Sunday, June 17, 2012

Kejutan Impian


Hmmm.. kalau ditanya soal impian, saya suka senyum-senyum sendiri nih… soalnya langsung menjalar-jalar kemana-mana. Mungkin karena terlalu banyak, hehehe… tapi bukan masalah juga sih, dengan impian, rasa-rasanya justru menambah semangat yah… Paling tidak, kita masih sadar bahwa masih ada hal-hal yang perlu kita raih. Dan, bagaimanapun, meraih impian cukup besar sumbangsihnya kepada rasa bahagia… ya begitulah kira-kira…

Seperti anak-anak pada umumnya, saya memulai menyusun impian-impian saya di masa kecil. Kadang pertanyaan, “Kalau sudah besar kamu mau jadi apa?” lumayan memainkan imajinasi saya. Mulai dari jadi astronot, jadi menteri, penari sampai jadi penyanyi, pernah hinggap dalam imajinasi saya. 

Saya sering menceritakan semuanya kepada kakek saya, yang kebetulan, saat itu lebih punya banyak waktu untuk bersama saya. Beliau hanya pesankan, bahwa untuk menggapai impian, kita harus banyak belajar dan berani mencoba.

Sampai suatu saat saya punya impian menjadi jurnalis. Salah satu cita-cita yang sedikit dilarang oleh kakek saya. Sepertinya beliau khawatir, karena jurnalis sering menjadi korban teror. Kira-kira usia saya sepuluh tahun waktu itu. Saya kurang paham dengan maksud kakek saya. Justru saya semakin penasaran, kenapa kakek saya begitu khawatir. Padahal, menurut saya, pekerjaan itu cukup seru.

Walaupun saya punya cita-cita lain, tapi saya tetap penasaran dengan profesi jurnalis itu. Tadinya saya ingin menjadi jurnalis perang, seperti dalam film-film yang pernah saya tont. Tapi saya pikir-pikir, serem juga ya, mungkin itu salah satu hal yang dimaksud bahaya oleh kakek saya. Lama-kelamaan saya beralih ingin menjadi jurnalis olahraga. Ah, gantinya gak nyambung banget ya… wkwkwkwkwkwk….

Ya tapi bagaimanapun, saya tetap ingin menjadi seorang jurnalis. Titik. Dengan impian itu, saya semakin semangat belajar menulis dan banyak membaca tentang banyak hal. Waktu duduk di bangku SMA, saya mulai tertarik dengan hal-hal yang berbau budaya dan isu-isu sosial. Lagi-lagi saya menemukan teman diskusi yang sangat menyenangkan, iya, kakek saya. Alhamdulilaah. Saya bersyukur.

Hampir setiap hari saya dan kakek saya berbincang tentang budaya dan isu-isu sosial.  Saya menyebutnya sebagai ajang asah otak. Menyampaikan rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala saya. Dari situ, saya merasa, saya masih harus banyak belajar dan banyak membaca tentunya.

 Kemudian, saya berpikir, kalau bertanya pada kakek saya tentu saja saya lebih berani, tapi bagaimana kalau saya harus bertanya kepada orang-orang yang baru saya kenal, atau bahkan belum saya kenal? Ah, jangan-jangan dia tidak peduli pada saya, atatu bahkan enggan menjawab pertanyaan saya. Wah ternyata harus latihan wawancara juga yaa…

Sempat beberapa kali, dalam ekstakurikuler yang saya ikuti di sekolah, saya mendapat tugas untuk mewawancara juga. Banyak hal baru yang dapat saya temukan dan saya punya kesempatan untuk lebih memahami orang lain serta kejadian-kejadian di sekitar saya. 

Oke, saya semakin menyukai dunia korespondensi dan kemudian menuliskan hasil korespondensi itu. Sepertinya pada saat itu, saya berteriak dalam hati… “Aku ingin jadi jurnalis…………!!!” xixixixixixi… berlebihan ya? Ya, tapi itulah yang saya rasakan. Jujur, tak banyak yang mendukung keinginan saya itu. Pastinya, kekhawatiran yang membuntutinya.

Tapi saya masih yakin, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang cocok dengan jiwa saya. Saya pasti suka melakukannya, dengan senang hati. Begitu saja. 

Keyakinan itu bertambah ketika saya duduk di bangku kuliah dan bertemu dengan teman-teman yang memiliki faham yang sama, impian yang tak jauh beda. Saya banyak belajar dari mereka semua, dan mulai mencari karakter dalam diri saya sendiri.

Saya bergabung dengan komunitas penulis dan mulai belajar menjadi reporter untuk majalah kampus, serta sebuah bulletin untuk Jurusan tempat saya belajar. Sedikit demi sedikit saya memahami tentang teknis-teknis pembuatan sebuah berita. Mulai dari merencanakan pemberitaan, mencari narasumber, wawancara hingga menuliskan berita.

Sepertinya sederhana tapi dalam prosesnya cukup banyak pelajaran yang saya dapat. Harus tanggap, cepat, dan mental baja. Iya, pada awalnya saya cukup kaget dengan tanggapan-tanggapan dari narasumber, termasuk juga tanggapan pembaca berita setelah berita-berita tersebut dicetak dan disebarluaskan. Ya, semacam pro dan kontra tentang suatu hal yang kita angkat menjadi sebuah berita.

Selama kita mendapatkan narasumber yang tepat dan menuliskan berita sesuai dengan faktanya, kita tetap bisa mempertanggungjawabkannya. Kalau dalam pikiran saya, tulisan-tulisan yang saya buat adalah informasi yang saya harap dapat menjadi masukan bagi pembaca.

            Meski ternyata lebih dari sekadar itu, saya tetap menyukai dunia korespondensi. Dengan banyak resiko yang mungkin saya terima, saya rasa hal itu akan menjadi pelajaran berharga untuk saya, di masa depan.

            Rasa penasaran saya tentang dunia jurnalistik tak terbayar begitu saja. Mungkin karena saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan dunia tersebut, sampai-sampai dalam penulisan skripsi pun saya memilih tema untuk kaum jurnalis. Alasannya sederhana, saya ingin menulis yang saya suka dalam dunia yang membuat saya jatuh cinta.

            Saya juga bukan orang yang paling kuat untuk bisa meraih impian saya. Di lain sisi orang-orang yang kurang memberikan dukungan, ada juga yang dengan kukuhnya memberikan dorongan kepada saya untuk meraih impian saya. Saya tahu, bahwa setiap perjuangan yang diridhoi oleh Alloh akan bisa mendapatkan hasil yang baik, di saat yang tepat.

            Langkah-langkah itu pun mendaratkan saya pada sabuah tawaran menggiurkan. Dimana, seorang pemimpin redaksi sebuah tabloid pendidikan menawarkan pekerjaan yang saya idam-idamkan kepada saya. Ya, saya mendapat tawaran untuk menjadi jurnalis untuk sebuah tabloid pendidikan. Subhanalloh, betapa baik Alloh kepada umat-Nya. Memberikan ijin untuk mendekat pada hal yang dicintainya.

            Saat itu skripsi saya belum selesai. Saya harus mempercepat proses ujian agar saya bisa segera bekerja. Menjadi jurnalis, salah satu impian saya tengah mendekat, sangat dekat dengan saya. Ayah saya, agak keberatan saat itu. Tapi saya ingin mencoba profesi itu. Ayah saya khawatir tentang ragam “uang suap” dan pulang malam pada saat itu. Kemudian saya menjelaskan, bahwa sebisa mungkin saya menjauh dari hal-hal yang kurang baik, yang ada dalam pikiran beliau saat itu. “Do’akan baik-baik saja,” kata saya pada Ayah. Kemudian, ayah memberikan ijinnya juga kepada saya. Begitu juga dengan ujian skripsi saya. Alhamdulillah semua beres.

         Hingga pada hari yang ditentukan, saya resmi menjadi jurnalis sebuah tabloid pendidikan. Memang bukan sebuah media terkenal, tapi saya menyukai arah pemberitaannya. Pada saat itu saya dipercaya untuk menulis berita-berita pendidikan dan tentang remaja. Cukup menarik. 

            Ada banyak kejutan yang saya dapatkan, sejak hari pertama. Saat itu, saya harus bisa mendapatkan dua berita tentang pendidikan. Saya harus mencari sendirian, padahal saya pikir untuk anak baru masih bisa tandem. Ternyata tidak… hehehehehe… Alhamdulillah semuanya lancar dan dari hari ke hari saya menikmati pekerjaan saya, sebagai seorang jurnalis.

             Seseru-serunya pekerjaan, selalu ada kejutan yang menyenangkan dan kurang menyenangkan. Tapi sungguh, banyak pelajaran yang saya dapatkan dari sana. Bagaimana memahami orang lain, kehati-hatian, ketelitian, dan  siap menerima wacana baru. Intinya, bersahabatlah dengan diri sendiri untuk bisa menerima keadaan, yang belum pernah kita duga sebelumnya.