Ibuuuuuuuuuuuuu......
Aku berteriak riang.... apa ibu mendengarnya? Semoga ibu mendengarnya.
Meski aku berteriak dengan rajutan aksara ini :) Hari ini ibu sibuk apa?
Sepertinya sudah lama kita tak saling bercerita. Tapi aku sungguh suka,
libur akhir tahun kemarin bisa aku luangkan lebih banyak untuk
bercerita dengan ibu. Merangkum semua perjalanan yang kita lalui.
Membaginya dalam tawa meski duka sedikit menyisip di dalamnya.
Aku
ingat, saat pertama kali aku menulis surat untuk ibu dengan sendirinya,
bukan untuk membalas surat yang selalu ibu kirim kepadaku setiap
bulannya. Ya, tinggal berjauhan membuatku terbiasa dengan bahasa-bahasa
tulis daripada lisan. Aku tak begitu pandai bercerita saat menjawab
telepon dari ibu yang seminggu sekali itu. Hmmm... waktu itu aku masih
duduk di bangku SMA, aku merasakan rindu yang teramat sangat. Aku
menulis cerita berlembar-lembar dan membubuhkan nama lain setelah
tandatanganku. Nama itu, Martina Cannavaro. Nama yang kemudian membuat
ibu penasaran dan aku merasa semakin diperhatikan. Mungkin, saat itu,
yang ada dalam pikiran ibu, aku sudah bukan anak yang bersikap dingin.
Lebih bisa menyampaikan yang dirasa, yang dipikirkan dan disukai. Bukan
lagi anak gadis ibu yang lebih suka menutup diri dari orang lain,
termasuk dari ibu.
Perlahan memang semua berubah, aku pun
merasakannya. Ada kehangatan yang sejujurnya aku rindukan. Ya, aku
merindukan masa-masa itu sebelumnya. Aku sendiri sebenarnya tak tahu,
bagaimana semua bisa dimulai. Mulai banyak hal yang selalu ingin aku
bagi dengan ibu. Termasuk rahasia-rahasia kecil yang aku punya... :D
Hingga
sekarang, aku pun merasa senang bisa menjadi pendengar untuk
cerita-cerita ibu. Bahkan berbicara di telepon sudah membuat aku
ketagihan. Maaf jika dulu, aku tak begitu menikmati pembicaraan kita di
telepon. Aku sendiri tak tahu, tapi sungguh, aku tak pernah punya
keinginan untuk tumbuh menjadi gadis kecil yang dingin, yang cerianya
hanya dibagi sesuka-sukanya. Terlalu egois ya, padahal jika aku mau
ceria kapan pun pasti bisa menghibur ibu yang lelah sepulang kerja.
Tapi
lihatlah, sekarang, jika aku pulang ke rumah, dan ada ibu di sana, aku
memilih untuk setiap hari ada di rumah. Selalu rela berangkat
siang-siang hanya untuk menamatkan cerita yang diiring jeda tidur
malam... :) Sekarang, ibu selalu tahu cerita tentang aku. Tak lagi
menebak-nebak, meski aku tahu, naluri ibu lebih kuat dari itu.
Terima
kasih atas semua kasih sayang yang ibu beri. Aku tahu, ibu memang sosok
yang pendiam dan tak banyak bicara. Tapi denganku, ibu selalu berusaha
banyak bercerita dan bertanya. Mungkin dulu aku yang tidak peka,
sehingga selalu bercerita seadanya. Tak merasakan kehangatan yang
sejatinya aku rindukan. Tuhan sayang kepada kita, membukakan kesempatan
untuk saling dekat. Mmm... yang ibu perlu tahu, sesungguhnya aku ingin
selalu menjadi sahabat, untuk ibu.
Diam-diam begini, aku selalu
memperhatikan setiap langkah ibu, pengorbanan ibu, yang aku tahu, aku
ingin tegar seperti ibu. Ingin sabar dan kuat seperti ibu. Ingin setia
seperti ibu. Sampai hari ini, ibu tak pernah lelah menjaga aku,
adik-adik dan juga ayah. Keluh dan peluh menjadi pengikat kasih yang
lebih hangat. Terima kasih masih sabar menunggu kebahagiaan yang pasti
sudah dinanti-nantikan.. ;) Doa ibu semakin menguatkan aku, meyakinkan
aku. Suatu kali, kita akan menikmati kebahagiaan itu bersama-sama. Yaa..
sesuatu yang sering kita bicarakan sebagai rahasia kecil kita... Aku
selalu melukis senyum kecil sendirian ketika mengingatnya. Nanti
yaaaa... segera... semoga segera Tuhan hadiahkan kepada kita... Aku yang
akan menggenapkan kebahagiaan menjadi perempuan sempurna seperti ibu..
;)
Selamat menikmati hari-hari ibu... Tersenyumlah selalu. Di sini, aku pun...
Hai Wira Triasmara... Semoga kamu selalu dalam keadaan baik yah.. meski mungkin, tadi pagi sempat menikmati kemacetan yang dipersembahkan ibukota... hehehe...
Ini adalah surat ke-dua yang aku tulis untukmu. Ya, yang pertama adalah pada event yang sama di tahun lalu. Aku sendiri tak punya pilihan lain. Sampai hari ini belum ada selebtwit lain yang membuat aku jatuh cinta seperti kepadamu... Entahlah.. Meski sungguh, aku jatuh cinta bukan karena sosokmu di dunia nyata. Aku merasa apa-apa yang ada dalam rasa dan juga pikiranku tersampaikan atas tulisan-tulisanmu. Baik di linimasa atau pun dalam karya-karyamu, termasuk wira allstar-nya yaaa... :D
Istimewanya adalah sebagian besar linimasa kamu :) Tidak terlau berat, tidak terlalu ringan. Aku rasa, kamu tidak pernah mengada-ada. Begitu yang kemudian terpikir olehku. Maka, aku selalu menikmatinya. Tak jarang aku me-retweet atau sekadar manggut-manggut dan mengikik sendirian setelah mengikuti linimasamu.
Oh iya, maaf yaa... karena terlalu sering mengikuti linimasamu, aku sempat cemburu, sungguh-sungguh cemburu. Ketika kamu begitu sering menulis tentang pacar barumu. Aaaahh... aku sendiri pun tak tahu, kenapa harus merasakan cemburu itu. Mungkin karena ilmu yang disukai pacar kamu, sama dengan yang aku suka... haha.. atau ada hal lain yaa... aahh sudahlah... yang penting sekarang aku tak lagi seperti itu.. XD
Semoga kalian langgeng, bisa segera sah... dan bisa menikmati menjadi pasangan serasi sampai kakek nenek.. aamiin...
Aku bahagia kok, kamu tak lagi menjadi Ksatria Patah Hati. Karena kutahu, kamu adalah Ksatria Penuh Kasih. Pasti pacar kamu senang bisa punya pacar yang perhatian dan pengertian seperti kamu.. :P
Terima kasih ya sudah menawarkan rasa linimasa yang berbeda untukku. Semoga suatu waktu bisa menjadi kenangan yang menyenangkan.. :)
Dering telepon yang cukup kencang dan berkali-kali pun tak juga membuat Raras bangun dari tidur pulasnya. Baru dua jam lalu ia bisa memejam. Suhu tubuhnya serius menuju empat puluh derajat celcius. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring di tempat tidurnya. Mengangkat kepala pun dirasakannya sangat berat. Ketika membuka mata, ia justru merasakan sakit yang berlebih, bahkan untuk menelan ludahnya sendiri.
Ibu yang sejak tadi menelepon Raras semakin dibalut rasa khawatir. Tak biasanya Raras tak mengangkat telepon ibu yang berkali-kali. "Yah, Raras kenapa ya? Ini dari semalam loh Ibu telepon dia nggak pernah angkat. Dan ini nyambung loh, berarti kan handphone-nya bukan sedang mati kan?" kekhawatiran ibu semakin memburu. Ayah mengernyit, melipat koran yang sedang dibacanya. "Mungkin dia nggak dengar.. coba saja lagi nanti," komentar Ayah tak juga membuat Ibu lebih tenang.
Ibu terus berusaha menelepon Raras, mencari jawaban atas kekhawatirannya. Ibu tahu, di tempat kosnya, Raras sendirian. Apalagi di akhir minggu seperti ini. Teman-temannya banyak yang pulang ke rumah masing-masing. Pastilah Raras lebih sering sendirian. "Kalau begitu, ibu akan pergi mengunjungi Raras ya, Yah.." tiba-tiba ibu bersemangat dengan keinginannya. Kalau sudah begini, ayah tak bisa berbuat apa-apa.
Dingin membalut malam dengan gagahnya. Seperti pelukan yang enggan terlepaskan membuat tubuh Raras semakin menggigil, dan terus memanggil-manggil ibunya dengan terbata-bata. Mungkin ini rasa rindu yang telah ia redam terlalu lama. Banyak cerita yang tertahan, yang seharusnya bisa ia bagi dengan ibu. Namun entah, kemana perginya kesempatan, hingga membuat Raras memilih meredam semua inginnya, menyekat segala rasanya untuk menemui ibu. Hanya ingin menjadi dewasa dan mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri saja. Namun, semua justru mengatupkan segala pikiran-pikiran jernihnya. Justru membuatnya semakin lekat dengan pusing, sendirian.
Tok tok tok..
Terdengar pintu kamar yang diketuk dari luar. Semakin keras dan semakin keras. Berada diantara mimpi dan kenyataan Raras berusaha membuat tubuhnya bangkit. Namun tetap saja gagal. Ia justru terbatuk-batuk. Semakin membuat dadanya sakit.
"Nak, ini ibu. Kamu sakit? Bukalah pintunya,"
Dengan tetap dalam bebatan selimut, Raras berusaha berjalan menuju pintu dan membuka pintu kamar. Tubuhnya yang lemah tak bisa ditopangnya sendirian. Baru saja pintu terbuka, Raras sudah nyaris ambruk. Ibu yang terkejut dengan sigap memapah tubuh Raras kembali berbaring di tempat tidurnya. Ibu bisa merasakan suhu tubuh Raras yang meninggi. Wajah Raras yang pucat ingin sekali tersenyum atas kedatangan ibu yang begitu ia tunggu. Ia rindukan pelukannya. Dan entah bagaimana akhirnya kini berada di hadapannya dan mendekapnya.
Raras membuka mulutnya pelan-pelan. Sup buatan ibu selalu menjadi obat paling mujarab ketika ia sakit. Kehadiran ibunya lebih dari sekadar kehangatan yang ia butuhkan. Genggaman tangan ibu yang mengusir semua kelelahan. Kelelahan yang membuat tenaganya nyaris lenyap. Bahkan membuka mata pun seakan tak ia sanggupi.
Aruna tak ingin melepaskan genggaman ibunya. Ia ingin Kirani tak pergi lagi darinya. Aruna tak bisa menerima perpisahan ayah dan ibunya. Jauh dari ibu berarti membuat Aruna tak bisa menikmati hari-harinya. Melemahkan semangatnya. Tak ada alasan yang membuatnya tersenyum setiap hari. "Ibu jangan tinggalin Aruna lagi," ucap gadis itu pelan. Kirani mencium kening putri semata wayangnya. Air matanya menetes. Mengungkap bahwa bukan inginnya membiarkan Aruna sendirian.
"Tak ada ibu yang membiarkan anaknya sakit sendirian, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Cerita sama ibu, tak ada yang bisa menyekat segala firasat ibu tentang kamu," Raras bangkit, memeluk erat ibunya. Membiarkan air matanya banjir di bahu ibunya. Melepas segala kesal di hatinya. "Ras, kamu pasti kuat. Pulanglah ke rumah jika memang kamu ingin." Raras menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia masih belum sanggup menerima pria yang harus ia sebut ayah. Pria yang memutuskan menikahi ibunya sejak enam bulan lalu. Menggantikan tahta ayahnya yang berpisah dengan ibunya empat tahun lalu.
Hujan turun begitu derasnya. Menyamarkan isakan kerinduan. Kerinduan yang kemudian terbayar atas naluri sang ibu. Mengeratkan pelukan dalam dingin yang semakin menusuk. Perlahan mencipta kehangatan dan senyuman yang telah lama sama-sama mereka nantikan, setelah beratnya sebuah perpisahan.
*Cerita ini ditulis sebagai replika cerita Semesta Rasa
Apa kabar ayah Senin ini? Semoga ayah selalu bersemangat menjalani hari. Maaf ya.. kemarin pulang hanya sebentar dan terlalu banyak alasan. Tak bisa menemani ayah makan bersama seperti hari libur-hari libur sebelumnya. Hehe.. aku sedang menyembunyikan sesuatu dari ayah memang. Iya, tentang aku yang sempat sakit. Demam karena kelelahan. Karena itu, aku tak menelepon ayah dan juga tak kunjung pulang. Aku hanya tak ingin ayah khawatir, seperti waktu itu, ayah langsung ingin mengunjungi aku ketika mendengar suaraku begitu parau. Tenang Yah, sebenarnya kalau aku sakit, aku cuma butuh waktu bermain yang lebih banyak. Tak selalu butuh dokter. Kalau dokter cinta sih... mungkin... hehehehehe...
Ya sudah, yang penting kemarin aku sudah datang, mengunjungi ayah. Membayar rindu-rindu kita karena liburan akhir tahun banyak kita habiskan bersama. Jadi, kita semakin merindukan pertemuan itu. Yah, jika aku tak datang, itu bukan karena aku takut kehujanan atau kelelahan. kadang aku pun merasa bersalah kepada ayah, ada hal lain yang aku belakan dan membuat ayah lebih lama menunggu pertemuan kita. Ini bukan perkara aku tak lebih sayang kepada ayah. Tapi ayah tahu kan, aku selalu ingin tahu banyak hal baru. Aku tak begitu betah berdiam di rumah tanpa mengerjakan apa pun. Aku banyak merindu bertemu orang-orang baru, yang bukan hanya itu-itu.
Tenang Yah, aku masih putri kecilmu yang lugu dan selalu lucu :) Aku akan selalu menjaga semua kepercayaan yang ayah berikan. Aku tak bisa memberikan apa-apa yang istimewa untuk ayah. Aku hanya ingin melakukan banyak hal yang berguna untuk orang banyak dan menyimpan pengetahuan untuk masa depan. Ya, seperti yang biasa ayah ajarkan. Aku ingin ayah tahu bahwa semua yang ayah ajarkan, masih aku lakukan.
Oh iya, aku selalu senang jika ayah rindukan, ayah pedulikan, dan aku tak merasa ayah nomor sekiankan diantara kesibukan yang ayah kerjakan. Ayah pernah bilang kan, semua ayah lakukan untuk kami. Tak berkurang kehebatan ayah meski usia ayah semakin senja. Aku dan adik-adik tetap bisa bebas bercerita dan berbagi apa pun dengan ayah. Apalagi aku, yang sekarang lebih kerap bertemu ayah daripada adik-adik. Aku inginnya semua keberpisahan kita yang bertahun-tahun itu bisa terbayar. Meski masanya sudah berbeda.
Kadang aku terharu ketika di masa seperti ini ayah masih ingin membelikan aku boneka, "Kan dulu belum suka-suka banget. Sekarang masih suka kan sama yang lucu-lucu?" ungkapmu sesekali ketika menemukan penjual boneka di sepanjang perjalanan kita pergi. Aku juga ingin memeluk erat-erat ketika ayah masih suka mengajakku berwisata kuliner seperti yang dulu biasa ayah lakukan ketika pulang bertugas. Ketika satu atau dua hari kita bertemu setelah entah berapa purnama kita tak saling melihat satu sama lain. Sekarang, aku bisa menemui ayah sesuaku. Meski lebih banyak kita menempatkan pertemuan itu di penghujung minggu.
Ayah... keberpisahan yang menahun itu pun ternyata tak pernah mengurangkan kedekatan kita ya... Tak mengurangkan kesempatanku untuk bermanja denganmu. Meski masanya adalah sekarang. Aku tak lagi peduli dengan rasa-rasa sakit yang hinggap dan pergi semena-mena. Toh aku masih memiliki kasih sayang dari ayah. Maaf ya Yah, jika sampai hari ini aku masih sering merepotkan ayah. Masih belum bisa membuat ayah sebahagia ayah-ayah yang lain. Tapi ayah harus yakin, aku selalu berjuang. Aku juga ingin membahagiakan ayah seperti ayah-ayah yang lain.
Terima kasih ya Ayah.. sudah menjadi ayah yang baik untuk aku dan adik-adik. Terima kasih sudah menjadi pria paling romantis sampai detik ini. Terima kasih sudah mengenalkan banyak hal diantara suka duka perjalanan yang ayah tawarkan. Ini cara Tuhan menyayangi kita. Cara Tuhan mmbuat kita saling paham. Aku tak ingin lagi marah pada ayah yang dulu kerap aku lakukan ketika masih kecil. Itu mungkin caraku menyikapi rinduku pada ayah yang telah lama tak menemui aku dan adik-adik. Tapi lama-kelamaan aku paham, ayah tetap menjaga kami dari jauh. Mengajarkan kemandirian kepada kami. Dan, tak meratapi kesendirian. Tentunya, ada yang selalu menjaga kita semua, Tuhan.
Sekarang, ayah jangan khawatirkan aku ya... aku sudah besar... ayah berdoa saja, supaya aku bisa memberikan kebahagiaan juga kepada keluargaku nantinya. Aku ingin anak-anakku merasakan kebanggaan yang sama denganku. Bangga kepada ayahnya. Semoga aku bisa memberikan ayah yang sebaik engkau kepada anak-anakku ya Yah... ;)
Aku adalah Tuhan. Aku berkuasa. Aku dilahirkan untuk memenangkan
segalanya. Mendapatkan segalanya, dengan cara yang baik atau buruk. Aku
tidak peduli. Karena apa? Karena aku dilahirkan untuk menang, menjadi
pemenang, pemimpin dari keluarga paling hebat di negeri ini, Meksiko.
Keluarga Guillermo, otak di balik korupsi, nepotisme, prostitusi,
obat-obatan terlarang, dan segala bentuk ilegalitas.
Tentu saja pemerintah tahu. Tapi mereka bisa apa? Menangkapku? Hah!
Bisa-bisa mereka yang berakhir di ujung senapanku. Tentu saja mereka
bungkam. Mereka pun berkonspirasi denganku, atau lebih tepatnya menjadi
pengekor bagiku dan keluargaku.
Pemimpin bukanlah presiden, tapi aku, Rodrigo Guillermo. Kau mengerti?
Kemanapun Lamborghini-ku beranjak, maka akan selalu ada barisan
polisi yang mengawal. Kemanapun. Kapanpun. Memastikan bahwa jalanan
bersih dan aku terbebas dari segala gangguan. See. Aku Tuhan.
Aku merapikan kemejaku. Sekali lagi meyakinkan kepada cermin, bahwa
akulah pemuda paling tampan di kota ini. Tak ada perempuan yang tak
takluk dalam pelukanku. Semua yang mereka ingin dapatkan bisa mereka
dapatkan. Asalkan, mereka dengan senang hati melakukan apa yang aku
perintahkan. Aku terbahak, dalam hati, dan tetap menjaga kewibawaanku.
Angelina, tengah menungguku di restoran yang telah kami sepakati.
Angelina, putri walikota, yang kini tak mampu terlepas dari jeratanku,
haha…
Aku memasuki restoran dengan dibuntuti pengawalku. Ada bisik-bisik
melintas di telingaku ketika aku berjalan. Berceloteh tentangku, baik
dan buruk. Bah, aku tak peduli. Aku tidak sedang berminat memotong lidah
siapapun hari ini. Aku berjalan bak raja, ketika ada bisik lain yang
terdengar.
“Oh… bukankah itu Nona Eunica, putri wakil presiden?”
Mereka membicarakan orang lain. Tak tertarik. Wanita tetaplah wanita.
Mereka akan sama saja seperti Angelina, atau wanita lain. Menempel
layaknya benalu. Mereka ada hanya untuk memuaskan gairahku. selebihnya,
bukan apa-apa. Tak ada yang menarik sedikitpun.
“Oh, God… cantik sekali… lihat rambut keemasan berkilaunya. dan wajah porselen itu.”
“Ya, dia sangat sopan dan ramah. tapi aku tak habis pikir. bukankah dia selalu menolak lelaki yang mendekatinya?”
Mungkin mendengar kata penolakan, membuatku tertarik. Atau mungkin
karena mereka mengatakan dia adalah replika dari porselen. Entah. Aku
mengintipnya dari sudut mata dan melihatnya.
Cantik. Sama cantiknya seperti Angelina. Aku memilih untuk menikmati
semua yang aku miliki. Karena aku yakin tak satu pun mampu
menandinginya.
Tiba-tiba telepon genggamku berdering, mama meneleponku malam-malam.
Aku menjawab hati-hati. Aku tak mampu mendengar suara mama dengan jelas,
aku hanya bisa mendengar isakan tangis dan nafas satu-satu milik mama.
Aku dengarkan dengan lebih seksama. Ia menyebut berkali-kali nama
papa. Aku mengernyitkan dahiku. Ada apa dengan papa? Gumamku. Angelina
menggenggam punggung tangan kiriku. Aku semakin tak bisa menerjemahkan
kata-kata mama.
Papa.
Rumah sakit.
Jatuh.
Pistol.
Tertembak.
Aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh mereka. Namun kebisingan
yang melatari telepon di seberang sudah pasti menandakan situasi yang
tidak baik. Aku dengan cepat bediri dan bergesa keluar restoran.
Angelina kutinggal begitu saja, memanggilku berulang kali.
“Josue, pastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tau jika papa masuk rumah sakit sekarang.”
Aku mengomando pengawalku sementara mobil terus melaju. Aku
mengumpulkan informasi secepat kilat. Papa ditembak oleh musuh, kini
masuk rumah sakit. Mamaku sedang di sana, pasti beliau sudah berderai
air mata.
Fuck. Siapa yang berani menentang keluarga Guillermo!! Ingin menantang maut dia!
Sampai di rumah sakit, aku menyusuri koridor-koridor gelap menuju
kamar papa. Para pengawal berjaga-jaga di setiap ujung koridor,
memastikan tak ada penyusup yang masuk atau sekadar mengintai keadaan
papa.
Tampak Paman sedang berbicara dengan salah satu orang kepercayaan
papa tak jauh dari pintu ruangan tempat papa dirawat. Perih, ketika
melihat papa terkulai lemah. Tubuhnya yang tinggi besar pun tak sanggup
menopang bebannya saat ini.
Mama duduk di samping ranjang papa dan mengelus-elus kepalanya. Tak
peduli seberapa dingin sikap papa kepadanya, mama tetap saja menjaga
papa layaknya induk yang memedulikan anak-anaknya.
Aku mendekat kepada mama. Mengelus pundaknya pelan. “Kita harus kuat
Ma, tak ada yang bisa mengalahkan keluarga Guillermo. Kita punya
semuanya,” bisikku ke telinga mama.
Wajah letih pria di ranjang itu terlampau pias. Tak nampak damai
sekerutpun. Tubuhnya lemah, sama seperti elektrokardiogram yang bergerak
lambat di sampingnya. Beberapa selang melintasi tubuhnya, di tangannya,
di hidungnya. Kesadaran nampak mengawang, entah akan kembali atau
tidak.
“Ma, papa akan sadar.”
Iya kan? Aku akan melakukan segalanya untuknya. Tidak ada yang boleh
meninggalkanku. Tidak akan kumaafkan yang membuat papa menjadi seperti
ini. Tidak ada yang boleh terlepas dari genggamanku, termasuk penembak
itu.
“Josue, cari siapa yang menembak papa! bawa dia hidup-hidup! Aku ingin melihat wajah busuknya!”
Tiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttt……………
Garis lurus di elektrokardiogram melintas tanpa henti. Bersamaan
dengan tangis histeris mama, kerumunan dokter yang berlari mendekati
papa dengan berbagai peralatan. kami yang diusir keluar. Mama yang jatuh
pingsan. Semua terjadi begitu cepat. Aku tak mengerti.
Mama mengangguk pelan. Menyeka air matanya. “Rodrigo, mungkin kita
terlalu angkuh ya…” kata-kata mama bercampur isakan tangis, tapi aku
cukup jelas mendengarnya. Aku menganga. Apa yang sedang mama pikirkan
saat ini. Kenapa mama seakan menyerah.
Aku ingin berkata, tapi aku urtungkan. Aku tak mau suasana menjadi
semakin keruh. Biar saja aku dan paman yang mencari tahu penyebab dan
mencari penyelesaian masalah yang sedang terjadi. .
Hari berlalu. Pemakaman berakhir dua hari yang lalu. Mama mengurung
diri di kamar. Aku dan Paman Alejandro masih mencari orang yang berani
bermain denganku. dipikirnya dia akan lepas begitu saja, hah!
“Guillermo harus dibunuh!!”
Aku masih baru terbangun ketika ada suara teriak kemarahan dari
jendela luar. Aku terkejut untuk beberapa saat, dan lebih dan lebih….
“Yaa!! Dia harus dibunuh!!”
“Dia sudah menyebabkan negara kita hancur berantakan!!”
“Ayahnya sudah mati! Sekarang seluruh keluarga Guillermo harus mati!!!”
“Bunuh!!!”
“Bunuh dia!”
“Bunuh!!”
Aku sengaja membuka tirai kamarku lebih lebar, agar dapat melihat
jelas orang yang sedang berteriak-teriak di depan pagar rumah itu. Bola
mataku pun membulat melihat sang empunya suara. Aku mulai mengenalinya.
Semakin jelas dan semakin jelas.
Dengan lantang ia bangga dengan terbunuhnya papa. Dengan lantang ia
berteriak akan membunuhku. Membunuh keluargaku, satu per satu.
Ya, dia. Angelina.
Dia berdiri dengan tegap di memimpin lautan manusia yang menyerbu
rumahku. Manusia-manusia jelata yang harusnya tunduk padaku. pada Tuhan.
Berpikir apa mereka?!! Hey, aku Tuhan! Aku Tuhan!!
“Tuan Muda!” Josue berlari tergesa dengan wajah panik. “Orang-orang
itu sedang gila, Tuan! Mereka mulai membakar rumah! Sebaiknya anda cepat
pergi dari sini!”
Tidak. Ini tidak mungkin. Aku Tuhan. Iya kan? Iya kan?!!
Josue mengawalku menuju pintu rahasia rumah kami. Aku bersama mama
pontang-panting menyelamatkan diri. tidak kupercaya, Tuhan sepertiku
harus melarikan diri. Namun bodohnya aku. Pintu dibuka, dan aku baru
saja tersadar. Aku terkepung oleh lautan manusia.
Hey, aku Tuhan! Dengarkan aku!
Mereka tak peduli. Hidupku tamat sudah.
Tanpa kusadari, nyawaku tak menyatu lagi dengan raganya, aku.
***
“Sayang, ayo pulang,” seorang pria paruh baya menepuk pundak seorang
gadis. Gadis itu berbalik, mengangguk lesu dan mengekor di belakang
ayahnya. Ayahnya kemudian berkomentar sinis, “Eunica, kenapa kamu
menagisi iblis sepertinya? Dia bahkan tak pantas untuk hidup.”
“Daddy… semua orang pantas untuk hidup. Dia buta oleh kekayaan dan
kekuasaan, dan belum sempat untuk tersadar,” Jawab Eunica. Dia menyeka
air matanya. “Kasihan.”
Ayahnya mendengus.
Eunica tak peduli. Dia menatap nisan di belakangnya untuk yang
terakhir kali. Dengan ingatan yang membekas jelas. Bagaimana tatapan
pria itu begitu kelam dan kesepian, kala mereka beradu pandang di
restoran malam itu. . a collaboration of tragicomedy fiction with Gladish Rindra
Menyambung cerita-cerita saya yang sebelumnya, tentang kelas menulis, rasanya saya juga akan semakin suka jika teman-teman turut merasakannya :) Paling tidak, kita bisa berbagi ilmu dan mendapatkan hal-hal baru tanpa merasa tak punya kemampuan apa-apa. Hei, jika memang passion-mu adalah menulis kenapa tak memeluknya erat-erat? :D
Demikian juga jika merasa tertarik dengan menulis, temukan banyak hal tentangnya, bermainlah bersamanya, kemudian menulislah suka-suka. Hingga tak kuasa kau berdiam lama-lama tanpa merangkai kata. Belajar tentangnya adalah dengan membuatnya. Membuat tulisan apa pun yang kita suka. Dan ketika menemukan cara lain dari orang-orang di sekitar kita, itu yang membuat kita semakin ingin kreatif bersamanya. Caranya? Keraplah saling mengapresiasi karya, begitu kata seorang teman saya.
Entah ini pertemuan yang ke berapa, yang jelas saya dan teman-teman #Poetica cukup semangat untuk belajar menulis bersama. Apalagi, saat ini telah ada ruang untuk berkarya dan saling mengapresiasi bagi kita. Kala luang dan ingin membaca, silakan mampir rumah Poetica :)
Ya, itulah teman-teman menulis saya. Ragam cara bertutur ceritanya. Dan sejujurnya, mereka pula lah yang membuat saya lebih percaya diri dengan apa yang saya buat. Tak ada aturan yang mengikat, kita bisa bebas bercerita apa saja dan berlatih menulis ragam jenis cerita.
InsyaAlloh selalu ada yang seru dan bermanfaat yang dibagi bersama teman-teman #Poetica. Baik dalam kelas menulis dan juga blog-nya. Jika teman-teman ingin turut bergabung, dengan senang hati kami menyambutnya. Untuk pertemuan berikutnya, akan diadakan besok, Hari Sabtu, 29 Desember 2012 pukul 19.00 WIB. Seperti apa caranya? Teman-teman hanya butuh peralatan yang mendukung untuk bisa conference dengan Yahoo Messenger. Misalnya dengan mempersiapkan PC/laptop atau gadget lainnya dengan koneksi internet yang baik dan online dengan akun YM masing-masing. Informasikan keikutsertaan kalian dan kemudian akan diundang dalam conference-nya. Selanjutnya, temukan banyak ilmu baru.. Oke, sampai jumpa besok ;)
Menulis fiksi ternyata juga gampang-gampang susah. Kenapa? Karena ada satu hal yang sangat berpengaruh terhadap menarik atau tidaknya dalam sebuah karya fiksi. Plot, ya plot dalam sebuah cerita cukup menentukan apakah sebuah pesan yang disampaikan dalam cerita itu akan dapat dipahami oleh pembaca atau tidak.
Plot sendiri sebenarnya berbeda dengan alur cerita. Menurut Forster dalam Aspec of Novel, alur cerita merupakan sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun sesuai urutan waktu. Atau sebuah peristiwa yang susul menyusul. Sedangkan plot adalah hubungan sebab akibat antar peristiwa yang ada dalam sebuah cerita.
Nah, yang sempat saya pelajari di kelas menulis Poetica kemarin adalah tentang plot. Ya, struktur dalam sebuah cerita. Dimana di dalamnya terdapat unsur: pembuka atau pengenalan, konflik dan resolusi. Ketiga unsur tersebut tidak harus tersusun demikian, pembuka boleh diletakkan di awal cerita, di tengah, atau pun di akhir cerita. Begitu pula dengan konflik dan resolusi. Inilah yang kemudian kita kenal dengan macam plot.
Menurut Aristotle, ada satu poin penting lagi yang mendukung terurainya plot dalam cerita, yaitu sebisa mungkin penulis mengajak pembaca untuk merasakan "fear" atau "pity" dalam sebuah cerita. Artinya, penulis harus bisa mengajak pembaca untuk merasakan emosi yang ada dalam peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita.
Berikut ada contoh penggalan cerita, yang mungkin bisa dirasakan beda cara penyampainnya.
"Putri bapak dibunuh..." Kedua polisi itu
menyampaikan kabar terburuk itu. Kedukaan menyelimutiku. Aku hancur. Tidak,
lebih tepatnya aku sudah mati. Aku sudah mati sebagai manusia. Jiwaku lenyap
tatkala melihat putriku dikembalikan padaku dalam kondisi tak bernyawa.
Nafasnya sudah tiada lagi. Jangankan nafasnya. Tubuhnya pun sudah tak
lengkap.
Aku akhirnya bisa melihatnya. Si pembunuh. Pencabut
nyawa putriku. Aku menatap pria itu dengan dendam membara. Jika saja aku bisa
membunuhnya berkali-kali, aku akan sanggup melakukannya. Bagaimana tidak habis
kesabaranku? Pria itu baru saja tersenyum! Tidak ada wajah bersalah sedikitpun
terlihat di sana. Padahal ia baru saja dihukum dua puluh tahun penjara. Aku
benar-benar ingin mencincangnya jika tak ada jeruji besi itu. Akan kulakukan
tanpa pikir panjang demi putriku. (Jusmalia Oktaviani)
Aku sudah katakan padanya, mataku masih ingin terpejam. Aku tak
kuat menahan kantuk. Aku lelah, tubuhku masih sangat lemah. Berkali-kali aku
menarik selimut dan memejam sepejam-pejamnya. Seperti tak terima ia tak henti
meriuh, membingar, benar-benar tak bisa aku maafkan.
Dengan tetap memejam aku
menyambarnya, entah aku mendapati tombol apa. Arrrgghhh ia tak berhenti meraung
juga. Aku membantingnya, entah ke arah mana. Hingga ia serasa terbekap dan
mungkin tanpa nyawa. Aku, tak pedulli lagi pada kabar jam weker kecil itu.
Sekarang. (Wulan Martina)
Dengan penggambaran emosi yang kuat, pembaca akan merasa terlibat dalam cerita yang ditulis. Selain itu, pembaca akan lebih mudah memahami pesan yang ingin disampaikan. Hal ini juga terkait dengan karakter yang dibangun dalam sebuah cerita.
Berbicara tentang emosi dan karakter dalam sebuah cerita, Aristotle pun membagi cerita dalam tiga jenis, yaitu tragedi, komedi, dan tragedi komedi.
Tragedi adalah sebuah cerita yang mengungkap kesedihan dengan tokoh yang awalnya memiliki kebaikan-kebaikan atau masa jaya dan kemudian mengalami momen kejatuhan atau kehilangan atau mengalami masalah yang membuat nasib mereka berubah menjadi lebih buruk. Biasanya menceritakan kaum bangsawan yang mengalami momen kejatuhan dalam kehidupannya. Ini yang membuat cerita tragedi kerap disebut bercirikan memiliki "noble man".
Sedangkan komedi adalah cerita yang mengungkapkan kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak ada unsur "noble man" di sini. Biasanya yang diceritakan adalah kehidupan rakyat jelata dan menirukan perilaku-perilaku yang kerap muncul dalam kehidupan mereka.
Dan tragedi-komedi adalah perpaduan antara keduanya. Menjadi satu-kesatuan dalam cerita.
Lalu, cerita apa yang kerap ditulis atau kita baca?
Coba saja dirasakan, apakah itu tragedi, komedi, atau perpaduan keduanya? ;)
Memang pada kenyataannya tidak semua cerita memiliki plot, seperti yang pernah dibahas, bahwa jenis cerita deskriptif, tidak didominasi dengan plot. Begitu pula dengan cerita jenis sketsa. Dalam sketsa, biasanya hanya ditampilkan dialog atau potongan peristiwa. Namun, dialog atau potongan peristiwa tersebut sudah cukup mewakili pesan yang hendak disampaikan.
Meski dalam dialog dan peristiwa diungkap tentang masa lalu atau pun sekarang, cerita tersebut tetap tidak dianggap memiliki plot. Dialog tersebut hanya merupakan obrolan anatar tokoh/karakter yang ada. Intinya, cerita yang memiliki plot, sebagain besar terdapat dalam cerita narasi, yang memaparkan cerita dengan runtutan waktu secara jelas.
Nah, sekarang saatnya belajar menulis dengan menggunakan plot secara lebih baik. Semoga, cerita yang kita buat pun lebih memikat ;)
Dalam sebuah tulisan mungkin ada
cerita tentang kenangan, khayalan, harapan, kerinduan, impian, dan entah apa
pun yang sedang dirasakan dan dipikirkan. Seseorang mungkin merangkainya
sebagai cerita sederhana, karya dengan segenap keindahan atau pun lembar-lembar
informasi yang sengaja disampaikan berdasarkan fakta.
Banyak cara yang memang perlu
dipahami dalam menulis, agar apa yang akan kita sampaikan dapat diterima dengan
baik oleh pembaca. Misalnya, dengan memahami jenis-jenis tulisan yang akan kita
buat. Beberapa diantaranya adalah tulisan desktriptif dan naratif.
Tulisan deskriptif adalah tulisan
yang menggambarkan tentang sesuatu dengan lebih detil. Untuk tulisan deskriptif
sendiri ternyata ada tiga jenis, yaitu deskripsi spasial, deskripsi objektif, dan deskripsi subjektif. Mari kita coba bahas satu-persatu terlebih dahulu.
Deskripsi Spasial adalah penggambaran
tentang sesuatu secara tertentu dan tidak menyeluruh. Seperti ketika kita menggambarkan
suatu setting ruangan yang diceritakan lebih detil tentang ukuran, letak, jarak, sehingga pembaca dapat benar-benar membayangkan kondisi ruang yang sedang
diceritakan.
Deskripsi Objektif adalah
penggambaran sesuatu yang berkaitan tentang bentuk, warna, ataupun ornamen
detil yang melekat padanya. Penggambaran objektif lebih apa adanya dan bisa
menggambarkan sesuatu secara menyeluruh. Misalnya ketika kita akan menggambarkan tentang baju yang sedang
dikenakan seseorang, atau barang bawaan yang sedang dibawa oleh tokoh dalam
cerita.
Deskripsi Subjektif adalah
penggambaran tentang kesan atau suasana yang dapat dirasakan. Misalnya tentang
suasana yang sedang terjadi, raut wajah sang tokoh, atau kesan yang muncul
ketika tokoh menghadapi suatu peristiwa.
Sedangkan tulisan naratif adalah
tulisan yang menceritakan suatu kejadian secara runtut. Waktu kejadian
dipaparkan lebih jelas daripada dalam sebuah tulisan deskriptif. Misalnya
tentang kejadian di masa lalu, sekarang, atau di masa yang akan datang.
Nah, ternyata ada beberapa perbedaan
ya diantara tulisan deskriptif dan naratif. Jika diperhatikan pun, alur cerita
akan tergambar lebih jelas dalam sebuah tulisan naratif, sedangkan dalam
tulisan deskriptif, alur tidak menjadi hal yang dominan, karena sifatnya hanya
penggambaran.
Kedua jenis tulisan di atas dapat ditampilkan dalam tulisan terpisah atau pun menyatu. Maksudnya ada tulisan yang
memang hanya menyajikan penggambaran. Namun juga tidak menutup kemungkinan
bahwa dalam sebuah cerita akan terdapat dua jenis tulisan tersebut, deskriptif dan naratif. Justru akan
saling melengkapi. Penggambaran dapat disampaikan dengan jelas dan pembaca pun
dapat mengikuti cerita sesuai dengan alur yang ditampilkan.
Coba saja, dari sekian banyak tulisan yang pernah dibuat, kira-kira mana yang termasuk dalam tulisan deskriptif dan mana yang termasuk dalam tulisan naratif. Mungkin, ada yang bisa dieksplorasi ataupun diperbaiki cara penyampainnya ;)
Setidaknya, dengan sedikit bahasan di
atas kita dapat lebih maksimal dalam menuliskan hal-hal yang ingin kita
sampaikan kepada pembaca. Dengan begitu, kita juga dapat menyusun poin-poin
yang harus kita sampaikan dengan lebih detil dan sesuai dengan alur yang kita
maksud.
Kira-kira begitulah ringkasan materi yang saya dapat dari kelas menulis di #WriterCircle tempo hari. Oh iya, seperti biasa, di akhir kelas, ada tugas untuk membuat sebuah tulisan. Kali ini, cerita yang dibuat dari hasil menginterpretasikan lagu yang telah ditentukan oleh coach-nya :D
Untuk saat ini, inilah yang dapat
saya pahami tentang tulisan naratif dan deskriptif. Lebih jelasnya boleh mengintip di blog Coach -nya :D Semoga masih banyak ilmu yang bisa saya dapat di kelas #WriterCircle ini, kalau kalian mau gabung, tentu saja dipersilakan :D
Kelas #WriterCircle akan ada lagi, besok Hari Rabu, 12 Desember 2012 pukul 19.00. Seperti apa caranya?
1. Siapkan apa pun yang membuat kalian terhubung dengan internet. Semacam PC, laptop, atau apa pun, asal bisa memfasilitasi kita untuk conference via YM. 2. Untuk yang menggunakan Android atau Blackberry bisa mengunduh aplikasi Beejive for Yahoo Messenger (supaya bisa conference) 3. Aktifkan akun YM masing-masing. 4. Bergabunglah dalam conference dan selamat menemukan banyak ilmu baru.. ;)
Lama, Dira tak bertemu dengan sang
pemuda tiga kata. Ya, ia yang selalu menyapa Dira dengan “Apa kabar, kamu?” dan
juga “Apa kamu bahagia?”. Kadang Dira merindukan pertanyaan itu, seperti ada sihir
sempurna ketika ia yang mengucapkannya. Sayangnya, Dira tak ingin terlarut
dengan suka yang ia rasakan. Biar saja pertanyaan itu menjadi tanya yang
sesungguhnya. Dari seorang Galang. Itu saja.
Sore ini, Galang menepati janjinya
kepada Dira, membantu memperbaiki laptop Dira yang sudah beberapa hari ini
tidak dapat dioperasikan secara sempurna.
“Hmm ini laptop sama orangnya sama deh,
lagi labil…hahaha..”
Dira spontan merengut dan melirik Galang
sinis. Main-main. Galang justru terkikik dan tak
mengalihkan perhatiannya dari laptop Dira. “Ya udah, martabaknya buat aku semua
aja.. kamu gak usah..” Dira mengambil sepiring martabak manis yang dia sediakan
untuk sang tamu. “Eee sini-sini… itu kamu yang keju
aja, yang cokelat jatah aku… gak bisa-gak bisa.. belum makan siang iniii…” Galang
merebut piring yang diambil Dira. Serius dia lapar. Dira justru cengar-cengir, tetap
memegang erat piring berisi martabaknya. “Oke… tak ada servis yang baik, laptop
gak bisa beres…” timpalnya santai. “Yaaaaahh.. jangan dooong… penting
ini.. buat kerja dan buat berkarya.. haha.. Yaudah nih ambil..ambil…” rajuk
Dira sambil menyodorkan kembali sepiring martabak untuk tamunya.
Galang sibuk mengutak-atik laptop,
sedangkan di sebelahnya, Dira sibuk menghabisakan martabak kejunya sambil
membaca novel.
Tanpa sengaja, Galang tergoda untuk
membuka satu file dengan nama “My future has lost”. Ada beberapa foto disana,
entah siapa yang berada di samping Dira waktu itu. Dan salah satunya ber-caption
“my wed’s invitation”. Galang kemudian mengingat tentang postingan Dira di blog
beberapa waktu lalu. Hmmm jadi benar, batin Galang.
“Ciyeee… ada yang pernah punya pacar
ternyata…” Galang sengaja menggoda Dira.
Dira tersentak, melongok apa yang
sedang dikerjakan Galang. Spontan Dira memukul Galang dengan novel 400 halaman
di tangannya. “Bluuk”.
“Galaaaangg… tutup gaakk?? Kamu
jahat aahh..” Dira berusaha meraih laptopnya tapi Galang menghalangi dan justru
membaca keras-keras caption-caption yang ada di foto-foto yang tanpa sengaja ia
temukan. Galang tertawa-tawa.
Dira terdiam. Menutupkan kedua
telapak tangannya ke telinganya. Berharap tak mendengar apa pun yang dikatakan
Galang.
“Pantesan, tiap ditanya, jawabannya… ‘aku
gak bakalan jatuh cinta’… ahahaha.. yaudah sih… sedihnya udahan aja…” Gilang
mengelus kepala Dira.
Muka Dira memerah tak sudah-sudah.
Ada yang menggenang di pelupuk matanya. Tapi tak ada yang sanggup Dira lakukan
selain menatap bahu Galang yang tadi ia pukul sungguh-sungguh.
Dira teringat malam itu, ketika
keduanya terjebak hujan di Benteng Vredeburg, Jogja. Galang sempat menyatakan
perasaannya kepada Dira. Tapi, seperti biasa, Dira tak bisa mengatakan iya, bahkan
tak bisa menerjemahkan perasaannya sendiri.
“Kita, tak ada yang sempurna, pernah
terluka. Tapi tak ada yang dapat mengikis asa, kita berhak bahagia” kata Galang
malam itu.
Dira terdiam tanpa jawaban.
Membiarkan hujan menghanyutkan perasaannya, entah di muara yang mana.
“Aku trauma, Ta. Aku capek berjuang
dan kemudian ujungnya aku justru menerima luka” cerita Dira kepada Talita,
sahabatnya, sepulang dari Jogja. “Ra, kamu kemanakan Tuhan? Dia yang
mengatur takdirmu. Atas usahamu juga. Aku tahu kamu tulus sama Galang. Tuhan
tak akan pernah menukar kepemilikan bahagia, Ra…” sekuat itu Talita meyakinkan,
Dira tetap tak bisa menyambut rasa yang mungkin saja, cinta.
***
Sejak insiden laptop, Galang lebih
tenang menghadapi Dira. Tak pernah memaksa apa-apa dan tetap memberikan
perhatiannya kepada Dira. Dira yang masih bingung dengan perasaannya, kadang
berusaha menjauh dari Galang. Masih ia percaya bahwa cinta diterima sepaket
dengan luka. Mungkin, ia siap dengan cinta, tapi sepertinya tak sanggup
menyambut luka.
Bukan karena kebaikan Galang, tapi
lebih dari itu. Dira bukan seorang yang mudah jatuh hati dengan siapa yang baik
kepadanya. Bukan. Jika tak ada chemistry yang ia rasakan, Dira pun tak akan
betah berlama-lama dengan seseorang. Ada yang membuat Dira nyaman ketika
bersama Galang. Galang tak lebih baik dari orang yang paling baik. Galang tak
lebih perhatian dari orang yang paling perhatian. Galang tak lebih paham dari
orang yang paling paham. Tetapi, ada sesuatu yang membuat Dira menerima.
Sayangnya satu, Dira takut luka. Itu saja.
Hari Minggu ini ulang tahun Galang.
Galang sengaja mengajak Dira pergi jalan-jalan. Dira sedang ngidambermain sepeda di Monas dan bermain layang-layang.
Pagi-pagi mereka berangkat, menikamti keramaian Monas di hari minggu. Dimana banyak
orang berolah raga, bermain sepeda, bermain laying-layang, atau bahakan sibuk dengan
kegiatan yang sengaja digelar di jantung ibukota.
“Aaaa dia terbang tinggi sekali… aku
sukaaa…” Dira berteriak dan tertawa bahagia ketika layang-layangnya terbang
semakin tinggi dan tinggi. Ia berkonsentrasi mengendalikan laju layang-layang
dengan manarik dan mengulur benangnya.
Galang melihatnya dengan senyum
bahagia pula. Berharap mampu memupus luka-luka yang mungkin tak sengaja Dira
simpan, terlalu dalam. Terlalu lama. Atau mungkin sudah sembuh, namun tak ingin
lagi tergores sedikit pun. Sungguh, Galang ingin turut menjaganya, menjaga Dira
sekaligus hatinya.
“Udah capek, keringetnya udah banjir.
Pulang yuuk…” Dira menggulung benang layang-layang, lalu menyambar ranselnya.
Galang pun berkemas, mengikuti yang
Dira lakukan. Sejenak mereka bertedeuh di bawah pohon, melepas lelah. Setelah
meneguk air minum dari tumblernya, Dira merogoh ranselnya sekali lagi. Ia
keluarkan sekotak hadiah lalu menyerahkannya kepada Galang.
“Ini Lang buat kamu, tapi bukanya di
rumah aja yaa..” Dira yang cengar-cengir membuat Galang gemas dan ingin
mencubit pipi chubby-nya. Tapi pasti
Dira cepat-cepat menangkisnya. Biar kecil, Dira gadis yang gesit, kecuali dalam
insiden laptop tempo hari. Dira merasa benar-benar kecolongan. Yaa… sudah
jalannya harus begitu, mungkin.
Galang menerima kotak itu lalu
memainkan alisnya dan menebak-menebak isinya.
“Awas ya kalau kamu ngerjain aku… aku
kutuk kamu jatuh cinta sama aku… hahahaha…” spontan kepalan tinju Dira
melambung ke bahu Galang. “Awww..” Galang mengelus bahunya yang menjadi korban
keganasan Dira.
Sampai di rumah, Galang membuka
hadiah yang diberikan Dira tadi siang. Kotak yang dibungkus dengan kertas kado
warna biru bergambar kartun Smurf itu dibukanya perlahan. Tentu saja Galang
penasaran. Mmm sebuah scrapbook berwarna jingga berada di dalam kotak itu.
Galang membuka halaman demi halaman. Termuat foto-foto dirinya bersama Dira,
ketika sama-sama mengikuti acara komunitas mereka. Galang membaca seksama
setiap caption yang tertulis, Dikulum Senja Malioboro, Berlumur Lelah Suka Borobudur, Melawan Senyap Malam Alun-alun Kidul, dan tentu saja Jebakan Hujan di Benteng Vredeburg. Galang
tersenyum-senyum sendiri. Mengulang-ulang perhatiannya pada foto-foto yang
tentu saja mengikat erat ingatannya tentang kebersamaannya dengan Dira.
Di halaman terakhir scrapbook itu,
Dira menuliskan sebuah puisi
Aku
suka caramu menyapaku
Aku
suka caramu memahamiku
Aku
suka caramu merindukanku
Aku
suka caramu menyayangiku
Aku
suka caramu membahagiakanku
Terima
kasih, kamu
I
love you too
Galang menutup scrapbook dari Dira.
Malam itu juga dia menelepon Dira, mengucapkan terima kasih dan bercakap
sebentar.
“Masih pengin main flying fox?”
“Massiiiiihhh..”
“Yaudah besok bolos, aku mau culik
kamu sehari…”
Tanpa alasan mereka berangkat untuk
bermain flying fox. Sampai di lokasi, tetiba nyali Dira menciut. Apa iya,
dirinya yang bertubuh mungil berani bermain flying fox seperti itu.
“Aaahh gak jadi aah.. itu masa
bawahnya laut gitu.. aku kan gak bisa berenang. Gak mau ah..”
“Segitu aja nyali mantan atlet bela
diri. Oke..” Galang mengedikkan bahu.
“Isshh.. okeee… aku terima
tantanganmu. Aku mau merem aja… haha..”
“Terserah…” Galang tersenyum simpul.
Petugas sibuk memasang perangkat
safety untuk Dira. Setelah selesai, Dira melayangkan pandang ke sekeliling.
Galang tak ada di situ. Ia pun kesal. Tapi the show must go on. Dan… beberapa
detik ke depan Dira akan meluncur menyeberangi lautan.. hahaha..
Dira hanya mampu mendengar
teriakannya sendiri. Ia ingin memejam, tapi ingin juga melihat keadaan
sekitarnya. Sampai di seberang, Dira tak tahu seperti apa wajahnya. Semakin tak
bisa dipahami, tetiba Dira mendapati Galang berdiri di hadapannya,
tersenyum-senyum. Dira ingin mendaratkan kepalan tinjunya ke lengan Galang,
tapi tak berdaya. Ia lebih memilih sibuk melepas safety equipment yang membebat
tubuhnya.
“Apa kabar kamu?”
Dira justru menatap Galang dengan
sinis.
“Apa kamu bahagia?”
“Hiiihh… sebel ah sama kamu…” Dira
melangkah meninggalkan Galang.
Galang mengejar dan menyembul di
hadapan Dira.
“Takut? Masa sih? Kan kamu yang
kepengin banget, hehehe…”
“Iya… tapi kan maunya ada kamu juga…”
“Nah, kan ada, menyambut kamu malah…”
Dira memilih diam.
“Ya udah, gak usah ngambek. Orang sebenarnya
kamu itu pemberani, tangguh, kuat, apa lagi yaa… mmm… bukan penakut deh
pokoknya…”
“Truss..?”
“Yaaa… aku harap begitu juga dengan
masalah hati dan masa depan”.
Dira melongo, menatap wajah Galang
tanpa berkedip.
“Masa depan kamu gak akan hilang. Ia
selalu ada, memang butuh perjuangan meraihnya. Kamu berhak mendapatkannya. Aku,
tak akan hilang. Kamu, akan halal bagiku.”
Mata Dira berkaca-kaca. Ia ingin
Galang mencubit pipinya. Jika sakit, ia akan yakin bahwa ini bukan mimpi.
“Terima kasih, kamu, I love you too”
goda Galang seraya mengabadikan ekspresi Dira dengan kamera saat itu.
“Hiiiihhh Galang… kamuuuu…” Galang
berlari, menghidari gempuran tinju Dira. Dira mengejar, mengejar masa depan
yang semoga benar menjadi miliknya. Hadiah dari Tuhan yang saling menjaga
nantinya.
*ditulis untuk menjawab tantangan dalam Kelas Menulis. Ini lagunya sedih yaa? Tapi lagi pengin nulis yang happy ending.. xaxaxa...