Bagas
Aku mengerjap-ngerjapkan mata ketika pandanganku tertumbuk pada jarum jam yang telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Iya, dan ini sudah terlambat sekali, teman! Aku pun mandi kilat dan sarapan cepat. Hiyaaa.... sempat juga yah sarapan. Ya daripada pingsan di jalan, mendingan sarapan, kan?
Dengan sangat terpaksa pagi ini aku harus main kebut-kebutan di jalanan. Bulan ini aku sudah terlambat lima kali. Bayangkan! namaku akan terpampang di papan Ruang Tatib sebagai murid paling banyak terlambat. So? Apa yang harus kuperbuat. Sebenarnya akupun tak pernah sengaja menginginkannya. Tapi apa mau dikata, lebih seringnya tubuh ini tak mau move on dari tempat peraduan. Tsaahh.
Oke, jam pertama ini Pak Gugun, guru Matematika yang mengajar. Entah konsekuensi apa lagi yang aku dapat hari ini. Aku harus masuk kelas, tak ada alasan untuk membolos lagi.
"Kamu terlambat lagi, Gas?" tanya Pak Gugun padaku, sambil menurunkan kacamatanya sampai ke ujung hidung.
Aku cuma bisa mengangguk, sambil menunduk.
"Kerjakan dulu soal di papan tulis ini," tegasnya, sembari menyodorkan spidol padaku.
Ouchh... belum juga kuletakkan tas punggungku, ini materi aljabar seakan menjejal mulut yang sudah penuh, aku, semacam mabuk laut. Tapi, mau apalagi. Mau tak mau aku berjuang menyelesaikan satu soal, yang...yang...yang aku belum paham. Iya, ini kan pertama kalinya masuk bab ini. Aahhh.. perlahan, tapi pasti, keringat dingin mengucur dari dahiku.
"Jam pelajaran pertama telah selesai," bel sekolah meraung mengejutkan. Konsentrasikupun makin buyar.
"Ya sudah, duduk di bangku kamu, Gas. Nanti baru terima tugas tambahan dari saya," kata-kata Pak Gugun ini bermakna dua. Satu membuat saya tenang, Selanjutnya, saya merasa diajak perang. Tapi ya sudahlah, aku harus menurutinya.
***
Ini jam istirahat, aku sengaja memilih perpustakaan untuk
menenangkan pikiran. Ah, seorang pemalas seperti aku, terduduk di
jajaran murid-murid brilian. Aku hanya ingin bertanya pada diriku, dan,
mungkin pada buku-buku ini, adakah yang bisa membuat kebiasaan burukku
ini berakhir? Harus sampai titik mana, aku bisa berubah, dan menjadi
diriku yang lebih utuh?"Hai Bagaaaas..sendirian aja nih..ati ati kesambet," Fika gadis mungil yang ramah, cerewet dan amat cerdas. Tak ada yang mampu menahan rasa simpatik padanya. Ehm..dan sepertinya termasuk aku! Ah, imaji macam apa ini.
"Heii..disapa malah diem aja..kenapa suntuk gitu? Mikir utang ya?" Afika memburu tanya sambil mengibas-kibaskan buku yang sedang dibawanya.
"Iya nih..utang ngerjain tugas tambahan dari pak Gugun..sumpek banget..mana aljabar pula.." timpalku spontan.
"Salah sendiri datangnya telat..hmm..Butuh bantuan gas?" tanya Fika lagi disusul senyum manis yang membuatnya makin menggemaskan.
Ya Tuhan..mimpi apa aku semalam..Fika, seorang gadis brilian yang diidolakan banyak cowok di sekolah ini menawarkan bantuan padaku?! Ya, pada seorang Bagas, pemuda yang malasnya sudah stadium empat.
"Gak salah denger nih fik?" tanyaku heran.
"Gak lah..beneran ini..kalau mau ntar kita kerjain bareng pulang sekolah nanti..ok?", jawab Fika santai.
"Ok deh..tar aku tungguin di depan gerbang ya..", tak ada alasan untuk membuang waktu banyak hanya untuk menyetujui tawaran dari seorang Afika.
Afika pun tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia beranjak dari kursi di hadapanku. Aku hanya bisa terdiam menatapnya menjauh. Sepertinya aku baru saja bermimpi, seperti ada sesuatu yang menggelitik otakku saat menatap senyum itu. Seperti ada ingatan yang manis di lengkung bibir itu. Hari apa ini? Rasanya aku hanya ingin waktu berhenti saat Fika duduk di depanku..
Afika
Meninggalkan perpustakaan, Afika melangkahkan kakinya menuju kantin, Afika pun hanya bisa terdiam. Batinnya mulai bercerita, merunut sebuah ingatan, yang memang belum sanggup ia lupakan. Bagas, entah berapa lama waktu yang sudah aku tempuhi, hingga detik ini, aku ingin mempertanyakan sesuatu, ingatkah kamu padaku? Seperti aku yang selalu mengingatmu dalam satu windu ini.
Iya, tentang masa kecil kita di Linggau, yang penuh kenangan saat kita bermain di hamparan bukit yang hijau. Dan, tentu saja, tentang mahkota dedaunan yang kamu pasangkan di kepalaku saat itu, seraya kamu katakan, "Afika..selamanyaaa...kamu itu ratunya Bagas..jangan pernah lupakan itu."
Aku benci saat kamu tiba-tiba harus pindah ke Jakarta. Aku benci saat aku marah dan tidak mengantar kepergianmu. Aku benci saat aku begitu gengsi untuk menghubungimu. Tahun ini, ayahku pindah tugas di Jakarta, dan aku sengaja mendaftar di sekolah yang sama denganmu, berharap aku bisa bertemu denganmu, yang menjadikan aku, ratumu.
Sekali saja, pertama kali aku bertatap muka denganmu di awal semester baru, aku masih selalu ingat wajahmu. Apakah kau tahu itu Bagas?
Bagas
Seperti yang tadi sudah kita janjikan, aku menunggu Afika di depan gerbang sekolah. Afika berlari dengan terburu-buru menghampiriku. Sambil terengah-engah dia bertanya, "So..jadi minta bantuan?"
"Ya jadi dooong..lumayan ada guru privat..hehehehe.." jawabku sambil nyengir.
"Okeee deh, bayarannya terang bulan coklat keju ya..hahaha..", kata Afika sambil duduk di boncengan motorku. Gelak tawanya renyah juga, batinku.
Aku hanya bisa gelengkan kepala, "Ok deh bos..gak gratis brarti ya.."
Afika terkikik menahan tawanya.
Setengah jam kemudian, kita sampai di rumah Afika. Les privat pun dimulai. Aku serius mengerjakan tugas tambahan dari Pak Gugun. Satu demi satu soal berhasil aku kerjakan. Afika menjelaskan caranya dengan cara yang amat mudah dimengerti. Perfect! Satu setengah jam kemudian, semua tugas itu telah selesai.
"Eh..makan dulu yuk..pasti lapar kan habis ngerjain matematika..hahahhaha..", ajak Afika.
"Aah..gak usah repot repot Fik..nih aja sirup juga belum habis..", jawabku.
"Gak papa..ntar ya..aku ke belakang dulu nemuin simbok..biar bisa disiapin makanannya..", lanjut Afika seraya melangkah menuju dapur.
Sambil menunggu Afika, aku melihat ke sekeliling ruang tamu dan ruang keluarga Afika. Banyak foto yang tergantung di dindingnya. Sampai akhirnya, aku terpaku menatap satu pigura yang dipajang di meja kecil di ruang keluarga.
Foto itu sungguh menarikku dalam sebuah ingatan. Ada sesuatu yang membuatku berpikir keras saat menatap gambar gadis kecil bermahkota rantai dedaunan sambil memeluk boneka. Ingatan lama itu tetiba menghentak dalam otak. AFIKA..apakah ini afika yang sama? Gadis kecil di foto itu, apakah dia ratu kecilku dulu?
Afika
Afika yang berjalan menuju ruang tamu, menghentikan langkahnya saat melihat Bagas berdiri terpaku di pojok ruang keluarga.
"Bagas...kamu kenapa?" tanyaku.
Tetiba dia berbalik, dan berjalan terburu ke arahku.
"Fika..kamu afika..kamu Afika kan..Linggau..apakah kamu Afika yang sama?", Bagas bertanya tanpa henti sambil mengguncang-guncang pundakku.
Aku terdiam. Aku sendiri tak paham rasa apa yang tengah menjulur di sekujur tubuhku. Aku kaget, senang, terharu, semua seperti sedang mengguncang pertahanan diriku. Aku hanya ingin diyakinkan, bahwa Bagas telah mengingat aku, Afikanya yang dulu. Aku masih tak bisa berkata-kata namun mataku mulai berkaca-kaca.
"Kamu afika kecilku kan? Kamu ratu ku kan? Jawab Afika..yakinkan bahwa aku gak bermimpi! Apakah kamu Afika kecilku? Jawab Fik...", tandas Bagas.
Aku tersenyum. Aku menangis. "Ya Bagas..iyaa...aku Afika..Afikamu yang dulu," jawabku sambil masih terisak.
Bagas pun seketika memelukku. Tak pernah kubayangkan saat ini segera tiba.
"Ya Tuhan..terimakasih telah mempertemukanku dengan Afika..Afikaa..8 tahun Fik..8 tahun..ya Tuhan. Afika, kamu tahu begitu sedihnya aku saat harus pindah? Begitu sedihnya aku saat kamu gak mau mengantarku? Dan begitu putus asanya aku mencari kabar tentang kamu?"
Bagas terus merengkuhku dalam pelukannya..aku begitu bahagia hingga tak tahu harus berkata apa.
Bagas terus menderuku dengan segala ucapannya,"Jangan pernah jauh lagi dari aku Fika..tetaplah disini..karena cuma dengan kamu aku bisa bersemangat lagi..cuma dengan kehadiranmu aku bisa merasa utuh lagi..berjanjilah padaku Fika.."
"Iyaa..iyaa..aku janji..aku janji Gas..maaf kalau aku selama ini tak pernah mau bilang yang sejujurnya..aku hanya takut kalau perasaan sayang di masa kecil kita hanya aku yang rasa..", jawabku terbata-bata.
Bagas tiba- tiba melepas pelukannya, " Dengar ya ratu nya Bagas..rasa itu sudah ada sedari kita kecil..tak sedetikpun aku melupakanmu dari 8 tahun yang lalu. Kau pikir kenapa sampai sekarang aku begitu malas melakukan kegiatan apapun..bahkan di sekolah? Karena tak ada hadirmu disampingku seperti dulu..", katanya sambil mencubit pipiku.
Aku dan Bagas tersenyum sambil nyengir.
Tulisan kolaborasi @wulanparker dan @aLinachubbyy
No comments:
Post a Comment