Wednesday, February 29, 2012

Au Revoir



Hari ini tepat delapan bulan sepuluh hari sejak aku membeli telepon pintar, Blackberry merah yang modelnya selalu aku suka. Namun tepat hari ini pula aku harus berpisah dengannya. Berpisah dengan semua kesibukan yang terikat dengan komunitas yang terbentuk darinya. 

Ah, satu nama yang terlintas. Yap, hanya melintas. Banyak teman yang menganjurkan untuk membeli saja yang baru, toh banyak yang harganya murah. Namun entah kenapa, meskipun ada bayangan seseorang itu melintas, aku tetap kukuh tak akan berganti tipe. Aku merasa itu pertanda dari Sang Pemilik Semesta untuk berhenti menyia-nyiakan waktu. Menyiakan waktu berkirim pesan, menyiakan waktu berusaha mendekat, menyiakan waktu untuk berharap. Kini aku siap, dan sangat bersemangat untuk melangkah, membeli handphone baru. Handphone yang mungkin akan menjauhkan aku darinya. Menjauhkan aku dari segala kenangan yang seharusnya sudah bisa aku jauhkan. Bisa saja orang bilang, aku terlalu berlebihan dengan segala yang aku rasakan. Ah, kalian tidak tahu saja.

Sekarang, aku akan melangkah pada sebuah dunia yang baru, yang akan memberikan aku kejutan-kejutan yang lebih menyenangkan. Semoga. 

"Nas, besok jadi gak beli handphone-nya?" Kirana mengagetkan aku. 
Benar-benar membuyarkan lamunanku. "Ah, iya, jadi deh jadi..." jawabku cepat. 
Kiranan mengernyitkan dahinya. "Hah? Kenapa pake 'deh'? Niat nggak sih kamu?". Pantaslah kalau Kirana kesal. Ini sudah kelima kalinya aku maju mundur untuk beli handphone baru.

Bukannya apa-apa sih, kadang mereka jadi kesulitan mencariku. Aku, yang baisa sewaktu-waktu menghilang. Hanya untuk menenangkan pikiran yang kadang berujung pada perasaan tak enak. Bismillaah, aku bulatkan tekadku, "Iya, jadi ga pake deh", ujarku yang kemudian membentuk seulas senyum di bibir Kirana. Sebenarnya aku sudah memutuskan handphone yang akan aku beli. Namun hanya alasan 'belum menemukan tipe hp yang akan ku beli'-lah yang paling tepat. Ku yakinkan diriku sekali lagi. Aku tidak melakukan hal ini untuk menghindarinya. Aku hanya ingin merengkuh kembali dunia nyataku. Kembali menikmati hangatnya berjabat. Kembali menikmati indahnya bercakap. Ngalor ngidul tanpa arah. Dari satu topik ke topik yang tak bersinggungan sama sekali.

Dan ternyata aku memang merindukan untaian kata yang terucap. Aku sudah muak membaca kata, menafsirkan icon yang terpajang sebagai ganti raut wajah. Raut wajah yang bahkan aku sudah lupa. Aku lupa bagaimana lawan bicaraku tertawa, menangis dan cemberut ketika aku menggodanya. Aku adalah orang yang suka sekali membaca gerak wajah. Menikmat setiap senyum dingin, pandangan sinis, dan tawa terbahak yang tak perlu ku kira-kira.

Aku siap. "Besok kita berangkat jam berapa?" tanyaku tegas. Kirana tersenyum. Indah.
"Oke deh Inas cantik, besok kita berangkat jam sembilan pagi ya... biar kamu puasss muter-muternya. Dan dapet handphone yang kamu mau," lanjut Kirana seraya mengerlingkan matanya.

***

Oke, hari ini, aku akan menemukan sesuatu yang baru, yang membawaku pada kenikmatan selanjutnya.
Aku berputar-putar dari satu toko ke toko yang lain. Ternyata tak semua toko menjual tipe handphone yang aku maksud. Mungkin karena bukan tipe terbaru, dan bukan  handphone gaul yah. Ah, tapi aku tak akan menyerah. Ini sudah menjadi keputusanku.

"Nas, kamu gak salah dengan tipe  handphone yang kamu cari?" tanya Kirana kemudian. Aku menggeleng. "Kita sudah menghampiri belasan toko, euy, dan tak satupun menyediakan tipe yang kamu mau," sambung Kirana yang mulai tampak lelah. 
"Ah, Ki, tolonglah, ini mumpung aku mau loh buru-buru ganti  handphone," rajukku. Kirana hanya mampu mengangguk lemah. Kita, lanjut berburu.

Lelah tak hanya mendera Kirana. Kakiku pun sudah mulai melemah. Kami pun duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia di pinggir koridor pertokoan. Kirana tampak lelah dan menyeka keringat. Sedangkan aku, mataku tetap saja jelalatan untuk mencari tipe handphone yang kuinginkan. Hingga empat kali jelalatan, akhirnya mataku tertarik pada satu toko. Bukan karena telah kutemukan handphone yang ku cari, tetapi kulihat seorang lelaki, berumur 25 tahunan tampak melamun, bersedih. Entah kenapa kakiku tiba-tiba bergerak ke arahnya. Tiba-tiba aku telah duduk di depannya, dan terukir senyum manisnya. "Mau beli hp mbak? cari yang tipe apa?" ujarnya ramah.

Aku lalu menyebutkan tipe yang ku mau, tanpa berharap banyak sebenarnya. Namun mengejutkan, lelaki itu berdiri, mengambil kotak di balik etalase tak mencolok. Masih bersegel. "Ini ada mbak, sebenarnya dibeli sama orang siy." Lalu ia terdiam, lelaki itu membiarkan kalimatnya menggantung di udara.

"Wah kalau sudah di tag sama orang, saya gak berani ambil dong mas," kataku memutus kehengingan.
"Oh bukan, kisahnya panjang mbak." katanya sendu.
"Jadi boleh  handphone  ini saya beli? berapa harganya?"
Setelah kami saling bernegoisasi harga. Tak lama, karena aku juga sangat mengingingkannya, tercapailah kesepakatan harga untuk  handphone itu.
 
Kirana menepuk punggungku. "Kukira kamu kemana, sudah ketemu?"
Kirana pun duduk disebelahku. "Wah mas, hebat euy, masih ada  handphone-nya? Saya kira sudah gak ada lho. Saya sudah putus asa mengantarkan teman saya ini berkeliling cari handphone ini. Alhamdulillaah sih ketemu, tapi kok bisa masih ada Mas, udah gitu masih rapi kardusnya? Bukan second ya?"
"Ya, udah jodohnya kali Mbak. Ini saya jual juga belom lama sih, takutnya gak ada yang beli. Kemarin ada yang nanyain sih, tapi udah lewat batas waktu. Dia gak sreg. Jadi ya ini udah takdirnya kali ya Mbak, hehehehe..." eeh, mas-mas yang jualan malah becandaan.
"Iya nih Mas, mana lagi temen saya ini susahnya minta ampun mau ganti  handphone aja. Mikirnya berbulan-bulan. Kalah orang milih jodoh mah... Eee sekalinya milih... susah aja... untung-untungan bisa dapet yang dia mau," timpal Kirana, dan semena-mena membuatku melongo.
"Ih...kamu apa sih Ki...." protesku sambil mencubit lengan Kirana. Aku cuma bisa cengar-cengir. Sekarang, yang aku rasakan adalah senang, puas, dan mantap. Yaiyalah,  handphone baru sudah di tangan, dan... sesuai keinginan.
Tak berapa lama setelah kupasang sim card nomor handphone ku. Akupun berpamitan. 
"Ehmm  Handphone-nya mau langsung dipake mbak?" tanya si mas penjual sebelum aku pergi.
"Iya mas, begini saja, terimakasih," jawabku seraya tersenyu. Aku dan Kirana, melangkah, berjalan untuk pulang.

***

Sesampainya di rumah, ternyata banyak pesan yang masuk. Tak tertera nama pengirimnya, karena banyak nomor yang tersimpan di memori  handphone lama. Dan terdapat satu nomor tak dikenal di daftar panggilan tak terjawab.

Terlintas kembali dirinya. Tapi hanya melintas saja. Tak terkenangkan obrolan yang dulu hingga pagi kami ketikkan. 

Aku tersenyum, mungkin aku sudah tak terikat lagi dengannya. Juga dengan Si Merah, begitu aku biasa menyebut handphone  lamaku, yang sekarang tergeletak di pojok meja riasku. Kuusap untuk terakhir kalinya. Aku berpamitan. Teringat kata Kirana, "Kita tak pernah memiliki apapun, tak selayaknya sedih karena kehilangan" Ungkapan olehnya dan untuknya sendiri ketika kekasihnya meninggalkan dunia ini. Iya inilah perpisahanku. Akhirnya akulah yang mengakhirinya. Bukan, memang bukan mauku. Tapi aku butuh perpisahan ini. Aku harus berpisah sekarang. Berpisah tanpa rasa kehilangan. Kuucapkan selamat berpisah padanya, dalam hati. Dan aku masukkan Si Merah ke dalam laci riasku. Pada saat ini kuputuskan, aku akan kembali merengkuh nyataku. Dan tak lagi bersandar pada harap.

Semuanya aku terima, dengan ikhlas. Terima kasih masa lalu. Selamat datang, masa depanku. Tuhan yang akan memelukku dengan segala kejutan untukku.




Tulisan kolaborasi @wulanparker dan @dephiedepp

No comments: