Wednesday, October 31, 2012

Ketuk Palu




Mungkin suatu saat aku hanya bisa berjalan tanpa harus menentukan arah sendiri. Mungkin suatu saat aku hanya bisa melihat tanpa mampu memberikan komentar tentang apapun yang sedang ataupun telah aku lihat. Mungkin suatu saat aku hanya bisa mendengar tanpa bisa mengatakan tidak setuju. Kemudian aku terdiam. Mengunci pintu kamarku rapat-rapat dan menangis sendirian.

Berapa lagi rentang waktu yang mesti aku tunggu. Berapa panjang cerita lagi yang harus aku tulis. Berapa banyak lagi orang-orang asing yang harus aku temui. Berapa kejadian lagi yang mesti aku saksikan. Jika semua hanya ada untuk membuat aku terbungkam. Seperti aku yang sengaja memenjarai diriku sendiri.

Bising. Iya, hanya bising dengan tawa-tawa di atas nestapa-nestapa pada sekian luka. Mereka, tak pernah memedulikannya. Mereka reguk semua kemenangan di atas segala lemah diantara dosa-dosa yang tak pernah mereka tahu lebih atau kurangnya dibanding milik mereka sendiri.

Gusar. Iya, justru balasan gusar, kasar, bahkan kadang lebih tajam daripada cakar macan paling besar. Mereka bangga dengan segala kepemilikan besar yang tengah bersembunyi di balik punggung-punggung rapuhnya. Tak pernah pula mereka sadar bahwa apa yang kini dirasakannya bukan atas perjuangannya, sendirian.

Dan sekarang adalah masanya. Ketika aku tak lagi melihat taman-taman dengan pohon-pohon yang rindang, yang selalu memaksaku menari dan bernyanyi pada semesta. Tentang apa saja, semua yang aku rasa semestinya.

Dan sekarang adalah masanya. Ketika aku dipaksa diam dan terbungkam atas semua cerita yang aku saja enggan menikmatinya. Aku tak boleh membenci, katanya. Aku harus bersabar, katanya. Lalu, lama-kelamaan aku semacam melindaskan tubuhku diantara roda-roda kendaraan yang bertuan, yang mungkin aku kenal, yang mungkin juga tak perlu aku kenal atau justru belum dan tak pernah aku kenal.

Jika memang semua telinga tak lagi punya ruang untuk mendengar, jika memang semua bahu tak lagi mau menjadi tempat bersandar, jika semua mata hanya mau melihat dengan sebelah saja, jika semua hati tak lagi memiliki empati, jika semua kisah telah dipaksakan antiklimaksnya. Baiklah, aku berjuang... berjuang... tak ingin berkesah dalam pasrah. Aku takut Tuhan marah.

 

Saturday, October 27, 2012

Semesta Rasa



Sebenernya saya nggak ngerti kenapa tiba-tiba saya ingat sama salah satu karya biangnya romansa, Teguh Puja, yang judulnya Semesta Rasa. Ya mungkin memang sudah saatnya saya sedikit cerita tentang bku itu.. :D Itu juga kumpulan cerpen seperti buku sebelumnya yang pernah juga saya ceritakan. Tapi di buku ini ada juga yang merupakan tulisan kolaborasi, yang cukup keren.

Mmmm kalau nggak salah ngitung ada sekitar 26 cerita pendek gitu deh di dalamnya. Seperti judulnya, semua yang diurai adalah tentang rasa. Yaa... semua rasa... suka, duka, bahagia, kecewa, keraguan, hingga ketulusan. tema yang diangkat juga sederhana kok, mudah dipahami, dan pastinya dikemas dengan bahasa yang sungguh mendayu-dayu.. *tsaaahh

Ya semakin kesini, semakin bisa diyakini lah bagaimana gaya kepenulisan penulis yang satu ini. Oh iya, satu lagi yang menarik, disini juga ada beberapa cerita yang mungkin memunculkan rasa-rasa gelisah, amarah, dan kegundahan lainnya yang dipaparkan tanpa kita menyebutnya jahat ataupun terbawa dalam benci-benci yang mendendam. Mungkin karena selalu diselipkan kebijaksanaan dan kebersahajaan ya... :D

Dari sekian cerita yang ada, ada beberapa yang menurut saya layak diistimewakan, seperti Menjelma Malaikat, Berdamai dengan Kehilangan, dan tentu saja Jingga di Ujung Senja. Cerita-cerita yang sangat mengesankan. Tapi sejujurnya, saya paling suka dengan satu cerita, dengan judul Ketulusan. Hmmm gimana yaa.. Lebih banyak kejutannya mungkin ya...

Jadi, kalau penasaran, siap-siaplah ketagihan... :)

Wednesday, October 24, 2012

Dari Mas Piyu




Ku Tak Salah Melepasmu
Piyu feat Anji

Pelan-pelan ku benamkan pikiranku

Bahwa akupun tak salah melepasmu
Selamat tinggal kisah indah bersamamu
Selamat tinggal cinta yang sudah berlalu

Sempat kurasakan sepi 
Tapi ternyata hanya pikiranku saja
Masih banyak pilihan ada di depan mata
Ku tak salah melepasmu
Oo ku tak salah melepasmu

Lambat-lambat waktu makin memacuku memacuku
Setidaknya aku masih mengingatmu
Selamat tinggal kisah indah bersamamu
Selamat tinggal cinta yang sudah berlalu

Sempat kurasakan sepi 
Tapi ternyata hanya pikiranku saja
Masih banyak pilihan ada di depan mata
Ku tak salah melepasmu
Oo ku tak salah melepasmu

Lambat-lambat waktu makin memacuku memacuku
Setidaknya aku masih mengingatmu
Selamat tinggal kisah indah bersamamu
Selamat tinggal cinta yang sudah berlalu

dicopy dari sini


Ehem... akhirnya... saya bisa dengerin lagu ini sampe abissssss.... :D Dari awal aja saya udah sukaaaa bangeeetttt.... Tapi di soundcloud-nya Kak Anji cuman di-upload separuh lagu aja. Dan tadi saya iseng searching, bisa dengerin dari sini xixixixixi.....


Ini lagunya Mas Piyu berasa ada ceritanya banget deh dari yang pertama dulu, dan sekarang waktunya dia ngajakin move on... ehehehehe... ciaaaaapp... Mas Piyu ini memang baik banget yaahhh... :D

Cobain ya... kalian dengerin jugaa... dan mudah-mudahan sukaa... seperti saya... ;) 


Saturday, October 06, 2012

Maaf Tuhan, Tentang Semalam





Malam diiring hujan tanpa perhentian. Aku merasa dingin, beku, kemudian membisu. Seakan tak mampu menahan sesak yang terus mendesak. Iya, seperti ada yang menghunus jantung. Aku tak lagi peka terhadap do'a ataupun kalimah sakti yang mestinya aku rapal. Aku seperti dibunuh pelan-pelan. Merasakan sakit yang tak lagi mampu aku tahan.

Malam diiring hujan tanpa perhentian. Aku merasa dingin, beku, kemudian membisu. Seakan langit begitu gelap, pekat. Gemuruh pun enggan peprgi. Menyaksikan aku yang terlunta dalam ketidakberdayaan. Aku berdiri. Namun kau tahu? Hatiku lumpuh. Beruntung tubuhku tak kemudian rubuh, terjatuh.

Malam diiring hujan tanpa perhentian. Aku merasa dingin, beku, kemudian membisu. Aku bersimpuh. Membiarkan air hujan jatuh memukuli tubuh. Tak lagi mampu aku menahan air mataku. aku ingin berteriak, memanggil nama-Mu. Mendekat pada-Mu, berlindung di peluk-Mu. Mungkin benar, aku melupa-Mu. Maafkan Aku.

Malam diiring hujan tanpa perhentian. Aku merasa dingin, beku, kemudian membisu. Aku beri ruang hatiku untuk bercerita pada-Mu. Tentang semuanya. Semua yang terlanjur aku anggap luka. Segala yang telah Engkau tentukan untuk menyempurnakan imanku. Maaf, aku baru bisa memahami itu. Tuhan, aku tahu Engkau tak pernah enggan menuntunku lagi. Aku, tak lagi ingin, salah memahami. Tentang Semalam.




Malam diiring deras hujan tanpa perhentian
Aku merasa dingin, beku, kemudian bisu
Antara perih, sesak, serta lelah yang mengerak
Fatwa luka macam apa?

Tuhan, terlambatkah aku menyapa?
Untuk bercerita panjang Pada-Mu
Hingga habis semua keluh yang aku punya
Aku tersesat dalam penat
Nafasku pun tersengal menahan sesak

Tuhan...
Entahlah, rupanya aku melupa-Mu
Namun, aku masih ingin di peluk-Mu
Tuhan...
Aku renta pada luka
Namun, tetaplah tak mampu mengakrabinya lama-lama
Gagalkah aku sebagai manusia-Mu?

Sungguh, aku tahu, bahkan meyakininya
Engkau tak pernah merenggangkan peluk sekalipun
Menyeka semua air mata luka yang tumpah bagai bah
Aku boleh memohon satu, Tuhan?
Lebih dekatkan aku pada-Mu
Agar aku tak sempat lagi melupa-Mu
Meski tengah melumpuh kuasaku