gambar diambil dari sini
Bayu terdiam menatap langit-langit kamarnya. matanya tak bisa terpejam, secepat biasanya. Masih terngiang kata-kata ibu tadi sore. Hari Minggu ini aku harus ikut ke Jombang. Mengunjungi relasi ayah, yang katanya pula aku akan dijodohkan dengan seorang putrinya. Aku pernah bertemu dengannya, sekali. Dinar namanya. Cantik memang, berhijab, pun ia gadis yang santun, lagi pandai memasak, kata ibuku.
Bayu mengerjap-ngerjapkan matanya seolah melihat sesuatu yang tak ia duga. Lagi, bayangan tentang Galuh menghampiri. Ya, Galuh. Sampai kini pun entah apa yang harus ia terjemahkan tentang perasaannya kepada Galuh. Ia sederhana dan memiliki makna yang luar biasa. Ah, terlalu subyektif, batinnya. Namun, kadang begitulah cinta. Menjelmakan pesta semesta di setiap cerita, meski luka kadang menjadi sekat yang sedikit menyiksa.
Sekali lagi ia meyakinkan dirinya, Galuh akan menjadi milik pemuda lain, yang memang telah Tuhan kirimkan untuknya. Tak hendak Bayu lupakan Galuh begitu saja. Meski tak sedikit gadis-gadis yang datang menyapa kehidupannya. Ini, kali ke-tiga pun ibu menjodohkan aku dengan gadis yang lebih dulu dikenalnya.
***
Jombang. Pukul delapan malam Bayu dan keluarganya berpamitan, meninggalkan rumah Dinar. Tak banyak yang Bayu bicarakan dengan Dinar. Bahasa Bayu, ia tak temukan chemistry. Ia tak bisa tertawa lepas seperti ketika Galuh ada di dekatnya. Tak pula dengan gadis-gadis lain yang sempat dengannya. Mungkin Bayu sudah terobsesi. Mungkin.
***
Pagi ini aku berangkat ke Jakarta. Dua hari aku tugas di sana. Boleh kita ketemu?
Galuh membaca pesan singkat Bayu. Ia tergagap. Belum genap matanya terbuka. Tubuhnya kembali lunglai ketika mengingat pertemuan terakhirnya dengan Bayu waktu itu. Bayu telah meyakini bahwa dirinya akan benar-benar menikah dengan Ikram. Ia tak berani mengatakan kepada Bayu bahwa dirinya sungguh tak bisa menerima Ikram. Ikram baik, namun mungkin belum tentu sekarang. Galuh belum sekuat itu berjuang untuk masa depannya dengan Ikram.
Galuh bingung harus memberikan jawaban apa kepada Bayu. Saat ini ia bebas bertemu siapa saja. Galuh menyudahi semua komitmen yang pernah ia bangun bersama Ikram. Galuh mengaku kalah. Namun ada ketakutan yang entah dari mana asalnya. Ia takut tak ada lagi kemungkinan untuknya menyatu kembali dengan Bayu.
Hari ke-dua Bayu di Jakarta. Galuh tak juga memberikan kesanggupan bertemu dengan Bayu. meski ia tahu, ia sungguh ingin menatap lagi mata Bayu lekat-lekat, menemukan dirinya jauh di dalam tatapannya. Sangat dalam. Mengulang lagi tawa-tawa yang mengalir begitu saja diantara mereka bersama semesta.
Aku pulang malam ini. Pesawat jam sembilan. Mungkin sore aku berangkat ke bandara.
Sekali lagi, Galuh hanya memandangi layar ponselnya dan membaca pesan Bayu berulang-ulang. Ya, berulang-ulang.
***
Bayu meminta sopir taksi berhenti sebelum memasuki tol menuju arah bandara. Tetiba terbesit untuk menemui Galuh di kantornya. Tapi kemudian Bayu mengurungkan niatnya. Ia memilih melanjutkan perjalanannya menuju bandara.
Galuh cepat-cepat membereskan barang-barangnya, dan pulang tepat waktu. Entah bagaimana ia menata perasaannya yang kemudian memutuskan untuk menyusul Bayu ke bandara. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Terpenting, adalah berdoa bisa bertemu Bayu. Cukup.
Kamu di terminal berapa?
Bayu yang sudah sampai di bandara, baru saja sempat membaca pesan Galuh yang dikirim 45 menit yang lalu.
Terminal 1B
Bayu membalas cepat. Kemudian ia sengaja keluar, menuju ruang tunggu. Ia berharap, Galuh benar-benar datang, menemuinya.
Bayu menatap jam tangan. Jam enam lebih sepuluh menit. Ia belum sholat maghrib. Ia pun bergegas menuju musholla bandara. Tak lupa, ia sempurnakan doa.
Kembali dari musholla, Bayu melihat sosok yang dikenalinya. Galuh, ya, itu dia.
"Galuh", Bayu setengah berteriak.
Pemilik nama seketika menoleh. "Bayu", Galuh tergagap. Terkejut, Bayu telah ada di depannya sekarang.
Tak banyak bicara, Bayu mengajak Galuh menuju ke sebuah tempat makan cepat saji. Mereka duduk berhadapan. Saling diam. Saling menatap. Saling diam, menatap, begitu seterusnya
Bayu berdehem, memecah kesunyian tempat makan yang hanya diisi kira-kira lima orang pengunjung itu.
"Kamu lagi sibuk ya?" tanya Bayu memulai percakapan.
"Maaf, aku...." Galuh tergagap.
Sebelum Galuh mampu melanjutkan kalimatnya, Bayu mengangguk-angguk, seakan mengerti.
"Sudahlah, kita tak punya banyak waktu. Aku hanya ingin tahu kabarmu", katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih Bay, kamu masih memedulikan aku", balas Galuh.
Hening sejenak, hingga kemudian Bayu menarik nafas panjang dan bertanya, "Jadi, kapan kamu dan Ikram..... menikah?".
Galuh menatap Bayu dengan matanya yang sayu. Perlahan ia menggeleng. Banyak yang ingin ia katakan, ia ceritakan. Namun tak satu kata pun mau menyatu dengan suaranya.
"Galuh, kamu? Kamu nggak jadi menikah sama Ikram?" Bayu pun mulai tergagap.
"Aku nggak bisa membohongi diriku sendiri, Bay... Ikram bisa menerima semuanya. Aku pun katakan padanya, ia tak perlu bersusah payah menungguku. Aku siap dengan semua yang harus menjadi konsekuensinya", cerita Galuh.
Kemudian, Bayu memberanikan diri untuk menceritakan tentang Dinar. Ia ingin tak ada lagi yang ia sembunyikan dari Galuh. Bayu tak sanggup sekali lagi kehilangan Galuh. Selama ia masih mampu berjuang, ia akan lakukan itu.
Bayu kembali sanggup tertawa, memendar tatapannya mencipta semu merah di pipi Galuh. Ada tenang diantara mereka. Menggurat sisa senyum senja. Kembali mereka menyusun impian-impian yang nyaris mereka musnahkan. Tak ada yang tahu dengan ketentuan Tuhan.
Bayu mengambil pulpen dari sakunya, kemudian menyobek selembar kertas dari agendanya.
10-11-12 <3 i="i">3>
Tulisan di kertas itu, terlihat jelas. Artinya tanggal sepuluh bulan sebelas tahun dua ribu dua belas. Bayu menyodorkan kertas itu kepada Galuh.
"Kamu boleh merencanakan dan membuat semuanya menjadi hal yang paling kamu suka. Disana, nanti ada kita, berdua".
Galuh tak bisa menahan rasa yang terus menderak-derak ingin diungkap. Ingin rasanya memeluk pemuda di depannya saat ini. Galuh mencoba mengendalikan dirinya. Bersabar atas inginnya. Hingga semua luapan itu berganti buliran air mata yang jatuh membasah pipinya bersama senyum yang tak kehilangan pendar.
Bayu memberikan tissue agar Galuh menghapus air matanya. Bayu menemani Galuh tersenyum. Bahkan ia menghadiahkan satu tawa suka.
"Terima kasih Galuh".
"Kita harus berterima kasih kepada Tuhan, Bay. Tuhan yang telah mengembalikan kebersamaan kita. Semoga tetaplah menuntun sampai terwujudnya impian kita".
Bayu melirik jam tangannya. Sudah saatnya ia melanjutkan perjalanan. Membawa pulang tawa untuk kemudian menjemput impian.
Galuh melambaikan tangan kepada Bayu yang punggungnya beranjak jauh.
Galuh melangkah sambil menahan senyum yang sungguh ingin ia luapkan saat itu juga. Ia pulang. Begitu pun perasaannya, telah pulang, pada hati yang membuatnya nyaman.
No comments:
Post a Comment