusnya tu bos maha melindungi anak buah dan melakukan klarivikasi dengan bijaksana. Ah, menurut kuliah yang pernah aku ikuti, seorang pemimpin harus memiliki obyektivitas dalam menilai anak buahnya. Tanaya terus saja ngedumel dalam hati.

Dialihkannya perhatian untuk komputer di meja kerjanya, bukan untuk melanjutkan pekerjaan, tapi justru untuk nge-game. Refreshing dulu, batinnya. Baru setahun ia bekerja di perusahaan itu. Tapi bener-bener udah ratusan lembar cerita yang ia torehkan adalah tentang bos gila macam itu. Tanaya pun heran, kenapa dirinya bisa selemah itu, sedikit-sedikit mengeluh, sampai-sampai ia berharap bisa segera keluar dari neraka dunia ini.

“Saya tidak menganak tirikan divisi anda, saya tidak pernah mencabut fasilitas apapun pada divisi anda,” hardikan sang bos besar itu sungguh memekakkan telinga Tanaya , apalagi dia baru saja pulih dari penyakit diare langganannya akibat stress melanda. Ow ow ow ow…..kalimatku yang sebelah mana yang menunjukkan bahwa aku melakukan protes tentang fasilitas dan bla bla bla….. “Saya sudah melakukan penelusuran secara detil!” tandas big bos. Hah? Penelusuran gombal!!!! Tanaya merasa perlu ada hitam di atas putih untuk penelusuran itu, ia merasa dicatut namanya.

Tanaya berusaha sabar, dan beruntunglah dia memiliki perangai yang ‘tidak tau malu’ hingga ia dapat meredam kemarahan tanpa penyangkalan apapun dan tetap percaya bahwa yang benar pasti akan menang pada akhirnya…. Slow down beibeh…. Take it easy….

Tapi, kesabarannya pun terasa ngedrop seketika setelah tau pelaku pencatut namanya, WHAT????? Kepala divisi gue sendiri?????? Hantu muka rata, babi berkepala rusa, ayam mengaum….haduw….entahlah, analogi apalagi yang cocok???? Rasanya nafas Tanaya berhenti untuk beberapa sekon… Tanaya berjanji tidak akan memedulikan kadiv itu selama satu mingu, bukannya kekanak-kanakan tapi biar dia tahu, nggak akan ada lagi anak buah goblok yang bisa dia kibulin…. Mungkin gue terlalu polos, batin Tanaya….

“Hmmmm, aku kan manusia yang bisa diajak omong, aku salah apa coba? Kerjaan pasti beres, ngelembur pun gue jabanin kan La?” curhat Tanaya pada Lala, temen sekantornya. No solution, tempat neraka itu memiliki birokrasi yang aneh dan sarat dengan permainan kotor. Tanaya membayangkan apakah di tempat lain juga seperti neraka? Lebih baik memilih menjadi pengusaha dan menjadi bos yang baik, memanusiakan manusia, dan nggak sok pinter di depan orang lain.

Tanaya mengguncang mouse komputernya karena jengkel, pingin dibanting sekalian, tapi was-was hantu muka rata itu bakalan masang kamera CCTV di ruang kerjanya, dan mengada-ada peerbuatannya…. Tanaya bersumpah kalau dia kaya, dia nggak akan pilih rumah megah dan membangga-banggakan miliknya seperti yang dicontohkan ‘mandor-mandor’nya itu… berharap bisa bersikap lebih elegan yang bijaksana saja! *khayalan aneh sih memang, tapi mau gimana lagi*

Nay, Maafin Dooong…

“Cekrek,duk” Nayla menutup pintu kamarnya.
Gosh, gue nggak pernah speechless kayak gini,” desahnya.
Nayla melepas kerudung dan cardigan yang tadi dikenakannya lalu meletakkannya di gantungan baju samping meja riasnya, lalu mengganti stelan t-shirt dan jeans belel itu dengan piyama pink bergambar teddy bear.

Sekejap kemudian, Nayla meringkuk di atas ranjang kecilnya, sambil sesekali membuka-buka majalah Alia yang tergeletak di salah satu sisi ranjangnya. Bukannya konsentrasi membaca, justru pikirannya menerawang. Entah kepenatan apa lagi yang singgah di benak gadis cubby ini.

Yudhis baru saja pergi, meninggalkan keraguan (lagi) buat Nayla. Dua jam tadi, Nayla hanya mampu memandangi Yudhis dengan t-shirt polo-nya. Hati Nayla masih pekat, tenggorokannya seperti tiba-tiba tercekat saat akan mengeluarkan kata-kata. Sedikit sekali yang berhasil ia lontarkan. Padahal Nayla si ratu bawel buat Yudhis. Menurut Nayla, cara yudhis cukup smooth untuk membongkar permasalahan yang tengah mereka hadapi.

Seperti biasa, Nayla nggak pernah mau membicarakan sebab musabab jika dia memang sakit hati dengan Yudhis. Pacar bukan sodara bukan, males ah cepet-cepet baekan, pikir Nayla sambil mlintirin ujung cardigannya. “Kamu kenapa?” kejar Yudhis. Nayla menggeleng-geleng, sambil sesekali meneguk Nescafe original yang sengaja dibuatnya untuk menemani sesi obrolan mereka.

Yudhis sudah mengajak Nayla ngobrol ngalor ngidul tanpa batas, tapi Nayla hanya memberikan jawaban-jawaban pendek. Setiap Nayla ingin angkat bicara, ia selalu teringat saat-saat itu. Betapa ia merasa ditampar oleh orang yang selama ini dia sayangi secara diam-diam.

Menurutnya, untung-untungan jika seorang Nayla yang introvert mampu menceritakan hal yang cukup privasi sama orang lain. Butuh kepercayaan khusus untuk bisa melakukan hal itu…tapi sayangnya, Yudhis melanggarnya, entah paham atau tidak, sengaja atau tidak yang jelas Nayla sangat sakit hati. Nayla paham, Yudhis telah menyadarinya, tapi nggak tau kenapa Nayla belum bisa mencairkan suasana itu, saat hanya ada dia dan Yudhis. Sebenarnya, Nayla tahu, Yudhis orang yang pengertian, laki-laki yang baik dan cukup baik kontrol dirinya.

“Ayo Nay, udah biasa aja, maafin aja dia,” suara-suara itu terus melintas di benak Nayla selama ia berada di hadapan Yudhis. Meski nggak disuruh, Nayla juga tahu itu, tapi berat banget untuk kembali terbiasa dengan Yudhis. Belum lurus bengkoknya tulang hati, dan belum kering luka tikam yang menyayat (mulai lebai). Bagi Nayla, ini masalah pertaruhan harga diri. Bagian dari perjuangan hidup Nayla yang tiba-tiba tumbang oleh Yudhis. Tapi paling tidak, ia sudah bisa tegar, tidak ingin menangis seperti sebelumnya.

Nayla meletakkan majalah yang tadi dibacanya, berganti memeluk guling kesayangannya, dan menarik nafas panjang. Ingin rasanya memejam mata untuk melupakan semuanya. Merebah, memejam, plaaasssss, tidur pulas dan menyambut besok pagi dengan perasaan yang lebih baik, menghargai semua maksud Tuhan, seperti yang ia upayakan untuk menghargai maksud Yudhis yang beritikad baik memperbaiki semua kesalahan yang ada. “Masih sayang kamu, kok Dhis,” desah Nayla sebelum memejam matanya. Tidur kali ini, diawali dengan senyum kecil buat Yudhis yang mungkin juga lagi bingung mikirin gue, hehehehe ngarep kali…batin Nayla.



**sepucuk naskah teenlit yang belom juga laku :p


Tuesday, December 01, 2009

Membahas Kesibukan

Pagi yang sibuk…

Di sepanjang jalan terlihat berbagai kendaraan yang melewati jalan pintas sekitar perumahan yang Naya tinggali, yang baru saja dibangun sekitar satu tahun lalu. Yah, operasionalnya sih begitu, baru ramai sekitar setahun belakangan ini.

Sayangnya, sudah tak cukup layak untuk dilewati lagi, jalannya sudah pada bolong. Pasalnya yang lewat bukan cuma motor atau mobil pribadi, tapi truk besar, trus tanki bahkan bus sekolah setiap hari juga ikut wira-wiri di jalan pintas itu.

Apalagi kalau malam hari, awas bisa jadi ranjau, terutama bagi para pengendara motor, bukannya apa-apa, lubang itu ada yang sedalam sepuluh centi-an, dan tak hanya satu. Bahaya sekali saat terjadi papasan kendaraan.

Entahlah, semakin ilfil alias ilang feeling saat Naya harus melewatinya berkali-kali untuk mencapai tempat kerjanya. Huuh, bagaimana tidak, sudah ekstra hati-hati tapi pengendara lain justru semakin ngawur. Polisi yang ‘sepertinya wajib’ berjaga di ujung perempatan pun terlihat ogah-ogahan untuk mengatur lalu lintas kecil itu. Terlebih saat hujan turun, sepertinya mereka (para polisi itu, pen) justru menikmati hibernasi. Buktinya, mlompong tuh perempatan, yang ada hanya adu klakson antar kendaraan….ooppsss, where are you mr. police??? Is it not your part of life?

Bukannya Naya marah, tapi sedikit bertanya…
Bukankah setiap pekerjaan ada konsekuensi…?
Bukankah bayaran itu datangnya dari sebuah konsekuensi…?
Dan, adakah hukuman atas pelanggaran konsekuensi?

Saat seseorang memutuskan untuk memilih sebuah pekerjaan, apakah ia berpikir soal konsekuensinya? Mungkin saja tidak, justru setiap orang akan berpikir tentang akibat dari konsekuensi itu, BAYARAN! Hingga akhirnya, letak konsekuensi menjadi buram bahkan dengan sengaja dihilangkan.

Mungkin kita lupa dengan ikhlas
Mungkin kita lupa dengan yang namanya pengabdian
Mungkin kita lupa dengan tugas sebagai khalifah…

Semua kendaraan yang berhenti sibuk menunggu giliran untuk bisa mendapatkan bagian jalan. Sejenak, Naya menatap genangan air pada sebuah lubang di jalanan itu. Bercerminlah sahabat, genangan itu sangat kotor, apalagi dengan segala tingkah ‘kotormu’ akan semakin pekat.


260309

Sunday, November 01, 2009

Ku-pu-ku-pu-ku (Aku punya, aku punya aku)

Sejenak aku bentangkan pandangan ke sudut angkasa. Terlihat awan berarak, menggumpal dan perlahan mulai menghitam. Itu…kantung air yang nyaris pecah yang akan membuat bumi jadi basah dan mengharumnya bau tanah yang menenangkan…

Tapi, terlihat segumpal awan yang tak terlalu hitam, ia terarak paling depan di antara yang lain. Sedikit aku mengintai sesuatu di balik awan itu, ada cercah yang mengkilat… ummm itu matahari, kenapa dia malu-malu, aku ingin melihat kilaunya menembus embun pagi ini, walau sebentar saja. Aku hanya bisa berucap dalam hati sambil tersenyum.

Aku tinggalkan awan ku sebentar, indera penglihatanku terarah pada sesuatu yang tampak menungging di ujung kuncup bunga di taman milik mama. Warnanya sama dengan cercah sinar mentari yang bersembunyi itu, iya, kuning keemasan, ia mencari madu di bunga itu, tapi bunga itu masih kuncup… lalu aku memanggilnya dengan senyum, ia terbang ke arahku, dia menungging di ujung hidungku, kusapa dia dengan sebaris gigi yang terbungkus bibir mungilku. Ia tak beranjak, kutiup angin dari bibirku, ia terperangah. Kejutanku tak membuatnya pergi, dikepak-kepakkannya sayap kecil itu seolah mengacau bola mataku.

Kuhitung berapa detik ia betah melakukan itu. Ia cukup betah, tapi kakinya mulai lelah, lalu bertanya, “Kenapa kau memanggilku? Apa kau ingin menitip sesuatu?” tanya dia. aku pikir, baik juga kupu-kupu ini. Aku tak menggeleng ataupun mengangguk. Sepertinya ia mulai jengkel, ia pindah ke sebelah kiri pandanganku. Lagi-lagi ia menggerakkan kakinya. Aku hanya mampu terdiam.

Tak berapa lama, kakinya menyentuh ujung jariku yang menelungkup bersama telungkupan lengan yang mendekap dua kakiku yang menekuk di depan dada. Dia memaksa aku untuk bercerita, tapi aku tak mampu bicara. Aku kedipkan saja mataku, aku bicara padanya dengan hatiku. “Katakan pada matahari itu, kenapa dia bersembunyi di balik mega, padahal aku ingin melihatnya tersenyum, senyumnya yang mengkilat, yang mampu menerangi redupnya satu ruang di hatiku,” ucapku.

Kalau saja kupu-kupu kecil itu bisa bicara pada Yang Maha Segalanya, untuk ijinkan aku melihat senyum itu sebentar… saja. Jika memang masih ada waktu lagi, aku akan berjalan dengan cahaya itu dalam dekapan syahdu peluk-Nya. Hanya itu saja…

SUMPAH, Senyum Membawa Luka, PEMUDA!

Memang sudah takdir yang telah digariskan, bahwasanya seorang perempuan paruh baya yang judesnya amit-amit menjadi bos bagi seorang Kania. Otorisasi dan kediktatoran pun menjadi santapan wajib bagi Kania.

Dan memang sudah takdir pula, bila seorang Kania selalu datang di tempat kerja pada batas maksimal, eh kepagian lima menit ajah Kania justru merasa bersalah… kasian bener Kania selalu menjadi ratu telat dari bayi…xixixixixi…

Segala macem aturan tak jua membuat Kania berhasil memerbaiki kasus kemangkirannya. Meski bukan potong gaji, infotainment dadakan lah yang bakal menjadi hukuman sosialnya.

Suatu pagi, entah mimpi apa yang membuat Kania datang 25 menit lebih cepat dari batas maksimal. Mungkin saja perayaan Sumpah Pemuda yang membuatnya bulat tekad memerbaiki diri. Mengejutkan, bukan hanya bunyi check clock Kania yang terlalu pagi, tapi…baru saja Kania berbalik menjauh dari mesin check clock , senyuman termanis yang belum pernah ia lihat sekalipun selama mengais rejeki di gedung biru itu, tiba-tiba menyungging dari bibir perempuan paruh baya yang manis. Tak lain dan tak bukan, Kania’s big bos… ooow, seperti tak percaya, Kania membalas dengan ragu, “Buset, jangan-jangan aku ke-GR-an?!” batinnya.

Sambil membawa puluhan teka-teki, Kania berjalan menuju ruang kerjanya. Batinnya senyum-senyum sendiri, makin mirip orang nggak waras. Antara senang, bangga, heran, aneh bercampur kayak rujak gobet. Sampai…”Jeglukkkk”, Kania pun mengaduh, kakinya terkilir, dan parahnya… HAK SEPATUNYA PATAH! Kania harus berjalan menyeret sejauh beberapa meter. “gosh, what happen aya naon”. Sepertinya Kania mengalami resistensi terhadap mimpinya semalam. Ia tak mampu mengingatnya sedikit pun….

Bukannya menyambar buku kerja, ia justru bergegas mencari pinnjaman lem ALTECO yang dikenal mantap mengobati luka-luka patah semacam yang terjadi pada hak sepatunya. Kania harus menguda-udal bakat nge-sol sepatunya detik itu juga, DILARANG MALU. Meskipun, sejumlah temannya terus saja melontarkan komentar dan cibiran nggak penting. “Udah lah, kalo biasa pake bakiak, bakiak aja…” Tasya mengomentari sambil cekikikan. Kania menyimpan balasan, dan tetap konsentrasi dengan ‘usaha sol sepatu’ barunya.

Mulanya, kania pengen ikut-ikutan iklan sebuah permen pedes jadul itu, PATAHKAN SAJA, dan BERES! Ternyata nggak enak sama sekali dipakenya, so, IKLAN ITU BO'ONG!!! >.<
Akhirnya, hak sepatu yang udah ia patahkan, harus dilem dengan teknik sebisanya:
1. Oleskan lem pada bagian yang hendak ditempeli
2. Biarkan lem agak mengering
3. Lekatkan hak sepatu
4. Gencet dengan benda berat supaya rekat
Untuk melakukan teknik 1-3, Kania bisa mengerjakannya dengan lancar. Tapi…untuk yang terakhir, Kania bingung. Biasanya, yang Kania liat di tukang sol sepatu itu, mereka pake kayu dan menambahkan paku kecil *keliatan banget sering nge-sol-in
sepatu*. Nah kalo di kantor, di tempat formal ini, apa yang bisa Kania lakukan.

Untunglah, bebalnya Kania bisa berguna untuk masalah semacam ini. Dia nggak bisa liat meja dispenser nganggur gitu aja saat ia sedang mengalami masalah besar. Kania menggencet sepatu dengan kaki meja itu. Orang-orang yang lalu lalang pun pasti bertanya, dan Kania CUMA NYENGIR! Yang penting…SEMUA BERES!!!

Sepatu sudah bisa dipake seperti biasa, lem pun sudah disimpan kembali. Tapi ternyata, bekas-bekas yang mengiringi usaha sol sepatu Kania itu sedikit mengganggu. Entah kebodohan apa yang ia perbuat, hingga lem pun berceceran di lantai. “Kaki gue bisa rusak nih kena Alteco,” protes Sabrina. Kania cuma menepuk jidatnya, dan berganti menyalahkan Sabrina yang melepas sepatu sembarangan hingga menginjak lem di lantai.

Huuuh, bener-bener di hari SUMPAH PEMUDA, ada SENYUM MEMBAWA LUKA. Nggak pengen lagi deh. Pesan ku untuk para pemuda, nggak perlu bangga dengan senyum seorang bos judes! *Kania mengumpat-ngumpat dalam hati sambil terus berusaha membersihkan ceceran lem Alteco yang susah banget ilangnya.

Sunday, October 04, 2009

Unyil, Aku Kangen

“Duudull... katanya aku lagi cengeng... oyah?”, sentakku dalam hati.

Mungkin iya, apa hanya karena dalih aku kangen jalanan?! God, kenapa kau takdirkan aku untuk mencintai jalanan? Ternyata aku masih moody, sayang, kapan mau dewasa? “Yah kadang2 doang kaleee....” kilahku sedikit mencibir diriku sendiri.

Sekotak french fries dan segelas sundae strawberry bercampur debu pagi, membawaku terawang atas apa yang menyesak di dadaku kali ini serta tingkah konyolku tadi pagi. Lelah mencari seseorang yang telah lama tak kujumpai, sosok yang... sering ditepikan oleh mayoritas rakyat seperti kita, sok suci, sok kaya dan sok terhormat. Hanya karena sering melihatnya berteman dengan yang kumuh dan berumah 'kebebasan' seperti yang aku idamkan...

Unyil, aku mencarimu, aku kangen dihibur sama kamu, bulu matamu yang lentik, lincah gerakmu tanpa alas kaki, rambutmu yang keriting, kulit mu yang hitam karena terbakar daya paling bermankna, sang matahari dan satu lagi, kelihaianmu menghisap sepuntung racun yang dibalut rapi dengan kertas yang terasa manis katanya. Ya, semua yang ada dalam dirimu, seorang bocah berusia 7 tahun, ooops mungkin saat ini usiamu telah bertambah. Aku masih ingat, bercerita denganmu membuatku terasa menerima perihnya hidup.

Aku, memang tak lebih sengsara daripada kau, tapi kenapa kini aku harus sesenggukan di telinganya... (pasti dia geram...memalukan sekali ya...). aku tak pernah berpikir, jika aku yang memiliki takdir seolah lebih baik dari kau, dan tiba-tiba harus berjalan di atas roda kehidupan sepertimu, pasti aku tak akan setegar kamu, bocah. Aku hanya bisa bilang ini pedih, karena suatu kenyataan yang tidak, oops, maksudku kurang sempurna bagiku, aku, merasa diperlakukan bagai kacung oleh orangtuaku, mereka tak lagi pengertian, bahkan kejam pada batinku. Itu luka bagiku, Unyil.

Tapi kini aku tak dapat menemuimu, aku rindu saat kau membuka mataku kembali saat aku mulai roboh dan hampir terkalahkan oleh kekerasan hatiku. Di matamu ada kebebasan. Mungkin, orang lain tak melihatmu menggenggam masa depan dengan pasti, tapi aku tahu, kau mampu mengatasi semua masalah dengan kecerdikan dan ketangkasan jemari yang kau miliki. Bukannya malah sesenggukan sepertiku.

Kembali kulayangkan pandanganku pada pelataran pusat kota yang cukup luas itu. Masih pagi, tak cukup banyak orang bergerombol atau sedang temu kangen di trmpat itu. Ranting-ranting kecil beringin itu sedikit berayun saat angina pelan menghembusnya. Sejuk, tapi tak cukup lama, kalah oleh asap-asap tumpangan manusia-manusia pekarya itu. Setiap sudut bangku batu kuperhatikan, belum kutemukan sosokmu, Unyil. Sungguh, aku merindukanmu. Mungkin berjabat denganmu sudah cukup menguatkan aku.

Beberapa teman kecilmu mulai berlarian membawa kaleng bekas kosong yang siap menampung receh sumbangsih pejalan kaki. Berlari-lari kecil, hingga tak sadar kedua bocah itu menabrakku yang tengah memerhatikan sekawanan dara terbang kian-kemari. Seorang bocah gundul mendongakkan kepalanya, aku tersenyum, bukannya membalas senyumku, malah ia sodorkan kaleng dengan tangan kirinya. Aku diam sebentar, “Hei siapa namamu?” tanyaku. Dia hanya menggeleng. Aku ulang pertanyaan itu sambil sedikit mundur. “Iwan,” singkatnya. “Kau tahu dimana Unyil?” tanyaku lagi. Ia menggeleng. Aku ingin bertanya banyak, tapi aku sedang tak ingin bicara, aku masukkan satu koin 500 perak ke dalam kaleng milik Iwan, sebentar kemudian ia belari lagi mengikuti kawanan dara yang hendak pergi.

“Mbak, ini French fries dan sheaker kejunya,” sapaan waitrees berseragam kuning-merah itu membuyarkan lamunanku. “Terimakasih,” jawabku singkat sambil menarik sekotak kentang yang aku pesan untuk kedua kalinya pagi ini. Senyum waitrees itu seolah mengisyaratkanku untuk tenang saja.

Mungkin ini yang Tuhan maksudkan. Maunusia yang wajib belajar. Aku selalu bertanya, kenapa aku mencintai jalanan? Sedangkan Unyil pernah berkata padaku, kadang dia pun ingin menjadi anak rumahan, tidak pusing katanya. Tapi, dia selalu bisa menikmati setiap sisi hidupnya. “Ya nggak apa-apa,” itu jawaban pasrah yang selalu muncul dari bibir tipisnya yang kian menghitam akibat isapan ‘racun’ berbungkus itu. Matanya tidak pernah berkaca-kaca saat bercerita hal yang paling pedih sekalipun.

Ibu dan ayahnya saja sudah renta, kakak-kakak yang dia miliki saja tidak pernah menghiburnya. Justru ibunya memberikan seorang adik bayi, yang entah dia tak tahu kenapa bisa datang bayi itu. Kacau balau, rumah petak itu tak muat lagi. Ia hanya mampu berdalih senang bersama teman-temannya dan menyimpan harapan-harapannya dalam tiap kepulan asap rokok yang telah ia hisap. Unyil belum pernah berpikir untuk menjadi ranking satu di sekolahnya, belum sempat memikirkan cita-citanya di masa depan. Ia selalu menggeleng saat kutanya. “Yang penting bisa hidup,” mungkin itu yang ia pikirkan.

Pertahanan dirinya cukup hebat, untuk bocah sekecil itu. Sedangkan aku, hamper seperempat abad usiaku masih saja kacau saat menemui suatu ketidak sempurnaan. Tapi bagi Unyil, kesempurnaan itu tidak hadir dalam satu garis lurus dengan harapan. Kesempurnaan itu, ada di dalam hatinya, ia sendiri yang merangkai kesempurnaan itu. Ia bebas dengan hidupnya.

Aku pulang tanpa putus asa, ingin meraih besok pagi dengan senyumku, aku harap Unyil kini sudah bahagia.