Aku memandang gerimis dari balik jendela. Gerimis yang
semakin rekat. Begitu ingin aku keluar, tersentuh air hujan yang menderas, agar
mampu merasakan rindumu yang menderu. Rindumu yang tak terungkap dengan kata,
yang mampu aku rasa dari desah nafasmu, ketika hening menyapa, mengijinkan kita
mendengar bait-bait rindu, lewat sambungan telepon.
Ya, meskipun hanya sebatas suara, itupun sudah cukup untuk
mengisi rongga dadaku dengan jutaan kehangatan. Dan kini hujan menyapaku kembali. membawa sebuah
ingatan tentangmu, tentang kita... ah dan semakin ingin aku memelukmu.
Handphone ku berdering, ringtone khusus yang kuberi untuk
pemanggil dari nomormu. Aku buru-buru menjawabnya, "Halo, sayang."
"Beb, kamu kapan balik kesininya? Aku bulan depan ujian, ajarin bikin
papernya. Aku udah stuck nih," ceritamu memburu.
Aku tersenyum
mendengarnya. "Iya, sayang minggu depan aku usahakan pulang. Jangan manyun
gitu dong," rayuku, membayangkan sepasang matamu yang selalu binar, serta
senyummu yang membuatku gemas. Merasa ingin selalu memanjakanmu.
***
Mengingat dirimu membuatku merasa memiliki sepasang sayap yang akan membawaku terbang bebas menjelajahi setiap tempat. Terkadang aku
tersenyum ketika mengingat betapa jauh jurang perbedaan antara kita berdua, kau
yang begitu perfeksionis mampu membuatku tetap menginjak bumi diantara
semua relita mimpi semu dalam dunia semuku. "Adin, kamu itu
memang aku banget."
Aku tersenyum menatap paper yg beberapa bulan lalu masih
membuatku malas menginjakkan kakiku di tempat yang bernama kampus.
***
Ah itu dulu, sebelum aku memutuskan untuk meninggalkanmu.
Kamu, yang sungguh aku cintai. Bukan aku bosan padamu, bukan aku tak mau lagi
bersamamu. Aku hanya merasa tak mampu membahagiakanmu. Mendengar tangismu, aku
kerap salah tingkah. Bingung. Aku ingin memelukmu, mendekapmu. Dan meminjamkan
bahuku untukmu.
Maaf Aira, aku tahu kamu kecewa, sakit hati, atau bahkan
benci. Tapi sungguh, jika memang ada yang sanggup membahagiakan kamu lebih
daripada yang bisa aku lakukan, aku rela. Aku hanya ingin membuatmu tersenyum,
tegak kembali dari rapuhmu. Seorang yang mungkin, bisa berbahagia juga dengan
senyum manjamu. Ah, Aira.
Getar gemuruh mengagetkan aku, membuyarkan lamunanku. Aku
tergerak membuka sebuah album foto yang pernah kau hadiahkan padaku. Ketika
aku, harus memilih pekerjaanku, dan menunggumu, hingga ternyata, aku, tak
mampu, Aira. Album foto itu, menyimpan penuh semua cerita kita. Iya, aku, dan
kamu, dulu.
Mungkin waktu itu jiwa kita masih hijau, kita masih senang
bermain dengan semua impian di warung kopi tiap malam, hal-hal gila yang
pernah kita lakukan, dan terkadang membuat orang berkata "Ni orang gila
kali ya..."
Dan kini semua
kenangan membuat rongga dadaku penuh sesak, menggembungkan rongga kelopak
mataku yg tanpa sadar ingin menumpahkan sesuatu yg lama terpendam dan
sebuah belum sempat terucap untukmu hingga detik ini.
Entah bagaimana semua berawal.
Aku masih ingat ketika malam itu, dalam hujan aku melihat
resahmu yang takut kemarahan mama kamu karena pulang terlambat. Kamu terbalut
dingin dan bersembunyi di balik punggungku. "Kapan sih hujannya reda,
kalau mama marah gimana," gumammu di balik punggungku. Aku merengkuhmu
dalam pelukanku. Aku buat kamu merasa lebih tenang. Sampai hujan reda.
Kini, apa kabarmu Aira? Sipakah yang mengurai cerita di
setiap malammu? Siapakah yang kini terpikat dengan semua pesonamu? Kamu, gadis
manis yang sederhana. Kamu, yang selalu ingin semua orang ceria. Kamu yang
selalu memihak kasih sayang atas semua di setiap sapa dan tingkah lakumu. Kamu
yang selalu rela mendengar ceritaku di balik hujan, menemui rinduku di tetes
air langit. Kamu, yang tak pernah berhenti menghujani aku dengan rindu. Aira,
maaf, kini aku merindumu. Sangat.
Seperti tiap tetes hujan yang turun malam ini, seperti
itulah rinduku padamu, kutitipkan smua kata yang belum sempat terucap. Hujan membawa kita pada sebuah pertemuan dan hujanlah
membawa kita pada suatu titik dimana kita hanya bisa terdiam dengan segala perasaan yang berkecamuk di dada kita masing-masing. Ketika takdir mengungkap bahwa segala perbedaan itu tak lagi ada artinya untuk membuat kita bersatu dalam sebuah
cerita.
Entahlah, masihkah ada guna sebuah sesal yang tumpah
semena-mena. Seperti mendorongku ke dalam jurang kebencian, pada diriku
sendiri. Aira, kali ini mungkin aku hanya mampu berserah. Jika memang Tuhan
memberikan kesempatan padaku sekali lagi, aku tak akan melepaskanmu. Aku masih
merapal doa dan kalimat-kalimat pinta kepada Sang Maha Cinta, untuk bisa kembali
menemuimu, memilikimu.
Aku hanya punya rasa sayang yang berlebihan untukmu, Aira sayang.
Aku tahu, saat inipun, aku merasa bahagia. Sekalipun terlilit dingin di balik
derasnya hujan dan gelapnya malam. Aku bahagia dengan semua yang aku punya
sekarang, tapi, tak bolehkah aku membaginya denganmu? Seperti dulu.
Kulangkahkan kakiku ke halaman membiarkan tiap tetes itu
membasahi tubuhku,meluruhkan tiap kenangan, rasa sayang, keangkuhan
hatiku, keegoisanku. Malam ini, dalam hujan
kali ini, dan diantara semua kenangan akhirnya aku bisa berkata "Aku mencintaimu...."
Aku rasakan tiap tetesan yang menyentuh tubuhku. Dingin.
Semakin aku rasakan, semakin rekat air mengucur sekujur tubuhku. Aku memejam,
mengingat semuanya, tentang aku dan kamu, tentang kita, Aira. Hujan yang
memelukku. Aira, bolehkah aku bertanya, masihkah ada cinta untukku? Aku, ingin
pulang ke hatimu. Sungguh.
Tulisan kolaborasi @wulanparker dan @FOENGAD
No comments:
Post a Comment