Saturday, November 17, 2012

Cerita Putih


gambar diambil dari sini

Putih menyapa pagi dengan senyum sebaris gigi. Ia melangkahkan kaki-kaki mungilnya dengan semangat sambil menari-nari. Sesekali ia berhenti mengelus dedaunan yang masih basah oleh embun pagi. Seperti biasa, ia akan menjadi penghuni taman seharian. Menyiram bunga dan membersihkan sampah-sampah yang turut membalut hamparan rumput. Dan, Putih selalu senang melakukannya.

Tetiba ada yang membuatnya heran ketika sedang sibuk memberi pupuk bunga-bunganya. Putih bangkit dari tempatnya berjongkok. Ia tak melihat bayangannya seperti biasa. Ah, kemana matahari, kenapa tiba-tiba pergi? Putih membatin. Lalu ia melepas topi berkebunnya dan mendongakkan kepalanya ke langit. Ia hanya mendapati langit yang beranjak gelap. Awan-awan yang tadi pagi begitu cerah, sekarang berubah kelabu. Tak lama, titik gerimis jatuh menyentuh tubuhnya.

Putih membereskan semua perangkat berkebunnya, membawanya ke tepi. Ia pun duduk di bangku dalam saung. Putih duduk bertopang dagu di pinggiran saung. Putih menyukai hujan, tak jarang ia membiarkan tubuhnya basah dipukul-pukul air hujan yang menderas. Justru ia tertawa-tawa, bahagia. Menari-nari dalam hujan. Namun, kali ini, ibu melarangnya bermain hujan. Tubuhnya sedang lelah pada hujan. Ibu bilang, Putih hanya boleh menikmati hujan dari jauh. Ya, asalkan Putih masih bisa mencium harumnya tanah yang dipeluk hujan, tak apa.

Terlintas dalam pikiran Putih, apakah semua akan bahagia dengan datangnya hujan? Seperti dirinya? Apakah semua akan mampu menari dan tertawa dalam hujan? Seperti dirinya? Apakah semua akan tenang ketika membaui tanah basah karena hujan? Seperti dirinya?

Langit berkali-kali mengirim gelegar dan kilatannya. Seakan sedang ada yang mengehentak-hentak dan meronta di atas sana. Semakin gelap, hujan semakin deras dan semua menjadi dingin.

“Jadi kapan dia akan kembali ke peraduan?” tanya Matahari kepada Langit tentang Hujan.

Langit hanya diam. Tetap tak memberikan jawaban. Ini sudah kali ketiga Matahari bertanya kepadanya. Seolah tak peduli, Langit justru menghindari Matahari yang terus mengejarnya.

“Jadi kau sengaja membiarkannya bermain lama-lama?” Matahari mulai menggunakan nada tinggi.

Langit spontan mengerutkan dahinya. Bersamaan dengan itu, kembali terdengar gelegar bersahutan dengan kilat.

“Jadi benar kau tak ingin menghentikannya barang sebentar, saat senja?” Matahari terus memberondong Langit.

“Hahahahaha” Langit justru menertawakan pertanyaan Matahari.

Matahari semakin geram. Hari ini, ia sedang merindukan Bulan dengan sangat. Ia ingin memberikan kejutan kepada Bulan. Ia tahu, pertemuannya dengan Bulan hanya bisa dilakukannya ketika senja. Pertemuan yang selalu dapat dinikmati semesta. Ia dan Bulan meyakininya. Namun, hari ini? Apa yang bisa ia lakukan, tak ada. Langit tak mau berpihak pada kebahagiaannya, meski hanya sesaat.

Entah dalam rentang berapa jauh, ada yang mengisak, menahan tangisnya agar tidak meledak. Di luar peraduannya, terlihat masih sangat gelap. Gemuruh kilat, bergantian. Ia pun masih bisa mendengar jelas riuh hujan yang berlarian ke bumi. Kali ini Bulan hanya bisa menyepi sendiri. Jika hingga senja, hujan tak reda, ia khawatir, tak ada pertemuan dengan Matahari. Dalam gelap, ia tak akan bisa melihat senyum Matahari, yang terurai sesaat. Serta tawa lepasnya di langit. Menjemputnya dari peraduan. Membuatnya bersemangat menemani malam. 

Putih merunduk, membayangkan kesedihan Matahari dan Bulan. Mereka yang selalu ia sapa kehadirannya. Dan mungkin ketika hujan, justru tak sebahagia dirinya. Tuhan memberikan beranda tempat pertemuan mereka. Senja, yang selalu menemaninya pulang ke rumah. Menyusut peluh-peluh lelah.

Namun, ketika hujan, apa yang bisa ia lakukan? Putih hanya bisa dipeluk dingin dan mungkin juga basah. Tapi, ia tak lagi bisa menikmati tawa langit yang jingga, seperti biasa.

Aku harap, kalian tak membenci hujan. Mungkin itu rindu langit kepada bumi. Mereka hanya punya hujan untuk saling berpelukan. Seperti kalian, yang selalu berbagi tawa, kala senja. 

Putih tersenyum seraya mengirmkan pandang ke langit luas. Tak pula remeh pada hujan. Ia merasa ingin memeluk semuanya. Semua, yang tengah saling merindu. Putih akan tetap menikmatinya. Apa pun, rasa dari semesta.








No comments: