Monday, November 01, 2010

Naira yang Menuliskannya

Terima kasih atas semua tulisan itu. Apa kau ingin mengatakan tentang memori itu? Ah, aku tidak tahu dan tidak yakin. Kalau saja benar kau masih mengingat semua itu, aku juga merasa senang. Aku bahagia untuk itu.


Ternyata, kau masih sama, seperti dulu. Aku mengulum senyumku sendiri. Kau memintaku untuk melakukan sesuatu, tanpa menggebu-gebu dan tak mau mengatakan bahwa itu sangat penting. Padahal, kau sangat ingin aku melakukannya. Haha..kadang aku berpikir, aku terlalu percaya diri. Tapi kau selalu bilang, aku harus bisa memahami sesuatu dengan hati. Sekarang pun aku mengerti.....


Aku juga masih ingat, saat kau bilang dan memintaku untuk berpikir positif tentang segala sesuatu. Terutama tentang dirimu. Dan sekarang, aku pun mengerti.....kau meninggalkan aku bukan karena rasa sayang itu telah meluruh...bukan juga karena kebencian telah menyatu dalam hatimu.... aku tahu, kau punya alasan untuk itu!

Aku harap, saat ini kau bisa bangun pagi sendiri....
Aku harap, kau tak pernah kehilangan kunci atau terkunci di dalam ruangan itu lagi....
Aku harap, sebuah sakit yang membuat kita merasa seperti hampir mati tak akan mampir lagi.... Jangan telat makan, sayangi tubuhmu, seperti kau juga menyayangi memori itu....
Tenanglah, aku sudah tak menangis lagi...
Nanti, jangan takut untuk menyakiti, karena hal itu akan membuatku lebih sakit...
Maaf, ternyata aku tak bisa menjadi seperti yang pernah ada dalam setiap khayalanmu...
Aku hanya bisa menemanimu hingga saat itu, di batas waktu...
Meski itu keputusanmu...

Oh iya, kau tak perlu khawatir....
Kau telah membuat semuanya tak pernah berakhir. Dengan semua yang pernah kau lakukan, lewat senyum, marah dan semua cerita lucumu. Aku suka itu. Terima kasih ya, karena kau sudah membuatku menjadi lebih baik, dalam tiga ribu hari itu. Wah...lama juga yah....


Satu lagi yang mungkin bisa aku harapkan tentang kamu. Semoga suamiku kelak, juga akan berterimakasih padamu, karena telah membantunya membuatku jadi lebih baik, sebelum menjadi miliknya. Semoga kelak, ia bisa menjadikan aku semakin baik. Dan...boleh tidak aku juga menitip salam untuk istrimu kelak. Maaf mungkin lancang, tapi aku hanya ingin bilang terima kasih padanya, karena telah membolehkan aku “meminjam“ kamu sebelum ia menjadi milikmu. Tentu saja, semua ini anugerah Yang Maha Pemberi Cinta.

Ah, rasanya surat ini sudah terlalu panjang….atau justru kurang panjang. Aku tidak tahu.
Lalu, aku harus mengirimkannya kemana?
Aku akan membungkusnya dengan amplop berwarna biru, tak lagi merah jambu.
Tapi aku masih terlalu lugu..untuk menyebutmu sebagai kekasihku yang dulu.

Naira melipat kembali kertas warna putih yang penuh tulisan terakhirnya untuk lelaki itu. Dan ia, tetap tidak tahu, harus mengirimkan surat itu ke mana. Rumput hijau yang terhampar di hadapnya hanya mampu mengangguk-angguk. Entah apa yang mereka katakan. Ia berharap hujan akan turun sore itu. Ia ingin menyambut senja dalam pelukan rinai hujan yang mungkin, akan menyapu semua lelah yang ia rasakan. Naira, hanya ingin berjalan dan menemui hari barunya.


Matanya kembali terang, melihat lelaki yang memilihnya menjadi istri bergulat di hijaunya rumput bersama putra semata wayang mereka. Naira bahagia. Itu saja.