gambar diambil dari sini
Malam ini aku tersenyum padamu.
Bermaksud menghiburmu. Aku menceritakan keadaanku yang baik-baik saja. Aku
terus berjuang melukis tawa di wajahmu seperti malam-malam sebelumnya. Sebelum
kemudian kamu melihatku dengan mata sendumu. Berlebihan mengkhawatirkan aku.
Rebahmu malam ini, masih dipenuhi
paksa memikirkan aku. Katamu, kamu tak ingin aku lagi-lagi sakit atau sekadar terluka. Aku
tertawa, tergelak. Kamu justru menatapku penuh heran. Kamu membebat tubuhmu
dengan selimut. Mencari kehangatan, pikirmu. Aku doakan saja, kamu bisa
mendapatkannya. Seharusnya, kamu tak perlu berlebihan memikirkanku. Berusaha
saja untuk lebih tenang. Sudah.
“Aku sekarang sudah cukup kuat. Tak
ada yang mudah membuatku sakit,” aku meyakinkanmu.
Kamu bangun, menegakkan punggungmu, bersandar pada dinding di tepi tempat tidurmu. Aku mengikuti gerak lesu tubuhmu yang berusaha kamu buat lebih kuat.
“Ah, tapi aku tahu betul, luka-lukamu
baru saja pulih. Bahkan bekas lukamu pun baru saja hilang. Bagaimana aku tidak
khawatir?” entah berapa kerut di dahimu yang terlihat kali ini.
Aku menghela nafas panjang. Harus
kukatakan apalagi padamu. Setidaknya, aku akan membantumu mengendalikan semua situasi
yang kamu hadapi saat ini. Seharusnya kamu tahu, saat ini aku butuh lebih
tenang, memiliki lebih banyak ruang yang dapat membantumu menentukan
pilihan-pilihan itu.
Aku pun selalu mengatakan padamu,
turuti saja kataku, jangan malah membelengguku. Itu hanya akan membuatmu
bertambah pusing. Kadang, aku merasa kehati-hatianmu justru membuatmu lebih
suka terpeluk takut daripada membebaskan aku yang ingin mengantarkanmu kepada
kebahagiaan yang kamu impikan. Pun denganku.
“Aku tak punya niatan untuk membelenggumu,”
katamu tiba-tiba.
Aku membiarkan jeda yang ada. Aku
akan memberikan kesempatan padamu untuk bicara. Mungkin dengan begitu, aku pun
bisa lebih memahamimu.
“Kamu ingat, betapa aku riuh dengan
diriku sendiri saat berjuang menyembuhkanmu. Membasuh luka-luka yang masih
basah dan terus menganga. Aku tahu, itu perih. Aku selalu menangis saat
melihatmu menahan sakit, yang kadang datangnya tiba-tiba. Aku tak mau itu
terjadi lagi padamu,” di pelupuk matamu menggenang air mata yang aku tahu, kamu
tahan.
Aku berdehem. Meminta sedikit
perhatianmu. Menghentikan langkah ingatanmu yang kuanggap tengah memutar waktu kembali
ke masa lalu.
“Dengar, aku tak sebentar bersamamu.
Aku selalu denganmu, sepanjang hidupmu. Aku cukup mengenalmu. Bukankah sudah
seharusnya kita saling mengenal dengan baik?” kamu terdiam, meringkuk memeluk
kedua lututmu.
Kamu ingat, saat kita bersama-sama mengadu kepada Sang Maha Cinta? Kita bersama-sama bersimpuh, berbincang dan memohon kepada-Nya. Menginginkan pelukan yang tak akan pernah lepas. Menginginkan dekap yang tak pernah berjarak. Itu yang selalu kita ikatkan. Untuk aku dan kamu. Bagiku, itu sudah cukup membuatku lebih mengerti dan menjauhi rasa takut.
Setidaknya, kali ini aku ingin memberitahumu, bahwa bersamamu menjalani setiap waktu, aku selalu belajar. Darimu, dari semua
kejadian yang menimpamu. Aku belajar lebih kuat, aku tak ingin terus-terusan
manja, selalu ingin dikasihani, dijaga dan tak boleh terluka sedikit pun.
Aku bukan seperti itu Aira. Semakin
kamu mengajakku berjuang, semakin aku berteman dengan semangatmu, aku pun
semakin tangguh. Aku tak peduli lagi dengan luka-luka yang dulu. Aku biarkan
semuanya meluruh dan sembuh. Itu karena aku menghargai setiap kerja kerasmu.
Tapi kamu harus ingat, yang aku mau,
kamu memeluk semua yang menjadi hakmu, kebahagiaanmu. Aku harap, kamu mau
mendengarkan aku, hatimu. Jatuh cinta lah, Aira.
*ini ditulis untuk menjawab tantangan menulis cerita dengan POV1. Tetapi, tetapi, kenapa rasa-rasanya jadi POV2? *ngakak guling-guling*
2 comments:
*speechless* Kereeeen badaaaaai!! Saya memang harus lebih banyak belajar dari Kakak-kakak semua ^^
Terima kasih Dicta.. :) Aku juga masih harus banyak belajar.. :D Semoga kelas menulis selalu membantu kita untuk menulis lebih baik.. ;)
Post a Comment