Wednesday, July 18, 2012

Gak Cuma Satu

"Udah dari tadi?" tanyanya mengejutkanku.
Aku mendongak lalu nyengir. "Enggak kok, belum lama," jawabku sambil beranjak dari trotoar lahan parkir sebuah hypermart.
Sepertinya dia masih heran, dengan pilihanku menunggu di lahan parkir.
"Kenapa nggak masuk duluan?" tanyanya lagi.
"Aku nggak tahu tempatnya Mas, lagian kalau nungguin disini kan gampang nyarinya, hehe" jawabku.

Iya, hari itu, kami sama-sama memenuhi undangan untuk tes kerja di sebuah hypermart kenamaan di Surabaya. Tapi, kami berangkat sendiri-sendiri.

Jam 08.00 kami sudah siap di ruangan yang dijanjikan oleh pihak hypermart itu. Jujur, aku sedikit gugup, kondisiku sedang kurang baik saat itu.
"Itu bibir kamu kenapa?" ia kembali bertanya memecah hening.
"Oh, ini abis jatuh dari motor," jawabku sambil menunjuk luka di bibir dan sebaris gigi yang dipagar dengan kawat.
"Kapan?" lanjutnya.
"Kemarin Kamis. Jadi baru dua hari, makanya belum bisa keren kalau ngomong, hehe."
Dia tersenyum.
"Makanya Mas, aku deg-degan nih, nanti kalau jadinya aku nggak diterima atau nggak dibolehin ikut tes gimana?" keluhku.
Lagi-lagi dia tersenyum. "Udah, tenang aja, semuanya udah ada yang ngatur, dijalani aja," katanya teduh.

Lama, iya, kami menunggu cukup lama untuk masuk di ruang interview. Kadang kita saling diam. Kadang kita saling cakap. Ya, memang dia bukan orang yang banyak bicara. Dan, aku pun kurang pandai membuka pembicaraan.

Sebelum akhirnya namanya terlebih dahulu yang disebut, dia sempat bilang, "Ini kalau pertanyaannya teori semua, aku udah lupa," katanya sambil terkekeh.
"Sama Mas, apalagi kalau ada soal UUK atau psikodiagnostik yang aneh-aneh, lupa banget." Kami terkekeh, membuat beberapa kandidat lain menoleh ke arah kami.

Bayangkan, kami dua mantan mahasiswa, berijazah psikologi, yang justru males mikir psikodiagnostik. Hahaha... mahasiswa macam apa ini?!

Tak berapa lama, dia keluar, dan tibalah giliranku memasuki "ruang sidang". Jreeeengg... betapa tak dinyana, ini interview malah semacam ujian skripsi. Ada empat orang interviewer. Dengan suhu ruangan yang cukup disarankan untuk berselimut. Setelah melewati pertanyaan terprediksi, soal bibir, proses interview pun berjalan berakhir. Termasuk di dalamnya, penjelasan tentang UUK dan analisis tes gambar. Okesip. Jadi, ini sengaja diurutin sama sang kakak kelas, supaya tak ada kesempatan bertanya. -_-"

Aku keluar ruangan dengan langkah gontai. Ah, ternyata dia masih menunggu.
"Lama banget, kamu diapain aja di dalam?" tanyanya sambil senyum-senyum. "Kamu udah satu jam loh" lanjutnya.
"Nah iya kan Mas... berarti tadi aku nggak lancar tesnya, kelamaan. Ah, yaudah deh, palingan juga Mas yang diterima," cerocosku dengan mulut maju.
Dia malah cuma senyum.
Lalu kami berjalan, keluar dari gedung hypermart itu.
"Nggak usah sedih, kenapa harus menuntut sesuatu. Sudah ada yang mengatur," katanya lagi.
"Trus kalau nggak punya kerjaan gimana?"
Dia senyum.
"Tapi kita nggak boleh bergantung sama ijazah ya Mas," tiba-tiba aku mendadak agak pinteran.
Dia mengangguk.
"Tapi aku kan juga kepingin ngerasain kerja pakai ijazah Mas," kataku.
"Iya, tapi tes hari ini nggak boleh kita jadikan satu-satunya harapan."
Aku diam.
"Sebenernya passionku itu menggambar. Aku suka desain. Makanya aku di rumah coba merintis usaha konveksi, bareng temen-temen," lanjutnya.
"Trus kenapa Mas kuliah di Psikologi?" tanyaku.
"Ya waktu itu, rejekinya di situ. Psikologi juga menyenangkan kok.
"Trus kenapa Mas mau ikutan tes kerja ini?" tanyaku lagi.
"Aku kepingin menyenangkan hati orangtua. Siapa tahu, mendapat pekerjaan ini bisa bikin mereka senang," ucapnya sambil tersenyum.
"Iya ya Mas, kadang kesukaan kita belum tentu kesukaan orangtua."

Itu, terakhir kali aku bertemu dengannya. Bahkan setelah ternyata kami sama-sama tidak diterima, kami sudah jarang berkomunikasi, lewat telepon sekalipun. Ya, seperti katanya, kami sibuk berjuang dan membuka lembar-lembar harapan baru, yang tidak hanya satu.

Hingga tadi pagi, aku mendapat kabar, bahwa ia telah sampai pada akhir perjuangannya. Alloh menghendakinya untuk kembali pada-Nya. Menempatkan seorang yang baik hati dan rendah hati di sisi-Nya, di tempat terbaiknya.

Diantara teman-teman seangkatannya, dia lebih pendiam. Tapi baik hatinya, nggak pernah memihak kepada siapa-siapa. Tipikal orang yang ngemong dan nggak galak waktu ngospek... :)

Semoga segala kebaikan dan kerendahan hatinya bisa menjadi bekal untuk mendapatkan tempat terbaik.
Selamat Jalan... :)


Tuesday, July 17, 2012

Seorang Kamilun Muhtadin


Tadi pagi, sampai menjelang jam 7, saya masih asyik gegoleran di kasur sambil main twitter. Hingga saya terbangun, benar-benar terbangun tak hanya duduk. Rasa kantuk mendadak hilang setelah sekilas terbaca serentetan kalimat yang mengabarkan bahwa seorang Kamilun Muhtadin telah berpulang ke rahmatulloh, semalam.

Saya langsung menghubungi seorang teman untuk memastikan, apakah nama itu pemiliknya adalah seorang yang benar saya kenal. Dan, jawabannya adalah IYA. Saya hanya bisa mendo'akan agar segala amal dan perbuatan beliau diterima oleh Alloh SWT.

Saya mengenal sosok inspiratif ini ketika saya masih bergabung dengan Koran Pendidikan di Kota Malang. Beliau adalah seorang kepala sekolah yang kemudian menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten Malang. Bukan karena jabatannya, namun pemikiran beliau tentang pendidikan sangat mengesankan. Di media tempat saya bekerja, pria yang akrab dengan sapaan Abah Kamilun ini rutin mengirimkan tulisan-tulisannya tentang pendidikan, dimana beliau membela hak-hak generasi muda untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa harus terdistorsi dengan kepentingan-kepentingan para penguasa.

Jadi, setelah saya berpindah media pun, saya masih memilih beliau untuk menjadi narasumber tentang pendidikan. Waktu itu, beliau bercerita tentang kejujuran. Menekankan bahwa belajar adalah untuk kejujuran. Ya, memang percuma mematok nilai yang tinggi dalam pembelajaran, dan kemudian terabai cara-cara memperoleh nilai tersebut yang jauh dari kejujuran.

Pribadinya yang santun, low profile, realistis, dan tegas, adalah pemikat bagi saya. Saya masih ingat, saat saya datang ke rumah beliau, malam-malam, beliau sampaikan bahwa beliau sangat senang diajak berdiskusi, terutama tentang pendidikan. Abah Kamilun yang juga ketua ta'mir Masjid Jami' Kota Malang ini memesankan bahwa mengutamakan kebaikan akhlak adalah hal yang paling penting dalam pendidikan, dan setiap orang harus berani menegakkannya.

Setiap orang yang pernah menikmati pembicaraan panjang dengan beliau, insyaAlloh ingin lagi dan lagi. Beliau selalu mengatakan, "Datang saja untuk silaturahim, nanti kita bisa bercerita panjang lagi."

Meski sekarang tak selalu bisa menikmati wajah santunnya yang khas, saya berharap, segala yang pernah beliau sampaikan, dapat memberikan inspirasi bagi generasi-generasi penerusnya.

Oh iya, satu lagi yang mengesankan bagi saya, opini-opini yang dikirimkan ke redaksi, selalu berupa tulisan tangan. Khas, dan sangat lekat dalam ingat.

Selamat jalan Abah Kamilun.
Semoga para pewaris semangat Abah tak pernah lelah berjuang.