Wednesday, April 25, 2012

Hepi Ngambek?

Bukan masalah sedekat apa kita padanya, ataupun, semampu apa ia memahami kita. Aku hanya tak bisa bayangkan, bahwa secarik kertas, sehelai kain, atau apalah, justru mampu mengikat kita dalam sebuah memori panjang, yang entah berapa lama bertahan menjadi ingatan yang jarang sekali terlupakan. Bukan, bukan karena mengesampingkan yang hidup dan bernyawa. Namun, kadang aku berpikir, bahwa ada kehidupan yang kemudian menjelma dari deretan makna yang tercipta.

Seolah tenang, dan tak merasa apa-apa. Mungkin seperti itulah yang mampu aku ingat tentang malam itu. Dengan balutan babydoll dan siap memeluk guling dengan sarung bergambar avatar, warna oranye, aku duduk di tepi tempat tidur yang telah rapi. Sengaja mencari sebuah benda, untuk memberikan kabar pada sahabat, bahwa aku telah sampai, dan siap melepas lelahku setelah seharian tamasya bersamanya. Ya, si Hepi yang aku cari. Sebuah telepon genggam yang bagiku sudah cukup canggih, tapi tidak bagi teman-temanku yang melihat tampilannya. Ah, kalian tak mengenalnya saja... :D

Tapi, coba tebak, apa yang aku dapat? Aku malah menemukan sekotak "tahu gehe"... :( dan.... Hepi tak berada di tempatnya. Aku mencoba mengeluarkan seluruh isi ransel. Ya, benar....! Hepi tak ada.... Pelan aku menjajak kotak-kotak memori perjalanan seharian ini... Yaaa.... kemungkinan besar, Hepi tertinggal di kolong meja saat aku membiarkannya berpelukan dengan chargernya. Aku berusaha menghubungi sahabatku untuk mengabarkan padanya. Siapa tahu, ada ide baru. Selanjutnya aku berusaha menghubungi tempat aku meninggalkan Hepi dengan bantuan teman kosku. Bisa... iya tersambung.... dan... benar... Hepi berada di sana. Saking senangnya, aku lalu begitu saja menyambar jaket tebal, slayer dan helm, bersiap menjemput Hepi. Tapi... kemudian aku urung pergi, melihat jam dinding yang sudah menunjuk jam setengah sebelas malam. Rasanya tak mungkin aku menjangkau tempat itu dalam waktu tiga puluh menit. Iya, jam sebelas malam, tempat itu sudah tutup dan dikunci.... *yaiyalah dikunci*

Aku mencoba menelepon sahabatku, menceritakan semuanya. Dan.. tau tidak? Dia menyanggupi untuk membawa pulang Hepi. Seperti dilamar pacar mungkin ya rasanya..... :)) :)) Iya, tempat tinggalnya lebih dekat, jadi, dia bisa lebih mudah mnjemput Hepi. Aku merasa lebih tenang, artinya Hepi berada di tangan orang yang tepat. Aku pun berjanji akan segera menjemputnya. Ah, tapi tak semudah itu.... Aku harus menahan karena hujan dan lain sebagainya. Pas lah... genap dua hari aku saling membisu dengan Hepi. Ah, itu hanya masalah telepon genggam, yang mungkin menjadi media berbagi dengan siapa saja di luar sana. Berpisah dengannya, artinya memenjarai diri dari kebiasaan... :D

Entahlah, keberpisahanku dengan Hepi melambungkan kembali ingatan tentang..... tentang sekian deret saran untuk mengganti Hepi dengan yang lain, dengan yang lebih layak mungkin.... Dan memang, akhir-akhir ini aku semacam memantapkan diri untuk menggantinya dengan yang lain. Tapi kejadian itu, seolah mengatakan padaku bahwa... Hepi juga bisa ngambek.... Ah... sebegitunya kah? :D

Baiklahh... aku harus minta maaf padanya ya... tak akan lagi teledor padanya. Tetap menjaganya meski keadaannya sudah tak sama dengan yang lain. Biar saja ada yang menggantikan tanpa harus membuatku sengaja melupakannya. Ah, bukannya aku tak berterima kasih padanya. Itu hanya khilaf semata. Tapi tetaplah berterima kasih atas apa saja, diantara makna-makna yang tercipta. Meski apapun... hanya akan menjadi milik sementara.... Mungkin.... begitu juga tentangnya....

Friday, April 13, 2012

Maaf, Aku Sibuk


Mungkin sudah sejuta kali aku berkedip, dan ingin memejam sebentar. Ah, meluruh lelah dan lusuhnya tenaga itu ternyata tak juga semudah mebalikkan telapak tangan. Ya, mungkin juga telapak tangan yang sedang terlindas lemari besi. Ouuucchhh.... sakit. Tapi apa boleh buat, katanya ikhtiar harus maksimal, maka bagaimana pun aku harus menyelesaikan semua tugas kantor, meski harus menjadi seorang single fighter.

Aku tahu, di luar sana bahkan ada yang lebih memeras keringat, hingga kepalanya pun menjadi sangat berat, bahkan ingin bertukar dengan siapa saja yang mau. Tapi, tak mungkin bisa kan? Aku hanya bisa tergelak dalam hati. Kenapa sebegitu berat merasai perjalanan setiap hari. Ah, bukankah senyum dan ramahnya sapa akan lebih menenangkan?

Seperti saat ini, lihat saja, dia terus menyapaku, mendekatiku. Isyarat sapanya, mengatakan aku wajib memberikan jamuan istimewa. Begitu lama aku membiarkannya tanpa balas sapa. Ah, sudah sekejam itukah aku padanya? Dia, tak pernah mengejar berlebihan, tak pernah mengintimidasiku dengan cara yang menyebalkan. Ya, tapi apa boleh buat, aku seakan masih terlilit lelah yang berlebih, yang membuatku enggan memberikan balas atas sapanya.

Padahal, ketika aku membutuhkan dia, aku selalu mencarinya kemana saja. Aku selalu berharap bahwa dia akan datang dan menjanjikan jamuan-jamuan istimewa untuknya. Menggelar imajiansi dan merangkainya tak peduli cuaca. Ah, lalu kenapa jadi seperti ini. Ia datang, menawarkan segala imajinasi istimewa yang seharusnya bisa aku rangkai bersama makna untuk bercerita.

***

Oke, hari ini aku berusaha menyambutnya, tapi tak mau memberi janji padanya, takut aku tak bisa menepatinya. Biarlah semua menjadi kejutan, yang mungkin ia pun tak pernah mengiranya. Tapi, aku harap, ia belum berlumur rasa enggan jika aku tiba-tiba memberikan balas atas sapanya.

Tetiba aku dengar dering handphone-ku yang sudah seharian membisu. Aku membaca nama adik sepupuku, Tasya di layar handphone
"Halo," jawabku. 
"Kak, muungkin dua jam lagi aku sampai di bandara, jadi jemput aku kan?" celotehnya. 
"Haa?? Mendadak amat katanya weekend?" aku terbelalak, karena ia datang lebih awal dari waktu yang kami sepakati. 
"Iya, aku sudah dapat libur, dan tiket hari ini murah banget," Tasya berteriak dengan ceria. 
Aku? Yah, mau tak mau aku harus menuruti semuanya. Tasya, adik sepupuku, yang masih duduk di bangku SMP, yang ingin berlibur ke ibukota. Mengobati rasa kecewanya, karena gagal menonton sebuah konser boyband Korea idolanya. Aku tak tega mendengar tangisnya yang meronta, saat ia tahu, semua tiket telah habis terjual. Jadi, Tasya putuskan, untuk berlibur saja.

***

"Kak, besok pagi, kita jadi main ke Dufan kan?" tanya Tasya menjelang tidur.
"Iya, besok main deh sepuas kamu, makanya sekarang buruan tidur, biar gak kesiangan," jawabku.
"Ya kakak malah sibuk di depan laptop, kapan tidurnya, hayo?" tanya Tasya lagi.
"Iya, nanti kakak tidur, sekarang masih ada yang harus kakak kerjakan, oke," aku berharap argumenku kali ini bisa diterima Tasya. Aku rapikan selimut yang membungkus tubuh mungil Tasya, dan aku kembali asik di depan laptop, mencoba membalas dia yang memberikan aku sapa.

Tapi, sepertinya gagal, Tasya justru curhat tentang sekolah dan teman-temannya. Tasya juga meminta pendapatku tentang cita-cita yang dia punya. Aku merasa sangat wajib memberikan perhatian pada Tasya. Maka aku mendengarkan semua cerita Tasya, menikmati tawa kami berdua, sampai malam menjelang pagi. Dan, kami harus istirahat, berusaha lelap dalam tidur. Aku harus menepati janji pada Tasya, dan Dufan siap menyambut kami berdua.

***

Ah, belum juga aku bisa membalas sapa. Lalu, siapa yang masih harus menunggu. Aku tetap harus berusaha, mencipta "pertemuan" dengannya. Aku tak ingin menyia-nyiakan kehadirannya. Aku tak menepikan sapanya. Aku sungguh ingin membalasnya. Nanti, aku akan menjamu dia, dengan istimewa, menerima tawarannya untuk bermain di belantara imajinasi. Kembali memakna aksara dan terus bercerita. Inspirasi, maaf, aku sibuk. Aku, tetap selalu membutuhkanmu.... :)

 

Thursday, April 05, 2012

Apa Dong?


Keningnya mengerut, berkali-kali. Bibirnya maju, tak hanya sekali. Gemeretak keyboard seirama dengan tarian jemari Natasha. Fiuhhh... Tarikan nafas panjang, seperti instrumen yang setia mengiringi harinya. Lelah. Lahir dan batin, katanya.

Natasha berusaha menguatkan dirinya sendiri. Membiarkan telinganya tetap peka. Seolah tak memberi kesempatan sedikitpun pada konsentrasinya, untuk buyar. Setumpuk dokumen di hadapannya, harus segera dibereskan. Kerinduan mama yang tak mampu dibendung, tersinyalir dari dering telepon setiap saat... setiap waktu. Hampir menangis ketika Natasha tak mampu menjawabnya. Serta, menjumpa pelataran memorinya, yang siap menangkap sepenggal masa lalu yang tetiba menyapanya.

Ahh, ini apa? Bahkan berdiri tegak dari kursinya pun, berapa detik yang ia mampu? Hampir sebulan ia sendirian mencoba berdamai dengan keadaan. Semenjak dimutasi ke divisi baru, Natasha memiliki tanggung jawab yang lebih besar, dan kadang harus menghadapi klien yang cukup menyebalkan.  

Ringtone Back To December-Taylor Swift dari handphone Natasha pun tak berhenti. Natasha yang mulai jengah dengan suara, menyambarnya, lalu menjawab telepon dari seberang, "Halo, Ta'.." jawabnya. Gita, di seberang masih geram karena Natasha begitu lama menjawab teleponnya. "Ah, kamu ngapain aja sih, angkatnya lama bener. Buruan deh kesini, udah pada ngumpul....." Gita terus meracau tanpa peduli keadaan Natasha. Uuuppss... Ya... hari ini, Natasha ada janji dengan teman-temannya. Mereka cukup lama tak bertemu. Tapi, Natasha lupa. Benar-benar lupa. "Ta', sorry, mungkin aku gak bisa dateng. Kerjaan aku banyak banget deh ini," keluh Natasha. Suasana mendadak hening. Natasha memainkan pulpen dia tas meja dengan jari-jarinya. Ia menunggu jawaban Gita. Tapi, tak ada. Gita mendadak membisu.

Gita menarik nafas panjang. "Kamu masih mau berdalih kerjaan? Yaudah, kalau kamu lebih memilih menjadi diri kamu yang lain. Bukan yang kami kenal dulu...." Kalimat terakhir Gita sekan menghujam jantung Natasha. Bukan. Bukan itu yang sebenarnya dia mau. Natasha ingat, jadwal hari ini pun, banyak mundur juga karena semua menyesuaikan waktu dengannya. Tapi, kenyataannya apa? Tetap, Natasha tak bisa memenuhi janjinya.

Natasha ingin marah pada dirinya sendiri, yang mengecewakan mereka, sahabat-sahabat yang sangat berarti baginya. Aahhh... itu cukup membuat Natasha kesal. Sayangnya, Natasha belum mampu menerjemahkan perasaannya saat ini. Natasha ingin sendiri. Tapi.. kenapa ia bahkan tak mampu jujur pada sahabat-sahabatnya. Mungkin, ia bisa menceritakan semua masalahnya, seperti sebelum-sebelumnya. Ihhh... kadang Natasha pun jengkel, pada dirinya.

Seperti malam sebelumnya, Natasha menelepon mama dan bercerita tentang banyak hal. Tapi, semua itu tak juga menjadikan perasaannya lebih baik, sepenuhnya. Natasha masih merasa ada senyum dan tawa yang kadang kurang jujur tercipta. Kenapa Natasha? Pertanyaan itu muncul lagi, dari Natasha, untuk dirinya sendiri.

Natasha mencoba menutup satu memori, satu perasaan, yang ia pun tak mampu memahaminya. Sepertinya, ini hanya cerita lalu, yang sebentar menghampiri dan menyapanya. Bukan untuk tinggal, seperti sebelumnya. Natasha seperti menyusp ke dalam rimbunan rindu yang sesungguhnya, ia tahu, ini tak akan ada ujungnya. Yaaahhh..... Ini sangat mengganggu. Gumamnya. 

Sekali lagi, ia membaca satu pesan di handphone miliknya,

"Natasha, itu bukan cinta."

Sekali lagi, Natasha meringis. Lalu, "Apa dong....?" racaunya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.