Thursday, January 10, 2013

Aku Tuhan


gambar dipinjam dari sini

Aku adalah Tuhan. Aku berkuasa. Aku dilahirkan untuk memenangkan segalanya. Mendapatkan segalanya, dengan cara yang baik atau buruk. Aku tidak peduli. Karena apa? Karena aku dilahirkan untuk menang, menjadi pemenang, pemimpin dari keluarga paling hebat di negeri ini, Meksiko. Keluarga Guillermo, otak di balik korupsi, nepotisme, prostitusi, obat-obatan terlarang, dan segala bentuk ilegalitas.
Tentu saja pemerintah tahu. Tapi mereka bisa apa? Menangkapku? Hah! Bisa-bisa mereka yang berakhir di ujung senapanku. Tentu saja mereka bungkam. Mereka pun berkonspirasi denganku, atau lebih tepatnya menjadi pengekor bagiku dan keluargaku.

Pemimpin bukanlah presiden, tapi aku, Rodrigo Guillermo. Kau mengerti?
Kemanapun Lamborghini-ku beranjak, maka akan selalu ada barisan polisi yang mengawal. Kemanapun. Kapanpun. Memastikan bahwa jalanan bersih dan aku terbebas dari segala gangguan.
See. Aku Tuhan.

Aku merapikan kemejaku. Sekali lagi meyakinkan kepada cermin, bahwa akulah pemuda paling tampan di kota ini. Tak ada perempuan yang tak takluk dalam pelukanku. Semua yang mereka ingin dapatkan bisa mereka dapatkan. Asalkan, mereka dengan senang hati melakukan apa yang aku perintahkan. Aku terbahak, dalam hati, dan tetap menjaga kewibawaanku.

Angelina, tengah menungguku di restoran yang telah kami sepakati. Angelina, putri walikota, yang kini tak mampu terlepas dari jeratanku, haha…

Aku memasuki restoran dengan dibuntuti pengawalku. Ada bisik-bisik melintas di telingaku ketika aku berjalan. Berceloteh tentangku, baik dan buruk. Bah, aku tak peduli. Aku tidak sedang berminat memotong lidah siapapun hari ini. Aku berjalan bak raja, ketika ada bisik lain yang terdengar.

“Oh… bukankah itu Nona Eunica, putri wakil presiden?”

Mereka membicarakan orang lain. Tak tertarik. Wanita tetaplah wanita. Mereka akan sama saja seperti Angelina, atau wanita lain. Menempel layaknya benalu. Mereka ada hanya untuk memuaskan gairahku. selebihnya, bukan apa-apa. Tak ada yang menarik sedikitpun.

“Oh, God… cantik sekali… lihat rambut keemasan berkilaunya. dan wajah porselen itu.”
“Ya, dia sangat sopan dan ramah. tapi aku tak habis pikir. bukankah dia selalu menolak lelaki yang mendekatinya?”

Mungkin mendengar kata penolakan, membuatku tertarik. Atau mungkin karena mereka mengatakan dia adalah replika dari porselen. Entah. Aku mengintipnya dari sudut mata dan melihatnya.

Cantik. Sama cantiknya seperti Angelina. Aku memilih untuk menikmati semua yang aku miliki. Karena aku yakin tak satu pun mampu menandinginya.

Tiba-tiba telepon genggamku berdering, mama meneleponku malam-malam. Aku menjawab hati-hati. Aku tak mampu mendengar suara mama dengan jelas, aku hanya bisa mendengar isakan tangis dan nafas satu-satu milik mama.

Aku dengarkan dengan lebih seksama. Ia menyebut berkali-kali nama papa. Aku mengernyitkan dahiku. Ada apa dengan papa? Gumamku. Angelina menggenggam punggung tangan kiriku. Aku semakin tak bisa menerjemahkan kata-kata mama.

Papa.
Rumah sakit.
Jatuh.
Pistol.
Tertembak.

Aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh mereka. Namun kebisingan yang melatari telepon di seberang sudah pasti menandakan situasi yang tidak baik. Aku dengan cepat bediri dan bergesa keluar restoran. Angelina kutinggal begitu saja, memanggilku berulang kali.

“Josue, pastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tau jika papa masuk rumah sakit sekarang.”
Aku mengomando pengawalku sementara mobil terus melaju. Aku mengumpulkan informasi secepat kilat. Papa ditembak oleh musuh, kini masuk rumah sakit. Mamaku sedang di sana, pasti beliau sudah berderai air mata.

Fuck. Siapa yang berani menentang keluarga Guillermo!! Ingin menantang maut dia!
Sampai di rumah sakit, aku menyusuri koridor-koridor gelap menuju kamar papa. Para pengawal berjaga-jaga di setiap ujung koridor, memastikan tak ada penyusup yang masuk atau sekadar mengintai keadaan papa.

Tampak Paman sedang berbicara dengan salah satu orang kepercayaan papa tak jauh dari pintu ruangan tempat papa dirawat. Perih, ketika melihat papa terkulai lemah. Tubuhnya yang tinggi besar pun tak sanggup menopang bebannya saat ini.

Mama duduk di samping ranjang papa dan mengelus-elus kepalanya. Tak peduli seberapa dingin sikap papa kepadanya, mama tetap saja menjaga papa layaknya induk yang memedulikan anak-anaknya.

Aku mendekat kepada mama. Mengelus pundaknya pelan. “Kita harus kuat Ma, tak ada yang bisa mengalahkan keluarga Guillermo. Kita punya semuanya,” bisikku ke telinga mama.

Wajah letih pria di ranjang itu terlampau pias. Tak nampak damai sekerutpun. Tubuhnya lemah, sama seperti elektrokardiogram yang bergerak lambat di sampingnya. Beberapa selang melintasi tubuhnya, di tangannya, di hidungnya. Kesadaran nampak mengawang, entah akan kembali atau tidak.

“Ma, papa akan sadar.”

Iya kan? Aku akan melakukan segalanya untuknya. Tidak ada yang boleh meninggalkanku. Tidak akan kumaafkan yang membuat papa menjadi seperti ini. Tidak ada yang boleh terlepas dari genggamanku, termasuk penembak itu.

“Josue, cari siapa yang menembak papa! bawa dia hidup-hidup! Aku ingin melihat wajah busuknya!”

Tiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttt……………

Garis lurus di elektrokardiogram melintas tanpa henti. Bersamaan dengan tangis histeris mama, kerumunan dokter yang berlari mendekati papa dengan berbagai peralatan. kami yang diusir keluar. Mama yang jatuh pingsan. Semua terjadi begitu cepat. Aku tak mengerti.

Mama mengangguk pelan. Menyeka air matanya. “Rodrigo, mungkin kita terlalu angkuh ya…” kata-kata mama bercampur isakan tangis, tapi aku cukup jelas mendengarnya. Aku menganga. Apa yang sedang mama pikirkan saat ini. Kenapa mama seakan menyerah.

Aku ingin berkata, tapi aku urtungkan. Aku tak mau suasana menjadi semakin keruh. Biar saja aku dan paman yang mencari tahu penyebab dan mencari penyelesaian masalah yang sedang terjadi.
.
Hari berlalu. Pemakaman berakhir dua hari yang lalu. Mama mengurung diri di kamar. Aku dan Paman Alejandro masih mencari orang yang berani bermain denganku. dipikirnya dia akan lepas begitu saja, hah!
“Guillermo harus dibunuh!!”
Aku masih baru terbangun ketika ada suara teriak kemarahan dari jendela luar. Aku terkejut untuk beberapa saat, dan lebih dan lebih….
“Yaa!! Dia harus dibunuh!!”
“Dia sudah menyebabkan negara kita hancur berantakan!!”
“Ayahnya sudah mati! Sekarang seluruh keluarga Guillermo harus mati!!!”
“Bunuh!!!”
“Bunuh dia!”
“Bunuh!!”

Aku sengaja membuka tirai kamarku lebih lebar, agar dapat melihat jelas orang yang sedang berteriak-teriak di depan pagar rumah itu. Bola mataku pun membulat melihat sang empunya suara. Aku mulai mengenalinya. Semakin jelas dan semakin jelas.

Dengan lantang ia bangga dengan terbunuhnya papa. Dengan lantang ia berteriak akan membunuhku. Membunuh keluargaku, satu per satu.

Ya, dia. Angelina.

Dia berdiri dengan tegap di memimpin lautan manusia yang menyerbu rumahku. Manusia-manusia jelata yang harusnya tunduk padaku. pada Tuhan. Berpikir apa mereka?!! Hey, aku Tuhan! Aku Tuhan!!

“Tuan Muda!” Josue berlari tergesa dengan wajah panik. “Orang-orang itu sedang gila, Tuan! Mereka mulai membakar rumah! Sebaiknya anda cepat pergi dari sini!”

Tidak. Ini tidak mungkin. Aku Tuhan. Iya kan? Iya kan?!!

Josue mengawalku menuju pintu rahasia rumah kami. Aku bersama mama pontang-panting menyelamatkan diri. tidak kupercaya, Tuhan sepertiku harus melarikan diri. Namun bodohnya aku. Pintu dibuka, dan aku baru saja tersadar. Aku terkepung oleh lautan manusia.

Hey, aku Tuhan! Dengarkan aku!

Mereka tak peduli. Hidupku tamat sudah.
Tanpa kusadari, nyawaku tak menyatu lagi dengan raganya, aku.
***
“Sayang, ayo pulang,” seorang pria paruh baya menepuk pundak seorang gadis. Gadis itu berbalik, mengangguk lesu dan mengekor di belakang ayahnya. Ayahnya kemudian berkomentar sinis, “Eunica, kenapa kamu menagisi iblis sepertinya? Dia bahkan tak pantas untuk hidup.”

“Daddy… semua orang pantas untuk hidup. Dia buta oleh kekayaan dan kekuasaan, dan belum sempat untuk tersadar,” Jawab Eunica. Dia menyeka air matanya. “Kasihan.”

Ayahnya mendengus.

Eunica tak peduli. Dia menatap nisan di belakangnya untuk yang terakhir kali. Dengan ingatan yang membekas jelas. Bagaimana tatapan pria itu begitu kelam dan kesepian, kala mereka beradu pandang di restoran malam itu.
.
a collaboration of tragicomedy fiction with Gladish Rindra

No comments: