Tuesday, November 27, 2012

Rindu Senandung Pagimu

gambar dipinjam dari sini

Aku menghela nafas lebih lega, membiarkan udara menjalar ke seluruh tubuhku, memelukku
Aku terdiam melumat senyum, kehabisan kata saat kembali terduduk di pangkuanmu
Mengendapkan seluruh luka yang tetiba saja menggores ketika aku gagal bertemu
Ya, aku harus memupus semua haru biru pertemuan yang telah aku bayangkan lebih dulu

Sekarang, aku disini bersamamu, di satu waktu yang selalu aku tunggu
Aku menikmati cumbu darimu yang selalu aku rindu
Dinginmu, sejukmu, serta teman pagi yang membalut aku dengan syahdu
Aku, yang kemudian tak lagi ingin meninggalkanmu

Mungkin, bukan kau yang merasa sendiri kemudian sepi
Mungkin, bukan kau yang terantuk-antuk rindu kemudian membiru
Mungkin, kau lebih menikmati segala yang baru, menghampirimu
Mungkin, kau lebih menikmati sapa-sapa asing yang aku kira semu

Aku, aku yang memupuk rindu-rindu untuk senandung pagimu
Aku, aku yang selalu berangan kembali ke pelukan tenangmu
Aku, aku yang tak mampu menawarkan cinta kepada selain kamu
Aku, aku yang terus menggebu mengelu-elukan kamu, indahmu

Sayangnya, aku tak lagi melihatmu yang begitu lugu
Kau lebih kekar dengan sembarang rasamu yang kadang terlihat tak menyatu, denganmu
Sayangnya, aku tak lagi melihatmu yang menyukai sepi di sekian titik waktumu
Kau lebih bingar dengan sembarang hiburan yang kadang aku tak yakini, itu kesukaanmu

Kamu,
Aku suka mendapati pelukanmu
Aku bahagia kau cumbu dengan udaramu
Aku berpesta dengan kecupan senjamu

Namun, aku....
Masih saja merindu
Tentang kamu, tanpa bingar yang melekat padamu
Tentang kamu, yang menyambutku dengan nyanyian burung pagimu
Di situ, alun-alun kotaku
Kamu, Malang yang syahdu

Saturday, November 17, 2012

Cerita Putih


gambar diambil dari sini

Putih menyapa pagi dengan senyum sebaris gigi. Ia melangkahkan kaki-kaki mungilnya dengan semangat sambil menari-nari. Sesekali ia berhenti mengelus dedaunan yang masih basah oleh embun pagi. Seperti biasa, ia akan menjadi penghuni taman seharian. Menyiram bunga dan membersihkan sampah-sampah yang turut membalut hamparan rumput. Dan, Putih selalu senang melakukannya.

Tetiba ada yang membuatnya heran ketika sedang sibuk memberi pupuk bunga-bunganya. Putih bangkit dari tempatnya berjongkok. Ia tak melihat bayangannya seperti biasa. Ah, kemana matahari, kenapa tiba-tiba pergi? Putih membatin. Lalu ia melepas topi berkebunnya dan mendongakkan kepalanya ke langit. Ia hanya mendapati langit yang beranjak gelap. Awan-awan yang tadi pagi begitu cerah, sekarang berubah kelabu. Tak lama, titik gerimis jatuh menyentuh tubuhnya.

Putih membereskan semua perangkat berkebunnya, membawanya ke tepi. Ia pun duduk di bangku dalam saung. Putih duduk bertopang dagu di pinggiran saung. Putih menyukai hujan, tak jarang ia membiarkan tubuhnya basah dipukul-pukul air hujan yang menderas. Justru ia tertawa-tawa, bahagia. Menari-nari dalam hujan. Namun, kali ini, ibu melarangnya bermain hujan. Tubuhnya sedang lelah pada hujan. Ibu bilang, Putih hanya boleh menikmati hujan dari jauh. Ya, asalkan Putih masih bisa mencium harumnya tanah yang dipeluk hujan, tak apa.

Terlintas dalam pikiran Putih, apakah semua akan bahagia dengan datangnya hujan? Seperti dirinya? Apakah semua akan mampu menari dan tertawa dalam hujan? Seperti dirinya? Apakah semua akan tenang ketika membaui tanah basah karena hujan? Seperti dirinya?

Langit berkali-kali mengirim gelegar dan kilatannya. Seakan sedang ada yang mengehentak-hentak dan meronta di atas sana. Semakin gelap, hujan semakin deras dan semua menjadi dingin.

“Jadi kapan dia akan kembali ke peraduan?” tanya Matahari kepada Langit tentang Hujan.

Langit hanya diam. Tetap tak memberikan jawaban. Ini sudah kali ketiga Matahari bertanya kepadanya. Seolah tak peduli, Langit justru menghindari Matahari yang terus mengejarnya.

“Jadi kau sengaja membiarkannya bermain lama-lama?” Matahari mulai menggunakan nada tinggi.

Langit spontan mengerutkan dahinya. Bersamaan dengan itu, kembali terdengar gelegar bersahutan dengan kilat.

“Jadi benar kau tak ingin menghentikannya barang sebentar, saat senja?” Matahari terus memberondong Langit.

“Hahahahaha” Langit justru menertawakan pertanyaan Matahari.

Matahari semakin geram. Hari ini, ia sedang merindukan Bulan dengan sangat. Ia ingin memberikan kejutan kepada Bulan. Ia tahu, pertemuannya dengan Bulan hanya bisa dilakukannya ketika senja. Pertemuan yang selalu dapat dinikmati semesta. Ia dan Bulan meyakininya. Namun, hari ini? Apa yang bisa ia lakukan, tak ada. Langit tak mau berpihak pada kebahagiaannya, meski hanya sesaat.

Entah dalam rentang berapa jauh, ada yang mengisak, menahan tangisnya agar tidak meledak. Di luar peraduannya, terlihat masih sangat gelap. Gemuruh kilat, bergantian. Ia pun masih bisa mendengar jelas riuh hujan yang berlarian ke bumi. Kali ini Bulan hanya bisa menyepi sendiri. Jika hingga senja, hujan tak reda, ia khawatir, tak ada pertemuan dengan Matahari. Dalam gelap, ia tak akan bisa melihat senyum Matahari, yang terurai sesaat. Serta tawa lepasnya di langit. Menjemputnya dari peraduan. Membuatnya bersemangat menemani malam. 

Putih merunduk, membayangkan kesedihan Matahari dan Bulan. Mereka yang selalu ia sapa kehadirannya. Dan mungkin ketika hujan, justru tak sebahagia dirinya. Tuhan memberikan beranda tempat pertemuan mereka. Senja, yang selalu menemaninya pulang ke rumah. Menyusut peluh-peluh lelah.

Namun, ketika hujan, apa yang bisa ia lakukan? Putih hanya bisa dipeluk dingin dan mungkin juga basah. Tapi, ia tak lagi bisa menikmati tawa langit yang jingga, seperti biasa.

Aku harap, kalian tak membenci hujan. Mungkin itu rindu langit kepada bumi. Mereka hanya punya hujan untuk saling berpelukan. Seperti kalian, yang selalu berbagi tawa, kala senja. 

Putih tersenyum seraya mengirmkan pandang ke langit luas. Tak pula remeh pada hujan. Ia merasa ingin memeluk semuanya. Semua, yang tengah saling merindu. Putih akan tetap menikmatinya. Apa pun, rasa dari semesta.








Dengarkan Aku


gambar diambil dari sini

Malam ini aku tersenyum padamu. Bermaksud menghiburmu. Aku menceritakan keadaanku yang baik-baik saja. Aku terus berjuang melukis tawa di wajahmu seperti malam-malam sebelumnya. Sebelum kemudian kamu melihatku dengan mata sendumu. Berlebihan mengkhawatirkan aku.

Rebahmu malam ini, masih dipenuhi paksa memikirkan aku. Katamu, kamu tak ingin aku lagi-lagi sakit atau sekadar terluka. Aku tertawa, tergelak. Kamu justru menatapku penuh heran. Kamu membebat tubuhmu dengan selimut. Mencari kehangatan, pikirmu. Aku doakan saja, kamu bisa mendapatkannya. Seharusnya, kamu tak perlu berlebihan memikirkanku. Berusaha saja untuk lebih tenang. Sudah.

“Aku sekarang sudah cukup kuat. Tak ada yang mudah membuatku sakit,” aku meyakinkanmu.

Kamu bangun, menegakkan punggungmu, bersandar pada dinding di tepi tempat tidurmu. Aku mengikuti gerak lesu tubuhmu yang berusaha kamu buat lebih kuat.

“Ah, tapi aku tahu betul, luka-lukamu baru saja pulih. Bahkan bekas lukamu pun baru saja hilang. Bagaimana aku tidak khawatir?” entah berapa kerut di dahimu yang terlihat kali ini.

Aku menghela nafas panjang. Harus kukatakan apalagi padamu. Setidaknya, aku akan membantumu mengendalikan semua situasi yang kamu hadapi saat ini. Seharusnya kamu tahu, saat ini aku butuh lebih tenang, memiliki lebih banyak ruang yang dapat membantumu menentukan pilihan-pilihan itu.

Aku pun selalu mengatakan padamu, turuti saja kataku, jangan malah membelengguku. Itu hanya akan membuatmu bertambah pusing. Kadang, aku merasa kehati-hatianmu justru membuatmu lebih suka terpeluk takut daripada membebaskan aku yang ingin mengantarkanmu kepada kebahagiaan yang kamu impikan. Pun denganku.

“Aku tak punya niatan untuk membelenggumu,” katamu tiba-tiba.

Aku membiarkan jeda yang ada. Aku akan memberikan kesempatan padamu untuk bicara. Mungkin dengan begitu, aku pun bisa lebih memahamimu.

“Kamu ingat, betapa aku riuh dengan diriku sendiri saat berjuang menyembuhkanmu. Membasuh luka-luka yang masih basah dan terus menganga. Aku tahu, itu perih. Aku selalu menangis saat melihatmu menahan sakit, yang kadang datangnya tiba-tiba. Aku tak mau itu terjadi lagi padamu,” di pelupuk matamu menggenang air mata yang aku tahu, kamu tahan.

Aku berdehem. Meminta sedikit perhatianmu. Menghentikan langkah ingatanmu yang kuanggap tengah memutar waktu kembali ke masa lalu.

“Dengar, aku tak sebentar bersamamu. Aku selalu denganmu, sepanjang hidupmu. Aku cukup mengenalmu. Bukankah sudah seharusnya kita saling mengenal dengan baik?” kamu terdiam, meringkuk memeluk kedua lututmu.

Kamu ingat, saat kita bersama-sama mengadu kepada Sang Maha Cinta? Kita bersama-sama bersimpuh, berbincang dan memohon kepada-Nya. Menginginkan pelukan yang tak akan pernah lepas. Menginginkan dekap yang tak pernah berjarak. Itu yang selalu kita ikatkan. Untuk aku dan kamu. Bagiku, itu sudah cukup membuatku lebih mengerti dan menjauhi rasa takut.

Setidaknya, kali ini aku ingin memberitahumu, bahwa bersamamu menjalani setiap waktu, aku selalu belajar. Darimu, dari semua kejadian yang menimpamu. Aku belajar lebih kuat, aku tak ingin terus-terusan manja, selalu ingin dikasihani, dijaga dan tak boleh terluka sedikit pun.

Aku bukan seperti itu Aira. Semakin kamu mengajakku berjuang, semakin aku berteman dengan semangatmu, aku pun semakin tangguh. Aku tak peduli lagi dengan luka-luka yang dulu. Aku biarkan semuanya meluruh dan sembuh. Itu karena aku menghargai setiap kerja kerasmu.

Tapi kamu harus ingat, yang aku mau, kamu memeluk semua yang menjadi hakmu, kebahagiaanmu. Aku harap, kamu mau mendengarkan aku, hatimu. Jatuh cinta lah, Aira.



*ini ditulis untuk menjawab tantangan menulis cerita dengan POV1. Tetapi, tetapi, kenapa rasa-rasanya jadi POV2? *ngakak guling-guling* 




Thursday, November 15, 2012

“Aku Kembalikan, Ken”



gambar diambil dari sini

Hujan mengguyur Jakarta pagi ini. Udaranya membuatku beku. Meringkuk di balik selimut bermotif hujan salju tak berhasil mengangatkanku Kemudian terdengar dentang jam tua menandakan sudah pukul enam. Aku buru-buru turun dari tempat tidur dan keluar kamar sambil membebat tubuh dengan selimut. Dengan raut muka sebal karena dingin yang menusuk, aku berjingkat menuju dapur. Diam-diam mendekati Mbok Nah yang menyiapkan sarapan.

Setelah mengedarkan pandang sesaat, aku mendekati telinga wanita paruh baya itu dan berbisik, "Mbok, ijinin ke sekolah dong. Bilang aja Rissa lagi Sakit.”

“Lho, bukannya non Rissa sehat?" tanya Mbok Nah lugu.

"Aduh, mbok, pencitraan dong. Udah ya plis," mohonku Sambil memberi wejangan pelan.

Mbok Nah berjanji akan melakukan tugas mulia sebentar lagi. Setelah menyomot tempe, aku naik lagi ke kamar. Aku menutup pintu kamar dan kembali ke sahabat-paling-pengertian-ku, kasur. Aku menggulung
diriku dengan selimut saking dinginnya. Setelah mengabarkan aksi pura-pura sakit hari ini pada
Sarah, aku mencari posisi yang enak untuk melanjutkan tidurku.

Baru saja aku memejamkan mata, Mbok Nah masuk kamar dan membangunkanku. "Non, sudah suratnya. Lalu dititipkan ke siapa?"
"Bentar lagi diambil sama si Sarah, Mbok. Udah ah, ngantuk banget nih!" aku menjawab sambil tetap dalam bungkusan selimut.

Akhirnya aku dapat tidur tenang. Berjam-jam aku tidur, lagi-lagi dibubuhi mimpi itu. Sudah tiga hari terakhir selalu saja dia datang ke mimpiku. Dengan pakaian dan latar yang sama. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tetapi mimpi itu putus begitu saja saat dia membuka mulutnya. Dua hari lagi tanggal 5. Apa karena itu?

Iya cowok paling cool di sekolahku itu akan berulang tahun dua hari lagi. Ini kesempatan emas buatku, paling tidak ini ucapan terima kasih atas semua yang telah ia lakukan padaku. Kurang baik apa, Ken selalu ada di saat aku kesusahan. Dan ini membuat gadis-gadis di sekolahku meradang. Maka dari itu, aku harus punya hadiah spesial untuk Ken. Mudah-mudahan dengan bonus bolos ini, aku bisa mendapatkan ide bagus. Aku bergegas ke kamar mandi. Mungkin dengan guyuran air dari shower, kepalaku bisa lebih dingin tapi tak beku karena cuaca di luar. Tetiba aku teringat handuk merah yang pernah Ken pinjamkan padaku. Belum aku kembalikan. Aku buru-buru menyudahi mandi dan mencari handuk itu. Aku pun membongkar isi lemari.

Aku berniat mengembalikan handuk olahraga bekas menutupi darah yang mengucur kala aku jatuh beberapa bulan lalu. Aku memang ceroboh waktu itu. Bagaimana tak ceroboh jika saat berjalan anteng mendadak jatuh terpelset kulit pisang. Tak heran bila kemudian aku jatuh terguling dan pergelangan kakiku terbaret sesuatu hingga sobek dan mengeluarkan banyak darah. Bak seorang malaikat, Ken datang menolongku. Dengan begitu tenang, dia menggendongku sampai rumah.

Aku tak tahu bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di belakangku. Yang pasti dia malaikat penjaga tak resmi yang selalu menghuni hari-hari kecilku. Sayangnya ketika mencari handuk merah itu, aku menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang menyobek lukaku. Luka yang lebih sakit dari sekadar terbaret karena jatuh.

Selembar foto dengan sedikit catatan di baliknya. Foto yang membuatku memutar memoriku kembali tentang masa kejayaanku dulu. Jaya karena hari-hariku dipenuhi cinta dan kasih sayang dari dia yang tersenyum manis di foto itu. Kemudian, belakangan aku tahu, itu hanya senyum palsu. Dengan aku di sebelah kirinya yang tersenyum bahagia. Senyum lugu. Senyum tulus yang ternyata hanya dipermainkan. Aku membuang ingatanku mentah-mentah. Aku buru-buru melanjutkan pencarianku akan handuk Ken. Foto itu kubiarkan jatuh dan tertiup angin. Aku sudah tak menginginkannya, itu hanya akan merusak pikiranku kembali. Aku harus fokus. Aku harus menemukan handuk Ken dan mengembalikannya. Waktuku tinggal sehari. Sehari berikutnya pasti aku sibuk mengatur degup jantungku Aku harus memiliki sesuatu yang lebih di mata Ken dan membuat gadis-gadis itu iri menyaksikan aku nanti. Mmm.. Maksudku aku ingin Ken tahu betapa ia berarti bagiku. Meski aku harus melihat kenyataan bahwa ia adalah pangeran pujaan seantero sekolah.

Aku berhenti sebentar dari pencarian handuk Ken. Smartphone-ku berbunyi. Ah, Sarah menelepon. “Ngapain aja di rumah?” suara Sarah sedikit kurang jelas, karena backsound suara murid-murid yang sedang menghabiskan jam istirahat sekolah.
“Tidur..” jawabku enteng.
“Ah modus! Siapin kejutannya, jangan kalah sama yang lain!” ceplosan Sarah terasa seperti lemparan bantal ke mukaku. Sarah lalu mengikik. Ia tak tahu aku terbelalak dan ingin membekap mulutnya. Sarah menyudahi pembicaraan.

Aku pun kembali mencari handuk itu. Tanpa sengaja aku melihatnya ada di tumpukan baju paling atas. Yay! Ah, kenapa tidak dari tadi aku menemukannya. Aku menghela nafas panjang. Lalu berpikir harus aku pakan handuk ini? Aku mengendus bau handuk itu. Karena sudah terlalu lama di dalam lemari baunya jadi sedikit apak. Aku lalu mencuci, mengeringkannya memberi pengharum, menyetrikanya sampai aku tak tahu bagaimana lagi definisi lembut dan menatanya dalam kotak berwarna merah muda. Aku tak bisa berpikir apakah ini sudah berlebihan. Tapi semua belum selesai, karena aku sudah menyiapkan sesuatu khusus untuk Ken. Saat berniat kembali tidur, smartphone-ku berbunyi. Ada SMS dari Ken.

Itu kenapa surat kamu yang nulis Mbok Nah?

Iya, aku lagi males sekolah. Udah, kamu jam pelajaran kok SMS-an sih

Aku membalas pesan singkat itu sekenanya. Setelah membalas, aku langsung tidur. Aku rasakan jantungku semakin berdebar menyambut esok.

Dalam tidur, aku memimpikan Ken lagi. Tidak seperti sebelumnya, yang aku lihat kini dia malah berjalan pergi. Aku ingin mengejarnya Tapi untuk bangkit berdiri saja aku tak mampu. Entah mengapa di setiap mimpiku tentang Ken, aku tak bisa bergerak. Hanya diam. Lalu apa arti dari semua ini? Aku harus bercerita kepada Sarah. Aku segera mengamanatkan Sarah untuk mampir ke rumahku sepulang sekolah.

"Ada apaan sih, Ris? Gimana? Udah siap semuanya?" Sarah yang datang ke rumah langsung menuju kamarku dan menyapaku dengan senang. Tak ada rasa khawatir. Mungkin ia berpikir aku terlalu berlebihan memikirkan tentang mimpiku.
"Bentar dulu deh. Dengerin cerita mimpi gue," aku melipat tangan Sarah dengan sengaja dengan maksud memaksanya mendengarkan apa yang akan aku ceritakan. Aku menceritakan tentang mimpi yang berlanjut selama beberapa hari ini kepada Sarah. Ia hanya geleng-geleng terheran-heran tanpa berkata apapun. Sarah selalu begitu.

Aku memang selalu memikirkan mimpi yang kuanggap pertanda. Maka itu aku khawatir. Jujur saja,saat ini aku jadi sangat takut kehilangan Ken. Aku mulai mengatur yang ada pada diriku. Mulai dari mengendalikan degup jantung, perasaan hingga tingkah lakuku. Rasanya ada yang berkuasa atas diriku. Ah, aku selalu tak suka dengan perasaan yang tak karuan ini. Aku bahkan nyaris tak bisa tidur.

Dan aku baru sadar, bahwa tanggal 5 besok, aku harus ujian susulan Matematika. Aarrgh.. Aku mengacak-acak rambutku. Tapi apapun yang terjadi, semuanya harus aku lalui. Kotak berisi kejutan untuk Ken sudah rapi di atas meja belajar. Aku harap aku berani memberikannya pada Ken. Aku akan berusaha.

Hari H, aku berangkat ke sekolah sambil membawa kotak untuk Ken. Sesampainya di sekolah aku menitipkan benda itu ke kantin, supaya aman dan tidak ada yang curiga. Ibu kantin selalu baik kepada murid-murid di sekolah, yang jelas ia bisa menjaga rahasia.

Saat menuju kelas, aku berpapasan dengan Ken dan disambut senyumnya yang selalu meneduhkan.
"Eh, kamu ntar nggak buru-buru pulang kan, Ken?" aku berusaha memberikan senyum terbaikku saat menyapanya.
“Kenapa emang Ris?” Ken menimpali dengan sedikit mengangkat alisnya yang tebal.
“Nebeng dong, tapi tungguin bentar soalnya ada ujian susulan, ya ya…” aku mulai merajuk dan berusaha agar tak terlihat bodoh.
“Apa sih yang nggak buat kamu?" ujarnya sambil menyentuh ujung hidungku.
Aku pun meringis. Meski hatiku berteriak, “Iiiiihhh…gombal banget!!!!”

Tapi pipiku mendadak memerah tanpa tujuan sampai tak sadar Ken sudah ada di kelasnya dan Sarah berkacak pinggang menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tak terasa ujian susulan sudah aku lalui. Semoga tak ada yang aku lewatkan saat mengerjakan tadi. Jujur saja, aku bingung.

Kemudian, dengan semangat aku berlari menuju di mana Ken janji menungguku. Taman sekolah yang asri. Namun aku terhenyak ketika mendapati ada Sarah di sana. Dia sibuk bercanda dengan Ken. Sampai suatu detik mereka saling tatap.

"Sar,"
"Iya Ken, ada apa?"
"Kamu mau nggak.."

DEG! Jantungku berdetak kencang. Aku hanya bisa mendengar pembicaraaan mereka dari jauh, tak begitu jelas. Aku berusaha keras menangkap kata-kata keduanya. Apa selama ini Ken menyukai Sarah. Tapi bagaimana mungkin?

“Mau apa, Ken?" tanya Sarah antusias.

Aku tak kalah antusias. Aku tak tahu bagaimana bentuk persahabatanku dengan Sarah nantinya kalau..

"Mmm, mau bantu comblangin aku sama adiknya Rissa? Si Rinna. Hehe.." satu kalimat meluncur dari mulut Ken dan ia mengungkapnya seolah ini adalah lelucon.
"Hah, Rinna?" Sarah kaget.

Aku pun terkejut. Kenapa Rinna?

Jantungku terasa tak lagi pada tempatnya. Otakku bekerja keras menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa Rinna, mengapa tidak aku saja? Apa aku harus mengalami kecelakaan dan kehilangan kakiku agar Ken mencintaiku? Aku tak kuasa menahan air mataku. Aku melangkah mundur hingga menemukan bangku untuk duduk dan bersandar. Aku diam sejenak. Tatapanku kosong. Hingga smartphone-ku berbunyi dan menyadarkanku. Aku membaca pesan masuk dari Sarah dan segera membuka kotak kejutan yang telah kupersiapkan untuk Ken. Aku hanya mengambil handuk merah dan membuang kotak beserta benda lainnya yang ada di dalam kotak. Aku membuangnya ke dalam tempat sampah yang tak jauh dari hadapanku. Aku mengusap airmataku dan merapikan penampilanku. Dengan ketegaran yang kubuat-buat, aku berjalan riang ke tempat Ken dan Sarah menungguku.

"Udah lama nunggu ya? Maaf ya, tadi ke toilet bentar. Happy birthday ya, Ken. O iya, ini handuk yang pernah kamu pinjemin dulu. Makasih ya.." semua yang aku ucap terasa datar, hambar, tak seperti yang telah aku rencanakan.
"Waaah.. Makasih ya, Ris. Padahal gak papa juga sih gak dibalikin..hehehe.. Eh, kalian pasti belum makan kan? Yuk makan. Aku traktir deh. Yuk!" Ken tak menangkap apa pun yang aku rasakan. Ia memilih tak acuh dan menganggap semua ini, sekali lagi seperti lelucon. Dan aku adalah bonekanya.
"Ennnggg... Sori banget Ken, kita udah ada janji sama anak-anak cheers. Lain kali aja ya…. " Sarah membuat alasan yang seharusnya masuk akal dan bisa Ken terima. Ia pun hanya bisa mengangguk dan mungkin kecewa. Tapi entah karena apa. Aku hanya mengangguk mengiyakan kalimat Sarah lalu melambaikan tangan tanpa mampu berucap apa pun. Sarah yang menggandeng tanganku mempercepat langkahnya.

Ia tahu pasti bagaimana keadaanku saat itu. Akhirnya kami pergi meninggalkan sekolah dan menuju ke rumah Sarah. Di sana aku menumpahkan tangis dan amarahku hingga Sarah berhasil menenangkanku. Ken tidak boleh tahu apa yang terjadi padaku. Aku dan Sarah akhirnya sepakat untuk menyembunyikan semua ini dari Ken. Demi persahabatan kami. Demi perasaan Ken. Demi kebahagiaan Ken. Juga Rinna.

-tamat-



Tulisan Kolaborasi Adi Abbas Nugroho, Patricia Firscha Levyta Putri, dan Wulan Martina

Wednesday, November 14, 2012

Yuk, Menulis Hore... :)



gambar diambil dari sini

Sudah lebih dari sepekan. Iya, sudah lebih dari sepekan. Tapi, saya jadinya ketagihan. Kenapa? Karena tantangan menulis yang tiba-tiba... hehehe...

Begini ceritanya, sekitar dua minggu yang lalu, saya mengikuti sebuah acara menulis online. Ciyeee... menulis online... xixixixixi... Hmmm gimana ya jelasinnya... Jadi, ada acara yang diberi nama "Menulis Bersama Penikmat Senja". Disitu, kita belajar menulis bareng Kak Teguh Puja via online, lewat conference dari Yahoo Messanger. Caranya gampang, tinggal online, add pembimbingnya dan kita akan diundang dalam conference-nya.

Selama kurang lebih tiga jam, kita distimulasi dengan beberapa hal yang bisa membuat kita semakin peka dengan aksara, kata, kalimat dan sebangsanya. Termasuk rima. Ya, kemarin "menu" khususnya adalah rima. Tulisan dengan rima... Aaaarrrrrgghh... kalau disuruh cepet-cepetan ternyata susah... padahal awalnya kita nggak disuruh buat tulisan berima sih, tapi karena tanpa sadar ada yang suka "nyeplos" tulisan berima maka kita jadinya ditantangin juga deh.. hehehe...

Kita tuh cuma dilempar kata, terus disuruh ngelanjutin. Harus langsung ngelanjutin dengan kata-kata yang terlintas dalam benak kita pada saat itu juga. Tsaaahh... awalnya agak lama, makin lama makin pendek aja waktunya... errrrr.... kalau kosa kata kita mepet, duuuhh.. ribet deh pastinya.. :))

Tapi gak papa, dengan begini kita bisa termotivasi untuk nambah kosa kata, apalagi, di conference itu kita ketemu temen-temen baru yang tentunya punya diksi yang berbeda-beda. Bisa nambah lah ilmu kita. Setelah itu, kita ditantang juga untuk menulis duet dengan teman-teman baru dalam conference itu. Eaaaa... nulis duet? Iya, menyelesaikan satu tulisan dengan menulisnya berdua. Kebayang kan harus menggabungkan dua pemikiran dalam satu naskah dan dalam waktu yang singkat pula. Tapi suerrr seruu... Saya waktu itu dapat pasangan siswi SMA, tapi beeeeuuhhh jagoaaaann... :D dan berdua menghasilkan satu tulisan yang sudah mejeng hore di blog...xexexexeexe.. lumayan kan, bisa memotivasi kita untuk menulis lagi... dan lagii... :)

Kalian mau ikutan juga?
Boleeeeehhh bangeeeettttt....
Besok, Hari Kamis, 15 November 2012, jam 19.00 WIB, bakal ada kelas lagi.
Untuk lebih gampangnya:
1. Siapkan apapun yang membuat kalian terhubung dengan internet. Semacam PC, laptop, atau apa pun, asal bisa memfasilitasi kita untuk conference via YM.
2. Aktifkan akun YM masing-masing.
3. Bergabunglah dalam conference dan selamat menemukan banyak ilmu baru.. ;)

Yuk.. kita belajar bersama... dan ditantang bersama... xixixixixixi...


Monday, November 12, 2012

Putri Intan Cari Pacar





“Papiiiii!! Aku mau punya pacaaaar!” Putri Intan melangkah memasuki ruang kerja ayahandanya dengan wajah kusut. Rambut bergundinya berkibar ke sana kemari setiap kali kepalanya bergoyang dasyat; kebiasaannya saat sifat manjanya kembali kambuh.

”Pacar? Bukankah banyak lelaki di kerajaan kita yang hendak menjadi pacarmu?” sahut Raja Permata tenang tanpa sekalipun mengalihkan pandangan matanya dari koran pagi ini. Ckckckck, nilai Ruby menurun drastis, sepertinya ia masih harus menunggu sampai nilai jual batu itu kembali naik.

”Aaahhh Papiiii… mereka tidak keren…. Senyumnya terlalu dibuat-buat. Aku tak suka. Makanya, ijinkan aku untuk jalan-jalan sebentar keluar istana. Siapa tahu aku bisa dapat pacar disana….” kalimat panjang diberondong Putri Intan kepada ayahanda. Ia mengguncang-guncang lengan Raja Permata yang hanya mengangguk-angguk pelan. “Papiii… jangan hanya mengurus batu… ” rengeknya lebih serius.

”Kamu mau cari pacar di mana?” Raja Permata masih menanggapi putri tunggalnya itu dengan tenang, “Belajar aja yang benar, baru cari pacar.”
”IKKKH! Tapi aku malu sama Putri Lily dari Kerajaan Bungaaa! Dia udah punya pacar yang kereeeen!” 

Putri Intan menghentak-hentakkan kakinya lebih kencang. Ia paling benci jika ayahandanya itu mulai bersikap seperti itu.

”Memang kamu tahu dari mana, emm?”
”Tadi dia BBM aku, Piiii!” seru Putri Intan gemas. “Dia pamerin pacarnya ke akuuu!”

Mendengar cerita Putri Intan, Raja Permata justru tertawa terbahak-bahak. Sambil sesekali mengelus kepala putri tunggalnya. “memangnya menurut kamu, pacar itu apa sih?” tanya Raja Permata.
Putri Intan menatap lugu kepada Sang Ayahanda. Ia menunduk, memainkan jemarinya sendiri, sambil berpikir, apa artinya pacar. Sesekali dia mengerut-ngerutkan dahinya. “Mmmm…mmmm…” suara Putri Intan kemudian terdengar setelah cukup lama terdiam.

Raja Permata melekatkan tatapannya pada sang putri. Mencoba meraba-raba apa yang akan diucapkan putri tunggalnya itu. “Pacar ituuuuu…. yang bisa diajak ketawa-ketawa dan makan es krim bersama, Pi….” ujar Putri Intan sambil memetik ibu jari dan jari tengahnya. “Iya kan, Piiii…? ” senyumnya lepas tanpa ada yang ia sembunyikan.

Mendengar jawaban Puri Intan, Raja Permata justru merasa sedih. Ia berpikir bahwa Putri Intan sedang merasa sangat kesepian. Sejak Permaisuri, sang ibunda meninggal, Putri Intan tak banyak waktu lagi bermain, atau sekadar bercerita. Raja Permata menyadari, ia tak punya waktu banyak untuk mendengarkan cerita-cerita putri tunggalnya. lalu ia berpikir, mencari-cari cara untuk membuat sang putri tak lagi kesepian.

“Putriku…” Raja Permata meletakan koran paginya, kemudian berdiri dan menggenggam kedua tangan putrinya. “Apa kamu membutuhkan seorang pacar karena Papi jarang menemanimu, emmh?”

Putri Intan terkesiap, sesungguhnya ia tak pernah berpikiran seperti itu, tapi ia tetap tak bisa memungkiri jika kadang kala ia merasa kesepian karena ayahandanya terlalu sibuk dengan urusan kerajaan dan perdagangan batu-batuan.

”Errrh, sebenarnya Intan nggak pernah mikir gitu sih, Pi…” kata Putri Intan jujur.
“Lantas, kenapa kamu begitu ingin punya pacar?”
“Kan Intan sudah bilang, Papiiii! Intan NGIRI sama Putri Lily! HUH!” tiba-tiba saja Putri Intan meledak, ia pun berkacak pinggang dan menatap ayahnya jengkel. “Dia pasang foto pacarnya di DP BBM-nya, terus mention-mention-an sama pacarnya di Twitter! Terus Intan ngiri! Terus Intan pengen punya pacaaaar, Papiii!

”Hmmmm bagaimana kalau kamu pasang saja foto Papi waktu masih muda. Papi juga ganteng lohh… Nihhh…” seru Raja Permata tiba-tiba seraya menunjukkan sebuah foto pemuda cungkring dengan rambut mohawk dan sedang tersenyum dengan memamerkan sebaris giginya yang putih.

Putri Intan menganga ,melihat foto sang ayahanda.”Nah, nanti Papi juga akan membuat akun twitter, kamu bisa mention Papi di sana, nanti Papi balas,” lanjut Raja Permata bersemangat.

Putri Intan semakin bersungut-sungut. “Iiihh Papi deh… masa aku mention-mention-an sama Papi?! Itu kan pacar palsu namanya…” Putri Intan menukas sambil menahan geram.

“Hmmm pacar palsu? Tapi kasih sayang Papi tak pernah palsu, Nak… Bagaimana dengan pacar? Bisa saja mereka membohongimu kan?” berondong Raja Permata sekali lagi.

Bibir Putri Intan spontan mengatup. Bayangan masa lalu bersama ayahandanya berkelebat di kepalanya. Ia masih ingat bagaimana ayahandanya itu selalu berusaha menyempatkan diri mencium dahinya setiap malam di tengah-tengah kesibukan harinya. Bagaimana ayahandanya bekerja mati-matinya untuk memimpin Kerajaan Batu-Batuan hingga semakmur sekarang ini. Bagaimana ayahandanya tetap berusaha menjadi ibunda baginya meski ia sendiri tahu, tak ada seorang pun yang dapat menggantikan Ratu Ruby; ibunda Putri Intan dan istri tercintanya.

Bagaimana ayahandanya, Raja Permata, menjadi satu-satunya orang terdekat baginya dan selalu berusaha menjadi orang yang paling pertama tahu segala permasalahannya. Oh, semua hal itu mulai membuat Putri Intan semakin enggan untuk memikirkan masalah pacarnya lagi!
“Bagaimana? Kamu mau terima tawaran papi?”

Suara Raja Permata membuyarkan lamunan Putri Intan. Namun setelah terdiam cukup lama, akhirnya Putri Intan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan; sebuncah perasaan sentimentil tiba-tiba saja merasuki hatinya. Kapan terakhir kali ia menghabiskan waktu bersama ayahandanya itu secara khusus?
Rasanya sudah lama sekali.
”Papi… maafin Intan,” kata Putri Intan lirih.

Putri Intan memeluk Raja Permata. Ia justru menangis sejadi-jadinya. “Intan janji nggak lagi-lagi minta pacar, Pi… Papi sudah cukup sayang sama Intan..” kalimat sang putri tetap bisa dipahami Raja Permata meski diantara sesenggukan tangisnya. Raja Permata mengelus kepala putrinya, kemudian mencium keningnya. “Tapi, Pi… ” sela Putri Intan tiba-tiba.
“Apa lagi, sayang?” tanya Raja Permata lembut.
“Aku mau jalan-jalan keluar istana…sama Papi…” ucap Putri Intan dengan semburat senyum yang menggantikan sembab wajahnya.

Raja Permata pun tergelak dan menganngguk dengan pasti. Ia terlihat sangat bersemangat dengan tawaran putri tunggalnya itu.  ”Ayo! Ayo kita pergi! Kebetulan Papi ada keperluan di Pasar Berlian, ada barang baru yang harus Papi beli untuk keperluan proyek di tambang batu bara. Hehehe.”

“Ehhhh!? PAPI JANGAN PIKIRIN KERJA MULU?!”

Fin

“Colaboration With Wulan Martina (Again :P We Love Comedy!)”


*naskah dan gambar di-copy dari blog milik Dicta :)

Saturday, November 10, 2012

Jangan Salahkan Tuhan






gambar diambil dari sini


Bersama senja, aku menantimu.
Membiru, membingkai ingatan tentang kamu.
Hanya lara yang terpendam didasar sanubariku.
Menanti dekapan hangatmu.
Aku menatap senyum jingga dibalik kelabu yang kian membelenggu.
Lalu bertanya, apa kabar kamu?

Ketika kabar itu datang menyerupai hembusan angin yg tak dapat diraih.
Membelunggu kisah yg tak bertepi.
Membawa duka dan kasih

Aku biarkan langit beranjak perak lalu memejam.
Menyebut namamu, membayangkan senyummu.
Membingkainya dengan doa.

Apakah kamu tahu?
Tiap malam yang gelap itu, aku selalu memikirkanmu,
Menatap binar matamu dikala kau berbaring disampingku.
Anganku berlebihan.
Namun tak mampu pula aku tahan.
Semua menjalarkan rindu yang tak berkesudahan.

Biarlah berlalu.
Hampa tanpa arah.
Menatapmu aku pun tak mau.
Membingaki kenangan yang tersimpan

Aku titipkan saja kepada angin tak peduli ia membawanya kemana.
Aku bergeming tersambut gerimis yang tengah bermanja.
Tak usah kata atau kalimat yang panjang terdengar dibibirku.
Aku hanya ingin mengucapkan 'Selamat tinggal kasihku'
Lain waktu akan ada cerita tentang cinta yang aku punya.
Tidak denganmu pun tak apa.
Aku percaya akan bahagia.

Tapi apakah takdir selalu mempermainkan kita?
Walaupun aku mengucapnya.
Aku tak ingin mendengarnya untaian kalimat itu.
Sssstt… Jangan lagi menyalahkan Tuhan!
Dia Yang Mahatahu muara kita.



Puisi Berbalas Delisa Sahim dan Wulan Martina

Tuesday, November 06, 2012

Sampai Jumpa Bayu (4)



gambar diambil dari sini



Sarapan yang Terlalu Awal 

Masih terlalu pagi
Tapi aku terlalu sibuk mencari tombol skip untuk hari ini
Aku rasa lebih baik mataku terpejam sehari ini
Hingga kudapati matahari sudah menandakan hari yang bukan hari ini


Ini hari ke-lima di bulan sebelas
Ya, bulan sebelas di tahun ke-dua belas
Kalender mejaku masih merekam impian itu
Satu tanggalnya ditanda gambar hati yang belum sempat kuwarna merah jambu


Aku berkali menelan air liurku dengan berat
Aku menata nafasku yang semacam tersengal hebat
Pun degup jantungku layaknya lari bocah sekolah yang takut datang terlambat


Aku merasa sarapan pagi ini terlalu awal
Membuat perutku makin mual
Sekotak ingatan semena-mena menjalar
Memaksaku melumatnya dengan lahap, meredam lapar


Aku harus memanggilmu apa sekarang?
Ah, tak penting!
Kenyataan kau peluk impian besar itu sekarang
yang tentunya kau bubuh dengan sekian kata paling


Kau memilikinya
Kau berhasil mewujudkannya
Kau menghadiahkan kepada ia
yang Tuhan pilihkan jalannya


Sudah, jangan menoleh ke belakang, aku
Super egoku berjuang agar aku tak terlunta lalu bisu
Mengecap-ngecap rasa yang tak layak aku beri untukmu
Menyimpan air mata perih yang tak perlu untukmu


Kemarin, kau minta hadiah apa?
Ah aku seperti melupa
Hanya tentang sebaris aksara saja aku tak sanggup lagi mengingatnya
Oh iya semoga nanti kau punya jagoan yang bakal tumbuh sebagai pemuda
Nanti semoga berjodoh dengan bidadariku yang bakal tumbuh sebagai nona


Ehhm.. maaf jangan kau ambil hati
Itu canda belaka
Agar hatiku tak mati
Sebab gagap pada rasa


Kamu,
berbahagialah selalu



Tulis Galuh di buku hariannya. Ia rayakan sendiri kebahagiaan yang hanya separuh dimilikinya. Seharusnya tak ada lagi sesal yang ia rasakan. Tapi, seketika memori itu menyergapnya. Membuatnya terapung dalam mimpi-mimpi yang sudah tak mungkin menjadi nyata. Ia buka kembali selembar kertas yang sempat mengabadikan impiannya. Selembar kertas yang isinya ditulis tangan oleh sang pemberi harapan dan kemudian, melumpuhkan.

Entahlah, ia merasa selama ini ia menempuh sebuah perjalanan jauh, pendakian yang melelahkan bahkan mengajarkan kesabaran dalam berlayar. Kini ia telah sampai pada tempat yang menghadiahinya serupa rasa yang harus ia terjemahkan tanpa luka. Ya, tanpa luka. Setidaknya ia pernah belajar bermimpi, belajar berjuang menggapainya.

Kepadamu, aku ingin tahu satu rahasiamu yang tak pernah kau ungkap padaku, tentang aku, yang selalu ceritakan kepada mereka yang jatuh hati kepadamu.

Aku merelakanmu. Ucap Galuh dalam hati.

Seharusnya tak ada lagi pepatah-pepatah bijak yang menjadi candu. Tentang beda yang dapat merdeka dalam cinta. Tentang luka yang mudah menjelma suka. Maaf, aku hanya ingin menenangkan diriku. Saat ini. Sendiri.









Aku Mengurainya dalam Hujan



gambar diambil dari sini


Aku rebah, kekasih. Lelah meretas masa setelah sekian lama terpilin janji. Ditingkahi hujan sore ini, kubisikkan namamu lagi.
Sekian kecup yang pernah kau beri, kini memenuhi ingatan kembali. Dingin, aku rindu hangat dalam senyum yang selalu lekat.

Tak perlu mengingat bagaimana dulu kusentuh sudut wajahmu dengan ujung jemari. Pejamkan mataku, untuk sesaat kau hadir kembali.
Kau bisa rasakan? Dalam gelap, senyummu masih berpendar. Ia jauhi kesepian. Menyesap hangat ingatan yang menjalar.

Namun sesaat, hangat yang semu perlahan tergantikan luka yang mendekap erat. Dan mengapa dulu kau lepaskan genggaman tanganku?
Aku ramu rindu dalam rintik hujan. Menggantikan pelukanmu. Menggantikan genggaman yang seharusnya memupus ragu.

Jalinan senyummu menghangatkan senja. Mengisi larik-larik ingatan, bait-bait dalam kenangan. Dalam hujan, kita mengurai lara.
Aku harap basahnya tak membubuh perih berlebihan. Aku hanya inginkan satu senyummu kubalut dalam ingatan. Semalaman.

Dan kaulah hujan di penghujung masa. Menguar harum tanah basah diantara luka. Dan aku melepaskan semua yang pernah kita punya.
Merelakannya hanyut menuju satu muara yang kita pun tak pernah mengetahuinya. Aku diam, menikmat dingin yang memeluk malam. Kamu?

Aku terpejam. Meresapi kenangan. Sekejap ingatan akan dekapan yang bahkan tak mampu menebarkan kehangatan dan memecah kesunyian
Lalu kapan lagi aku dapatkan kehangatan itu? Darimu? Aku pun tak tahu.Bahkan hujan pun memilih bermanja dengan ingatan, tentangmu.



Puisi berbalas Farah Lestari dan Wulan Martina


*saat dingin menyelusup mencari kehangatannya sendiri