Wednesday, January 16, 2013

Ingin Menjadi Sahabatmu, Ibu

gambar dipinjam dari sini


Untuk yang Selalu Tercinta, Ibu

Assalamu'alaikum Ibu...

Ibuuuuuuuuuuuuu...... Aku berteriak riang.... apa ibu mendengarnya? Semoga ibu mendengarnya. Meski aku berteriak dengan rajutan aksara ini :) Hari ini ibu sibuk apa? Sepertinya sudah lama kita tak saling bercerita. Tapi aku sungguh suka, libur akhir tahun kemarin bisa aku luangkan lebih banyak untuk bercerita dengan ibu. Merangkum semua perjalanan yang kita lalui. Membaginya dalam tawa meski duka sedikit menyisip di dalamnya.

Aku ingat, saat pertama kali aku menulis surat untuk ibu dengan sendirinya, bukan untuk membalas surat yang selalu ibu kirim kepadaku setiap bulannya. Ya, tinggal berjauhan membuatku terbiasa dengan bahasa-bahasa tulis daripada lisan. Aku tak begitu pandai bercerita saat menjawab telepon dari ibu yang seminggu sekali itu. Hmmm... waktu itu aku masih duduk di bangku SMA, aku merasakan rindu yang teramat sangat. Aku menulis cerita berlembar-lembar dan membubuhkan nama lain setelah tandatanganku. Nama itu, Martina Cannavaro. Nama yang kemudian membuat ibu penasaran dan aku merasa semakin diperhatikan. Mungkin, saat itu, yang ada dalam pikiran ibu, aku sudah bukan anak yang bersikap dingin. Lebih bisa menyampaikan yang dirasa, yang dipikirkan dan disukai. Bukan lagi anak gadis ibu yang lebih suka menutup diri dari orang lain, termasuk dari ibu.

Perlahan memang semua berubah, aku pun merasakannya. Ada kehangatan yang sejujurnya aku rindukan. Ya, aku merindukan masa-masa itu sebelumnya. Aku sendiri sebenarnya tak tahu, bagaimana semua bisa dimulai. Mulai banyak hal yang selalu ingin aku bagi dengan ibu. Termasuk rahasia-rahasia kecil yang aku punya... :D

Hingga sekarang, aku pun merasa senang bisa menjadi pendengar untuk cerita-cerita ibu. Bahkan berbicara di telepon sudah membuat aku ketagihan. Maaf jika dulu, aku tak begitu menikmati pembicaraan kita di telepon. Aku sendiri tak tahu, tapi sungguh, aku tak pernah punya keinginan untuk tumbuh menjadi gadis kecil yang dingin, yang cerianya hanya dibagi sesuka-sukanya. Terlalu egois ya, padahal jika aku mau ceria kapan pun pasti bisa menghibur ibu yang lelah sepulang kerja.

Tapi lihatlah, sekarang, jika aku pulang ke rumah, dan ada ibu di sana, aku memilih untuk setiap hari ada di rumah. Selalu rela berangkat siang-siang hanya untuk menamatkan cerita yang diiring jeda tidur malam... :) Sekarang, ibu selalu tahu cerita tentang aku. Tak lagi menebak-nebak, meski aku tahu, naluri ibu lebih kuat dari itu.

Terima kasih atas semua kasih sayang yang ibu beri. Aku tahu, ibu memang sosok yang pendiam dan tak banyak bicara. Tapi denganku, ibu selalu berusaha banyak bercerita dan bertanya. Mungkin dulu aku yang tidak peka, sehingga selalu bercerita seadanya. Tak merasakan kehangatan yang sejatinya aku rindukan. Tuhan sayang kepada kita, membukakan kesempatan untuk saling dekat. Mmm... yang ibu perlu tahu, sesungguhnya aku ingin selalu menjadi sahabat, untuk ibu.

Diam-diam begini, aku selalu memperhatikan setiap langkah ibu, pengorbanan ibu, yang aku tahu, aku ingin tegar seperti ibu. Ingin sabar dan kuat seperti ibu. Ingin setia seperti ibu. Sampai hari ini, ibu tak pernah lelah menjaga aku, adik-adik dan juga ayah. Keluh dan peluh menjadi pengikat kasih yang lebih hangat. Terima kasih masih sabar menunggu kebahagiaan yang pasti sudah dinanti-nantikan.. ;) Doa ibu semakin menguatkan aku, meyakinkan aku. Suatu kali, kita akan menikmati kebahagiaan itu bersama-sama. Yaa.. sesuatu yang sering kita bicarakan sebagai rahasia kecil kita... Aku selalu melukis senyum kecil sendirian ketika mengingatnya. Nanti yaaaa... segera... semoga segera Tuhan hadiahkan kepada kita... Aku yang akan menggenapkan kebahagiaan menjadi perempuan sempurna seperti ibu.. ;)

Selamat menikmati hari-hari ibu... Tersenyumlah selalu. Di sini, aku pun...


Aku,
putri manismu

Tuesday, January 15, 2013

Ternyata Hanya Wira

Dear You, @wira_panda



Hai Wira Triasmara... Semoga kamu selalu dalam keadaan baik yah.. meski mungkin, tadi pagi sempat menikmati kemacetan yang dipersembahkan ibukota... hehehe...

Ini adalah surat ke-dua yang aku tulis untukmu. Ya, yang pertama adalah pada event yang sama di tahun lalu. Aku sendiri tak punya pilihan lain. Sampai hari ini belum ada selebtwit lain yang membuat aku jatuh cinta seperti kepadamu... Entahlah.. Meski sungguh, aku jatuh cinta bukan karena sosokmu di dunia nyata. Aku merasa apa-apa yang ada dalam rasa dan juga pikiranku tersampaikan atas tulisan-tulisanmu. Baik di linimasa atau pun dalam karya-karyamu, termasuk wira allstar-nya yaaa... :D

Istimewanya adalah sebagian besar linimasa kamu :) Tidak terlau berat, tidak terlalu ringan. Aku rasa, kamu tidak pernah mengada-ada. Begitu yang kemudian terpikir olehku. Maka, aku selalu menikmatinya. Tak jarang aku me-retweet atau sekadar manggut-manggut dan mengikik sendirian setelah mengikuti linimasamu.

Oh iya, maaf yaa... karena terlalu sering mengikuti linimasamu, aku sempat cemburu, sungguh-sungguh cemburu. Ketika kamu begitu sering menulis tentang pacar barumu. Aaaahh... aku sendiri pun tak tahu, kenapa harus merasakan cemburu itu. Mungkin karena ilmu yang disukai pacar kamu, sama dengan yang aku suka... haha.. atau ada hal lain yaa... aahh sudahlah... yang penting sekarang aku tak lagi seperti itu.. XD

Semoga kalian langgeng, bisa segera sah... dan bisa menikmati menjadi pasangan serasi sampai kakek nenek.. aamiin...

Aku bahagia kok, kamu tak lagi menjadi Ksatria Patah Hati. Karena kutahu, kamu adalah Ksatria Penuh Kasih. Pasti pacar kamu senang bisa punya pacar yang perhatian dan pengertian seperti kamu.. :P

Terima kasih ya sudah menawarkan rasa linimasa yang berbeda untukku. Semoga suatu waktu bisa menjadi kenangan yang menyenangkan.. :)


Aku,
yang menyukai ceritamu :)


Monday, January 14, 2013

Pulang pada Pelukan

gambar dipinjam dari sini

Dering telepon yang cukup kencang dan berkali-kali pun tak juga membuat Raras bangun dari tidur pulasnya. Baru dua jam lalu ia bisa memejam. Suhu tubuhnya serius menuju empat puluh derajat celcius. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring di tempat tidurnya. Mengangkat kepala pun dirasakannya sangat berat. Ketika membuka mata, ia justru merasakan sakit yang berlebih, bahkan untuk menelan ludahnya sendiri.

Ibu yang sejak tadi menelepon Raras semakin dibalut rasa khawatir. Tak biasanya Raras tak mengangkat telepon ibu yang berkali-kali. "Yah, Raras kenapa ya? Ini dari semalam loh Ibu telepon dia nggak pernah angkat. Dan ini nyambung loh, berarti kan handphone-nya bukan sedang mati kan?" kekhawatiran ibu semakin memburu. Ayah mengernyit, melipat koran yang sedang dibacanya. "Mungkin dia nggak dengar.. coba saja lagi nanti," komentar Ayah tak juga membuat Ibu lebih tenang.

Ibu terus berusaha menelepon Raras, mencari jawaban atas kekhawatirannya. Ibu tahu, di tempat kosnya, Raras sendirian. Apalagi di akhir minggu seperti ini. Teman-temannya banyak yang pulang ke rumah masing-masing. Pastilah Raras lebih sering sendirian. "Kalau begitu, ibu akan pergi mengunjungi Raras ya, Yah.." tiba-tiba ibu bersemangat dengan keinginannya. Kalau sudah begini, ayah tak bisa berbuat apa-apa.

Dingin membalut malam dengan gagahnya. Seperti pelukan yang enggan terlepaskan membuat tubuh Raras semakin menggigil, dan terus memanggil-manggil ibunya dengan terbata-bata. Mungkin ini rasa rindu yang telah ia redam terlalu lama. Banyak cerita yang tertahan, yang seharusnya bisa ia bagi dengan ibu. Namun entah, kemana perginya kesempatan, hingga membuat Raras memilih meredam semua inginnya, menyekat segala rasanya untuk menemui ibu. Hanya ingin menjadi dewasa dan mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri saja. Namun, semua justru mengatupkan segala pikiran-pikiran jernihnya. Justru membuatnya semakin lekat dengan pusing, sendirian.

Tok tok tok..

Terdengar pintu kamar yang diketuk dari luar. Semakin keras dan semakin keras. Berada diantara mimpi dan kenyataan Raras berusaha membuat tubuhnya bangkit. Namun tetap saja gagal. Ia justru terbatuk-batuk. Semakin membuat dadanya sakit.

"Nak, ini ibu. Kamu sakit? Bukalah pintunya,"

Dengan tetap dalam bebatan selimut, Raras berusaha berjalan menuju pintu dan membuka pintu kamar. Tubuhnya yang lemah tak bisa ditopangnya sendirian. Baru saja pintu terbuka, Raras sudah nyaris ambruk. Ibu yang terkejut dengan sigap memapah tubuh Raras kembali berbaring di tempat tidurnya. Ibu bisa merasakan suhu tubuh Raras yang meninggi. Wajah Raras yang pucat ingin sekali tersenyum atas kedatangan ibu yang begitu ia tunggu. Ia rindukan pelukannya. Dan entah bagaimana akhirnya kini berada di hadapannya dan mendekapnya.

Raras membuka mulutnya pelan-pelan. Sup buatan ibu selalu menjadi obat paling mujarab ketika ia sakit. Kehadiran ibunya lebih dari sekadar kehangatan yang ia butuhkan. Genggaman tangan ibu yang mengusir semua kelelahan. Kelelahan yang membuat tenaganya nyaris lenyap. Bahkan membuka mata pun seakan tak ia sanggupi.

Aruna tak ingin melepaskan genggaman ibunya. Ia ingin Kirani tak pergi lagi darinya. Aruna tak bisa menerima perpisahan ayah dan ibunya. Jauh dari ibu berarti membuat Aruna tak bisa menikmati hari-harinya. Melemahkan semangatnya. Tak ada alasan yang membuatnya tersenyum setiap hari. "Ibu jangan tinggalin Aruna lagi," ucap gadis itu pelan. Kirani mencium kening putri semata wayangnya. Air matanya menetes. Mengungkap bahwa bukan inginnya membiarkan Aruna sendirian.

"Tak ada ibu yang membiarkan anaknya sakit sendirian, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Cerita sama ibu, tak ada yang bisa menyekat segala firasat ibu tentang kamu," Raras bangkit, memeluk erat ibunya. Membiarkan air matanya banjir di bahu ibunya. Melepas segala kesal di hatinya. "Ras, kamu pasti kuat. Pulanglah ke rumah jika memang kamu ingin." Raras menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia masih belum sanggup menerima pria yang harus ia sebut ayah. Pria yang memutuskan menikahi ibunya sejak enam bulan lalu. Menggantikan tahta ayahnya yang berpisah dengan ibunya empat tahun lalu.

Hujan turun begitu derasnya. Menyamarkan isakan kerinduan. Kerinduan yang kemudian terbayar atas naluri sang ibu. Mengeratkan pelukan dalam dingin yang semakin menusuk. Perlahan mencipta kehangatan dan senyuman yang telah lama sama-sama mereka nantikan, setelah beratnya sebuah perpisahan. 




*Cerita ini ditulis sebagai replika cerita Semesta Rasa


 

Aku Bangga, Ayah :)

gambar dipinjam dari sini


Assalamu'alaikum Ayah...

Apa kabar ayah Senin ini? Semoga ayah selalu bersemangat menjalani hari. Maaf ya.. kemarin pulang hanya sebentar dan terlalu banyak alasan. Tak bisa menemani ayah makan bersama seperti hari libur-hari libur sebelumnya. Hehe.. aku sedang menyembunyikan sesuatu dari ayah memang. Iya, tentang aku yang sempat sakit. Demam karena kelelahan. Karena itu, aku tak menelepon ayah dan juga tak kunjung pulang. Aku hanya tak ingin ayah khawatir, seperti waktu itu, ayah langsung ingin mengunjungi aku ketika mendengar suaraku begitu parau. Tenang Yah, sebenarnya kalau aku sakit, aku cuma butuh waktu bermain yang lebih banyak. Tak selalu butuh dokter. Kalau dokter cinta sih... mungkin... hehehehehe...

Ya sudah, yang penting kemarin aku sudah datang, mengunjungi ayah. Membayar rindu-rindu kita karena liburan akhir tahun banyak kita habiskan bersama. Jadi, kita semakin merindukan pertemuan itu. Yah, jika aku tak datang, itu bukan karena aku takut kehujanan atau kelelahan. kadang aku pun merasa bersalah kepada ayah, ada hal lain yang aku belakan dan membuat ayah lebih lama menunggu pertemuan kita. Ini bukan perkara aku tak lebih sayang kepada ayah. Tapi ayah tahu kan, aku selalu ingin tahu banyak hal baru. Aku tak begitu betah berdiam di rumah tanpa mengerjakan apa pun. Aku banyak merindu bertemu orang-orang baru, yang bukan hanya itu-itu.

Tenang Yah, aku masih putri kecilmu yang lugu dan selalu lucu :) Aku akan selalu menjaga semua kepercayaan yang ayah berikan. Aku tak bisa memberikan apa-apa yang istimewa untuk ayah. Aku hanya ingin melakukan banyak hal yang berguna untuk orang banyak dan menyimpan pengetahuan untuk masa depan. Ya, seperti yang biasa ayah ajarkan. Aku ingin ayah tahu bahwa semua yang ayah ajarkan, masih aku lakukan.

Oh iya, aku selalu senang jika ayah rindukan, ayah pedulikan, dan aku tak merasa ayah nomor sekiankan diantara kesibukan yang ayah kerjakan. Ayah pernah bilang kan, semua ayah lakukan untuk kami. Tak berkurang kehebatan ayah meski usia ayah semakin senja. Aku dan adik-adik tetap bisa bebas bercerita dan berbagi apa pun dengan ayah. Apalagi aku, yang sekarang lebih kerap bertemu ayah daripada adik-adik. Aku inginnya semua keberpisahan kita yang bertahun-tahun itu bisa terbayar. Meski masanya sudah berbeda.

Kadang aku terharu ketika di masa seperti ini ayah masih ingin membelikan aku boneka, "Kan dulu belum suka-suka banget. Sekarang masih suka kan sama yang lucu-lucu?" ungkapmu sesekali ketika menemukan penjual boneka di sepanjang perjalanan kita pergi. Aku juga ingin memeluk erat-erat ketika ayah masih suka mengajakku berwisata kuliner seperti yang dulu biasa ayah lakukan ketika pulang bertugas. Ketika satu atau dua hari kita bertemu setelah entah berapa purnama kita tak saling melihat satu sama lain. Sekarang, aku bisa menemui ayah sesuaku. Meski lebih banyak kita menempatkan pertemuan itu di penghujung minggu.

Ayah... keberpisahan yang menahun itu pun ternyata tak pernah mengurangkan kedekatan kita ya... Tak mengurangkan kesempatanku untuk bermanja denganmu. Meski masanya adalah sekarang. Aku tak lagi peduli dengan rasa-rasa sakit yang hinggap dan pergi semena-mena. Toh aku masih memiliki kasih sayang dari ayah. Maaf ya Yah, jika sampai hari ini aku masih sering merepotkan ayah. Masih belum bisa membuat ayah sebahagia ayah-ayah yang lain. Tapi ayah harus yakin, aku selalu berjuang. Aku juga ingin membahagiakan ayah seperti ayah-ayah yang lain.

Terima kasih ya Ayah.. sudah menjadi ayah yang baik untuk aku dan adik-adik. Terima kasih sudah menjadi pria paling romantis sampai detik ini. Terima kasih sudah mengenalkan banyak hal diantara suka duka perjalanan yang ayah tawarkan. Ini cara Tuhan menyayangi kita. Cara Tuhan mmbuat kita saling paham. Aku tak ingin lagi marah pada ayah yang dulu kerap aku lakukan ketika masih kecil. Itu mungkin caraku menyikapi rinduku pada ayah yang telah lama tak menemui aku dan adik-adik. Tapi lama-kelamaan aku paham, ayah tetap menjaga kami dari jauh. Mengajarkan kemandirian kepada kami. Dan, tak meratapi kesendirian. Tentunya, ada yang selalu menjaga kita semua, Tuhan.

Sekarang, ayah jangan khawatirkan aku ya... aku sudah besar... ayah berdoa saja, supaya aku bisa memberikan kebahagiaan juga kepada keluargaku nantinya. Aku ingin anak-anakku merasakan kebanggaan yang sama denganku. Bangga kepada ayahnya. Semoga aku bisa memberikan ayah yang sebaik engkau kepada anak-anakku ya Yah... ;)


Aku,
putrimu yang paling lucu :)



Thursday, January 10, 2013

Aku Tuhan


gambar dipinjam dari sini

Aku adalah Tuhan. Aku berkuasa. Aku dilahirkan untuk memenangkan segalanya. Mendapatkan segalanya, dengan cara yang baik atau buruk. Aku tidak peduli. Karena apa? Karena aku dilahirkan untuk menang, menjadi pemenang, pemimpin dari keluarga paling hebat di negeri ini, Meksiko. Keluarga Guillermo, otak di balik korupsi, nepotisme, prostitusi, obat-obatan terlarang, dan segala bentuk ilegalitas.
Tentu saja pemerintah tahu. Tapi mereka bisa apa? Menangkapku? Hah! Bisa-bisa mereka yang berakhir di ujung senapanku. Tentu saja mereka bungkam. Mereka pun berkonspirasi denganku, atau lebih tepatnya menjadi pengekor bagiku dan keluargaku.

Pemimpin bukanlah presiden, tapi aku, Rodrigo Guillermo. Kau mengerti?
Kemanapun Lamborghini-ku beranjak, maka akan selalu ada barisan polisi yang mengawal. Kemanapun. Kapanpun. Memastikan bahwa jalanan bersih dan aku terbebas dari segala gangguan.
See. Aku Tuhan.

Aku merapikan kemejaku. Sekali lagi meyakinkan kepada cermin, bahwa akulah pemuda paling tampan di kota ini. Tak ada perempuan yang tak takluk dalam pelukanku. Semua yang mereka ingin dapatkan bisa mereka dapatkan. Asalkan, mereka dengan senang hati melakukan apa yang aku perintahkan. Aku terbahak, dalam hati, dan tetap menjaga kewibawaanku.

Angelina, tengah menungguku di restoran yang telah kami sepakati. Angelina, putri walikota, yang kini tak mampu terlepas dari jeratanku, haha…

Aku memasuki restoran dengan dibuntuti pengawalku. Ada bisik-bisik melintas di telingaku ketika aku berjalan. Berceloteh tentangku, baik dan buruk. Bah, aku tak peduli. Aku tidak sedang berminat memotong lidah siapapun hari ini. Aku berjalan bak raja, ketika ada bisik lain yang terdengar.

“Oh… bukankah itu Nona Eunica, putri wakil presiden?”

Mereka membicarakan orang lain. Tak tertarik. Wanita tetaplah wanita. Mereka akan sama saja seperti Angelina, atau wanita lain. Menempel layaknya benalu. Mereka ada hanya untuk memuaskan gairahku. selebihnya, bukan apa-apa. Tak ada yang menarik sedikitpun.

“Oh, God… cantik sekali… lihat rambut keemasan berkilaunya. dan wajah porselen itu.”
“Ya, dia sangat sopan dan ramah. tapi aku tak habis pikir. bukankah dia selalu menolak lelaki yang mendekatinya?”

Mungkin mendengar kata penolakan, membuatku tertarik. Atau mungkin karena mereka mengatakan dia adalah replika dari porselen. Entah. Aku mengintipnya dari sudut mata dan melihatnya.

Cantik. Sama cantiknya seperti Angelina. Aku memilih untuk menikmati semua yang aku miliki. Karena aku yakin tak satu pun mampu menandinginya.

Tiba-tiba telepon genggamku berdering, mama meneleponku malam-malam. Aku menjawab hati-hati. Aku tak mampu mendengar suara mama dengan jelas, aku hanya bisa mendengar isakan tangis dan nafas satu-satu milik mama.

Aku dengarkan dengan lebih seksama. Ia menyebut berkali-kali nama papa. Aku mengernyitkan dahiku. Ada apa dengan papa? Gumamku. Angelina menggenggam punggung tangan kiriku. Aku semakin tak bisa menerjemahkan kata-kata mama.

Papa.
Rumah sakit.
Jatuh.
Pistol.
Tertembak.

Aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh mereka. Namun kebisingan yang melatari telepon di seberang sudah pasti menandakan situasi yang tidak baik. Aku dengan cepat bediri dan bergesa keluar restoran. Angelina kutinggal begitu saja, memanggilku berulang kali.

“Josue, pastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tau jika papa masuk rumah sakit sekarang.”
Aku mengomando pengawalku sementara mobil terus melaju. Aku mengumpulkan informasi secepat kilat. Papa ditembak oleh musuh, kini masuk rumah sakit. Mamaku sedang di sana, pasti beliau sudah berderai air mata.

Fuck. Siapa yang berani menentang keluarga Guillermo!! Ingin menantang maut dia!
Sampai di rumah sakit, aku menyusuri koridor-koridor gelap menuju kamar papa. Para pengawal berjaga-jaga di setiap ujung koridor, memastikan tak ada penyusup yang masuk atau sekadar mengintai keadaan papa.

Tampak Paman sedang berbicara dengan salah satu orang kepercayaan papa tak jauh dari pintu ruangan tempat papa dirawat. Perih, ketika melihat papa terkulai lemah. Tubuhnya yang tinggi besar pun tak sanggup menopang bebannya saat ini.

Mama duduk di samping ranjang papa dan mengelus-elus kepalanya. Tak peduli seberapa dingin sikap papa kepadanya, mama tetap saja menjaga papa layaknya induk yang memedulikan anak-anaknya.

Aku mendekat kepada mama. Mengelus pundaknya pelan. “Kita harus kuat Ma, tak ada yang bisa mengalahkan keluarga Guillermo. Kita punya semuanya,” bisikku ke telinga mama.

Wajah letih pria di ranjang itu terlampau pias. Tak nampak damai sekerutpun. Tubuhnya lemah, sama seperti elektrokardiogram yang bergerak lambat di sampingnya. Beberapa selang melintasi tubuhnya, di tangannya, di hidungnya. Kesadaran nampak mengawang, entah akan kembali atau tidak.

“Ma, papa akan sadar.”

Iya kan? Aku akan melakukan segalanya untuknya. Tidak ada yang boleh meninggalkanku. Tidak akan kumaafkan yang membuat papa menjadi seperti ini. Tidak ada yang boleh terlepas dari genggamanku, termasuk penembak itu.

“Josue, cari siapa yang menembak papa! bawa dia hidup-hidup! Aku ingin melihat wajah busuknya!”

Tiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttt……………

Garis lurus di elektrokardiogram melintas tanpa henti. Bersamaan dengan tangis histeris mama, kerumunan dokter yang berlari mendekati papa dengan berbagai peralatan. kami yang diusir keluar. Mama yang jatuh pingsan. Semua terjadi begitu cepat. Aku tak mengerti.

Mama mengangguk pelan. Menyeka air matanya. “Rodrigo, mungkin kita terlalu angkuh ya…” kata-kata mama bercampur isakan tangis, tapi aku cukup jelas mendengarnya. Aku menganga. Apa yang sedang mama pikirkan saat ini. Kenapa mama seakan menyerah.

Aku ingin berkata, tapi aku urtungkan. Aku tak mau suasana menjadi semakin keruh. Biar saja aku dan paman yang mencari tahu penyebab dan mencari penyelesaian masalah yang sedang terjadi.
.
Hari berlalu. Pemakaman berakhir dua hari yang lalu. Mama mengurung diri di kamar. Aku dan Paman Alejandro masih mencari orang yang berani bermain denganku. dipikirnya dia akan lepas begitu saja, hah!
“Guillermo harus dibunuh!!”
Aku masih baru terbangun ketika ada suara teriak kemarahan dari jendela luar. Aku terkejut untuk beberapa saat, dan lebih dan lebih….
“Yaa!! Dia harus dibunuh!!”
“Dia sudah menyebabkan negara kita hancur berantakan!!”
“Ayahnya sudah mati! Sekarang seluruh keluarga Guillermo harus mati!!!”
“Bunuh!!!”
“Bunuh dia!”
“Bunuh!!”

Aku sengaja membuka tirai kamarku lebih lebar, agar dapat melihat jelas orang yang sedang berteriak-teriak di depan pagar rumah itu. Bola mataku pun membulat melihat sang empunya suara. Aku mulai mengenalinya. Semakin jelas dan semakin jelas.

Dengan lantang ia bangga dengan terbunuhnya papa. Dengan lantang ia berteriak akan membunuhku. Membunuh keluargaku, satu per satu.

Ya, dia. Angelina.

Dia berdiri dengan tegap di memimpin lautan manusia yang menyerbu rumahku. Manusia-manusia jelata yang harusnya tunduk padaku. pada Tuhan. Berpikir apa mereka?!! Hey, aku Tuhan! Aku Tuhan!!

“Tuan Muda!” Josue berlari tergesa dengan wajah panik. “Orang-orang itu sedang gila, Tuan! Mereka mulai membakar rumah! Sebaiknya anda cepat pergi dari sini!”

Tidak. Ini tidak mungkin. Aku Tuhan. Iya kan? Iya kan?!!

Josue mengawalku menuju pintu rahasia rumah kami. Aku bersama mama pontang-panting menyelamatkan diri. tidak kupercaya, Tuhan sepertiku harus melarikan diri. Namun bodohnya aku. Pintu dibuka, dan aku baru saja tersadar. Aku terkepung oleh lautan manusia.

Hey, aku Tuhan! Dengarkan aku!

Mereka tak peduli. Hidupku tamat sudah.
Tanpa kusadari, nyawaku tak menyatu lagi dengan raganya, aku.
***
“Sayang, ayo pulang,” seorang pria paruh baya menepuk pundak seorang gadis. Gadis itu berbalik, mengangguk lesu dan mengekor di belakang ayahnya. Ayahnya kemudian berkomentar sinis, “Eunica, kenapa kamu menagisi iblis sepertinya? Dia bahkan tak pantas untuk hidup.”

“Daddy… semua orang pantas untuk hidup. Dia buta oleh kekayaan dan kekuasaan, dan belum sempat untuk tersadar,” Jawab Eunica. Dia menyeka air matanya. “Kasihan.”

Ayahnya mendengus.

Eunica tak peduli. Dia menatap nisan di belakangnya untuk yang terakhir kali. Dengan ingatan yang membekas jelas. Bagaimana tatapan pria itu begitu kelam dan kesepian, kala mereka beradu pandang di restoran malam itu.
.
a collaboration of tragicomedy fiction with Gladish Rindra