Monday, November 05, 2012

Sampai Jumpa Bayu (3)



gambar diambil dari sini


Semangat menyeru tak berkesudahan. Membumbungkan rindu-rindu mewujudkan satu impian yang berdua idam-idamkan. Itulah Bayu dan Galuh saat ini. Saat senangnya menanti. Mulai meniti hari dengan saling menghadiahi senyuman.

Rencananya bulan depan Bayu akan mengajak kedua orangtuanya untuk datang ke rumah Galuh. Ya, Bayu ingin secara resmi melamar sang pujaan hati.Tak ada lagi yang ia pikirkan selain mewujudkan impiannya bersama Galuh. Membangun keluarga yang bahagia, ya, sudah sampai disitu yang Bayu pikirkan, Bayu bayangkan, dan ingin menjadikannya kenyataan.

"Bayu, kamu sudah sudah yakin dengan Galuh?" tanya ibu tiba-tiba.
"Sudah, memangnya kenapa, Bu?" Bayu mmerasa ingin tahu.
Ibu terdiam, kemudian menggeleng.
"Ibu kenapa? Ibu katakan saja, aku nggak apa-apa kok.." bujuk Bayu kepada Ibu.
Ibu menarik nafas. Duduk di sebelah Bayu yang sedang asyik chatting dengan Galuh melalui sebuah messanger.
"Kalau ibu masih gamang, Bay. Entah kenapa, maafkan ibu ya, Nak..." ucap ibu sambil menepuk bahu Bayu.
Bayu terdiam, merunduk, mengalihkan perhatian dari laptopnya. membiarkan sekian pesan masuk dari Galuh tak terbalas.
"Hmmm, karena keluarga kita ya Bu?" tanya Bayu.
"Salah satunya, Nak. Sekali lagi maafkan ibu". Ibu meninggalkan Bayu sendirian.
Bayu membaca serentetan kalimat di kotak chattingnya dengan Galuh. Emoticon-emotico suka, tawa, bahagia, bertaburan disana.

Seketika jemari Bayu kaku. Tetiba terpikir dalam benaknya, ia takut memberi khayalan yang terlalu tinggi tentang dirinya dan Galuh. Ia tak ingin dianggap sebagai pembual. Bayu tak tahu lagi harus melakukan apa. Adakah satu hal yang bisa membantunya memecahkan masalah peliknya. Ya, keluarganya. Tentang prinsip keluarganya yang berat untuk ia lawan. Berkali ia memilih jalan tengah, membicarakan baik-baik. Nyaris ia berhasil mewujudkan impiannya. Tapi, ibu memberikan rambu-rambu yang membuat Bayu harus berpikir ulang.

Sesungguhnya, tak ada hal lain yang ia pikirkan selain tentang dirinya dan Galuh di masa depan.

Ada yang tertahan, hmmm.. ditahan tepatnya. Ada pikiran yang mulai mengacau di kepala Bayu. Ia tak ingin Galuh menerima perih kembali seperti dulu. Sungguh ini bukan sekalinya Bayu mengatakan pinangannya kepada Bayu. Sejak Galuh masih menjadi milik orang lain pun, Bayu telah berani mengatakannya. Seperti ada yang mendesaknya, Bayu sangat yakin kepada Galuh. Namun, baru kali ini Bayu memiliki kesempatan terbaik bersama Galuh. Tanpa ada keberpihakan siapa-siapa tentang rasa. Baru kali ini, berdua sama-sama meyakini untuk bersama.

***

Galuh sedikit kesal, semakin sering Bayu mengelak berbicara panjang melalui telepon, terutama tentang rencana mereka. Sering pula, Galuh harus berdiam memberikan kesempatan Bayu untuk berpikir, menenangkan diri katanya.

Hingga Galuh merasa lelah. Ia berusaha memercayai bahwa ini sungguh cobaan yang nanti, akan ada ujung yang menyenangkan.

Penundaan kedatangan keluarga Bayu ke rumah Galuh mulai membuat Galuh tak tenang. Ia ingin berbicara serius tentang semua itu dengan Bayu. Lagi-lagi, Bayu belum punya waktu. Ingin rasanya Galuh pergi menghampiri Bayu. lagi-lagi, Bayu melarang.

Bersabar, belajar lebih dewasa, begitu katanya. Galuh menurut, meski sedikit terpasa. Ia hanya tak ingin, masalah semakin berlarut-larut.

***

Minggu ini, Bayu datang ke Jakarta, memaksa untuk datang ke tempat kos Galuh. Galuh mengiyakan, meski sederet pertanyaan muncul di kepalanya.

"Aku harap ini kejutan. Kejutan terbaikmu, setelah tentang bandara waktu itu", ucap Galuh setelah berapa lama Bayu berdiam di hadapannya.
Bayu merunduk, lesu. Matanya berubah sayu. Bibirnya setengah bergetar.
"Bay", panggil Galuh lemah.
Bayu mengangkat wajahnya. menatap gadis yang ada di hadapannya dengan jantung yang tak sanggup ia atur degupnya.
"Galuh...."
Entah kenapa air mata tak sanggup Galuh bendung, ada sesak yang tak sanggup ia tahan. Semua kesahnya membuncah. Seakan ingin mengajaknya berteriak, sekeras-kerasnya.

Belum lagi Bayu mengungkap apa yang harus ia ungkap, ia harus menyaksikan Galuh yang mulai sesenggukan.
"Kamu nggak usah ngerjain aku kayak gini deh. kamu mendingan bilang semuanya. sebenarnya ada apa?" Galuh berucap diantara isakannya.
"Maaf Galuh. Aku dihadapkan pada pilihan yang aku sendiri tak bisa memahaminya"
"Apa? Ibumu? Keluargamu", Galuh semakin tak mampu menahan sesak yang terus menderak.
Bayu merunduk.
"Bukankah saat itu aku sudah bilang tentang masalah itu. Tapi, kamu bilang semua bisa beres... Bayu, aku serius sama kamu..."

Bayu berusaha menenangkan Galuh. ia ceritakan semua , tanpa mengurangi tanpa melebihkan. ia tahu, Galuh memiliki rasa tulus yang luar biasa. Ia gadis yang kuat. Bayu pun tak sanggup menetapkan satu pilihan yang sungguh tak menjadi yang ia inginkan.

Isakan Galuh mereda. Seketika ia tak sanggup memahammi takdir Tuhan. Entah ia yang tak punya pengalaman atau ada sesuatu yang ia biarkan menguasai tanpa peduli pada cerita-cerita kecil Tuhan.

Perlahan Galuh menganngguk. Ia berusaha tegar dan tegak dengan segala kenyataan. Menyesap kembali perih-perih yang pernah menghampiri.
"Akan lebih baik kalau kamu menuruti semua saran ibumu, keluargamu. Aku tahu Tuhan itu Mahaadil".
"Boleh aku bertanya sedikit, Luh?"
Galuh mengangguk.
"Bukankah ibu Ikram begitu menyayangi kamu. Kenapa kamu bertahan dengan pilihanmu sendiri?"
Galuh terdiam. Semburat resah melesat diantara sesak dadanya. Menubruk satu ego yang mati-matian ia pertahankan.
"Galuh, ini pelajaran untuk kita. Tentang takdir Tuhan", ucap bayu pelan.

Seperti yang pernah kita ungkapkan. Kita harus berani merelakan. Menerima setiap jejak yang telah diatur oleh Tuhan. Mengecup semua hadiah dengan kerelaan tentang sebuah perpisahan.
Tak ada yang perlu diagungkan, ketika semua telah sampai pada masanya. Tak ada yang perlu disesalkan, ketika semua telah sampai pada usainya.

Aku diam. Mengingat satu janji yang pernah aku kait dengan senyum Bayu. Bayu yang kemudian harus aku relakan dengan pilihan Tuhan.
Dinar namanya, yang aku sendiri belum pernah mengenalnya. Aku relakan Bayu dengan segenap keteguhannya, untuk dia.










No comments: