Monday, February 27, 2012

Kamu


Kamu itu candu.
Harusnya aku menyadari hal itu sejak lama.

Sehingga aku tak perlu bersusah payah merapal doa hanya untuk bisa berada di dekatmu. Lihat saja sekarang, tak bertemu beberapa jam saja rindu ini sudah membuncah, berkonspirasi meluluhlantakkan sekat penahan bernama kesabaran. Aku tahu mungkin ini terlihat berlebihan. Tapi terkadang cinta memang memiliki kelebihan untuk membuat manusia berjalan di luar emosi, diluar akal.

Hari ini tepat dua hari sejak kamu memilihku. Dua hari pula aku merasa hidup di dalam mimpi. Ini terlalu indah. Bahkan membayangkan saja aku tak pernah. Kamu, seorang tampan yang banyak dipuja-puji, memilihku menjadi kekasihmu tanpa banyak kata. Hanya dengan secarik puisi diakhiri kata ‘I Love You’ dan setangkai bunga mawar. Lalu akupun mengangguk tanpa banyak spekulasi tentang sebab-akibat.

Mungkin kau tak tahu, senyummu yang begitu tulus, mampu membuat aku merasa sempurna. Tanpa beban aku melewati semua hari yang semesta tawarkan. Seakan aku memiliki peraduan yang menenangkan setelah semua peluh mengguyur tubuh seharian penuh.

"Makanlah dulu, biar kamu selalu sehat," isi pesan singkatmu siang itu.

Ah, sederhana memang. Tapi, jantungku berderap lebih kencang. Aku tersenyum, dan sangat senang. Aku ingin membalas pesan darimu dengan menelepon. Aku ingin mendengar suara baritonmu yang begitu menggoda. Tapi aku tahu kamu tak akan mengangkatnya. Aku tahu kamu sekarang sedang bersama dia, orang yang lebih dulu kamu pilih. Orang yang telah mengikat hatimu lebih dulu sebelum berhasil menjeratku. 

Malam ini, kau meneleponku lagi. Seperti biasa, tepat di jam sepuluh malam. Aku sengaja menunggu. Membagi ceritaku denganmu. Saling membagi tawa. Hingga aku pun berani menabur harap diantara mimpi-mimpi semu itu.

Kau tau, setiap desah nafasmu mampu menyesap resah yang kadang semena-mena tumpah. Aku tak mampu mengelak, kamu yang membuatku kembali melangkah dengan tegak. Merapikan kembali hati yang pernah retak.

Ah, sepasang lengan gagahmu yang sesekali merengkuhku saat ku rapuh. Aku selalu rindu itu.

* * *

Jam menunjukkan pukul delapan pagi ketika aku duduk di taman kampus sambil membaca catatan untuk bahan UAS siang nanti. Seperti yang kamu katakana semalam, kamu ingin bertemu denganku di tempat biasa. Maka dengan sejuta gelora yang tak kenal lelah, aku memilih datang satu jam lebih awal. Untuk memastikan bahwa aku adalah orang yang menghargai waktu. Untuk memastikan bahwa aku tak akan pernah berniat mengecewakanmu.


Satu jam menanti cinta berhasil aku lewati. Satu jam yang membuatku terus-terusan memikirkanmu. Satu jam yang membuatku tak memikirkan nilai ujianku. Satu jam yang membuatku melagu kata-kata puitis.

“Hai..” sapamu sambil lalu duduk disampingku.
Aku tersenyum melihat wajah yang terukir indah disana. Wajah yang membuat gadis manapun akan bertekuk lutut bahkan pada lirikan pertama.
"Hai Arga," aku membalas sapamu dengan senyum yang telah merangkum semua rindu, yang hanya buatmu. Aku merasa aku sudah tak mampu melogika apa-apa. Apalagi ketika tatapku bertumbuk dengan teduhnya matamu. Ah, Arga, kau terlalu berharga untuk aku lupa. Jangan...jangan berkata untuk meninggalkan aku, apalagi untuk dia. Aku cemburu.

“Lagi sibuk ya?” tanyamu sambil merebut diktat yang ada di tanganku. Kau membuka-buka buku itu, hanya random membaca-baca tulisan disana. Aku mengikuti manik mata berwarna coklat muda yang mampu menghipnotis aku.

“Nggak, baca-baca aja. Kebetulan nanti ada ujian mata kuliah terakhir. Oh iya, ada apa?”

"Hmmm aku pingin ketemu kamu aja... aku kangen..." rayumu.
Aku balas dengan senyum. Mungkin kamu bisa melihat semburat rona merah di pipiku.
"Oh iya, kamu ujian apa hari ini?" tanyamu.
"Hari ini aku ada ujian statistik, doain aku bisa ya..." rajukku. 
Kaupun mengelus kepalaku dan memberiku bonus senyum simpulmu yang membuang semua angkuh.
Tapi aku melihatmu sungguh berbeda hari ini... Kamu kenapa Arga, batinku. Sebenarnya aku pun ingin bercerita tentang mimpiku semalam. Arga, aku takut...aku takut kamu pergi Arga...

"Ve, nanti siang setelah kamu ujian aku tunggu kamu disini ya. Konsen sama ujian kamu, gak usah mikirin aku terus," katamu. 
Ah, bodoh ya, aku selalu menyukai semua yang sederhana darimu. Mungkin, karena caramu, atau, memang benar aku mencintaimu. Ah, kamu.

"Kenapa nggak sekarang aja sih?" kataku, sedikit memaksa. Aku takut, aku malah tak bisa berpikir apa-apa selain kamu. Berharap soal yang keluar nanti membahas tentang kamu, yang bisa aku pastikan akan terjabar dengan begitu detail dan benar. Karena hampir setiap kamu telah melekat dimanapun. terlebih di otak.

Kamu diam.Berpikir. Raut yang terukir disana kemudian berbeda. Kamu seperti bukan orang yang selama ini aku kenal. Tak ada riang disudut matamu yang indah itu. Aku berdoa dalam hati. Bahwa mimpiku takkan menjadi nyata. Ah, kamu!

Kamu masih diam. Aku melihat ada resah yang kamu sembunyikan dari aku. 
"Arga, aku tahu kamu mau bilang sekarang. Ayolah... Aku janji, akan tetap konsentrasi," rajukku lagi.

Kamu menatapku, sangat dalam. Kamu membetulkan dudukmu. Menghadap ke arahku. Bibirmu mulai bergerak. Aku berusaha menebak apa yang kau katakan. Tapi aku tak mau. Aku memilih menunggu. Aku yakin kamu bisa merasakan detak jantungku yang memburu.

"Ve, terima kasih telah menjadi yang berharga bagiku," katamu sambil menggenggam tanganku. Tanganku yang dingin, hampir beku.
"Maksudnya?" tanyaku. Mencoba salah mengerti. Usahaku gagal untuk merunut bahwa mimpi itu takkan menjadi nyata.

Mimpi bahwa kamu memilih untuk mengakhiri hubungan yang baru bermula ini. mimpi bahwa kamu lebih memilih gadis itu daripada bersamaku.

"Maaf.." kata itu tersendat dari mulutmu. Ragu. Ada sesuatu yang menahan. Aku berharap kamu mampu mengubah keputusan. Aku yakin kamu bisa lebih bahagia bersamaku.

"Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku tahu dari awal keputusan ini salah. Tapi aku nggak mau berbohong kalau aku sudah cinta sama kamu sejak dulu. Tapi aku nggak mau melukai masing-masing dari kalian karena keegoisanku," jelasmu memburu. Kulihat mata coklatmu mulai berkaca-kaca.

Aku diam. Diam yang menyesakkan dada. Tak tahu bagaimana harus bersikap. Tak tahu bagaimana menjalani sisa hari yang selalu bercerita tentang kamu.

"Veri maafin aku," katamu sambil menyerahkan diktat ke tanganku. Tangan kita bersentuhan. Sentuhan yang mungkin menjadi sentuhan yang terakhir.

Aku menatap punggungmu yang semaikin menjauh dariku. Aku menarik nafas panjang, menahan agar air mata ini tak membanjir. Aku beranjak, melangkah gontai. Membiarkan semua harapan membuyar, berserakan. Ini bukan cinta yang telah lapuk. Mungkin, cinta yang pernah terbungkam dalam suatu perjalanan, yang kemudian kita sesalkan.

Arga, mungkin aku kau sakiti. Tapi, kamu tak akan menjadi yang terbenci. Arga, ketika kau butuh untuk pulang membawa keluh dan sesalmu, aku harap, pintu hatiku masih terbuka untukmu. Ya, aku yakin salah satu sekat di hatiku akan membiarkan kamu masuk suatu saat nanti. Suatu saat yang hanya akan dimiliki orang perorang seberuntung diriku. Dan seberuntung dirinya yang memilikimu.

"Drrt.. drrt..." telepon genggamku bergetar. 
Ada pesan singkat darimu. Dengan cepat aku membuka pesan itu.

Cinta akan terajut disaat yang tepat. Mungkin nanti.

Dan aku tak mampu untuk membalas. Cerita tentang kamu usai hari ini. Menyisakan luka. Menyisakan harapan yang entah kemana muaranya. Selamat jalan.



Tulisan kolaborasi @wulanparker dan @beeNFI

No comments: