Friday, December 28, 2012

Berkenalan dengan Plot

gambar dipinjam dari sini

Menulis fiksi ternyata juga gampang-gampang susah. Kenapa? Karena ada  satu hal yang sangat berpengaruh terhadap menarik atau tidaknya dalam sebuah karya fiksi. Plot, ya plot dalam sebuah cerita cukup menentukan apakah sebuah pesan yang disampaikan dalam cerita itu akan dapat dipahami oleh pembaca atau tidak.

Plot sendiri sebenarnya berbeda dengan alur cerita. Menurut Forster dalam Aspec of Novel, alur cerita merupakan sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun sesuai urutan waktu. Atau sebuah peristiwa yang susul menyusul. Sedangkan plot adalah hubungan sebab akibat antar peristiwa yang ada dalam sebuah cerita.

Nah, yang sempat saya pelajari di kelas menulis Poetica kemarin adalah tentang plot. Ya, struktur dalam sebuah cerita. Dimana di dalamnya terdapat unsur: pembuka atau pengenalan, konflik dan resolusi. Ketiga unsur tersebut tidak harus tersusun demikian, pembuka boleh diletakkan di awal cerita, di tengah, atau pun di akhir cerita. Begitu pula dengan konflik dan resolusi. Inilah yang kemudian kita kenal dengan macam plot.

Menurut Aristotle, ada satu poin penting lagi yang mendukung terurainya plot dalam cerita, yaitu sebisa mungkin penulis mengajak pembaca untuk merasakan "fear" atau "pity" dalam sebuah cerita. Artinya, penulis harus bisa mengajak pembaca untuk merasakan emosi yang ada dalam peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita.

Berikut ada contoh penggalan cerita, yang mungkin bisa dirasakan beda cara penyampainnya.
"Putri bapak dibunuh..." Kedua polisi itu menyampaikan kabar terburuk itu. Kedukaan menyelimutiku. Aku hancur. Tidak, lebih tepatnya aku sudah mati. Aku sudah mati sebagai manusia. Jiwaku lenyap tatkala melihat putriku dikembalikan padaku dalam kondisi tak bernyawa. Nafasnya sudah tiada lagi. Jangankan nafasnya. Tubuhnya pun sudah tak lengkap. 
Aku akhirnya bisa melihatnya. Si pembunuh. Pencabut nyawa putriku. Aku menatap pria itu dengan dendam membara. Jika saja aku bisa membunuhnya berkali-kali, aku akan sanggup melakukannya. Bagaimana tidak habis kesabaranku? Pria itu baru saja tersenyum! Tidak ada wajah bersalah sedikitpun terlihat di sana. Padahal ia baru saja dihukum dua puluh tahun penjara. Aku benar-benar ingin mencincangnya jika tak ada jeruji besi itu. Akan kulakukan tanpa pikir panjang demi putriku. (Jusmalia Oktaviani)

Aku sudah katakan padanya, mataku masih ingin terpejam. Aku tak kuat menahan kantuk. Aku lelah, tubuhku masih sangat lemah. Berkali-kali aku menarik selimut dan memejam sepejam-pejamnya. Seperti tak terima ia tak henti meriuh, membingar, benar-benar tak bisa aku maafkan.
Dengan tetap memejam aku menyambarnya, entah aku mendapati tombol apa. Arrrgghhh ia tak berhenti meraung juga. Aku membantingnya, entah ke arah mana. Hingga ia serasa terbekap dan mungkin tanpa nyawa. Aku, tak pedulli lagi pada kabar jam weker kecil itu. Sekarang. (Wulan Martina)

Dengan penggambaran emosi yang kuat, pembaca akan merasa terlibat dalam cerita yang ditulis. Selain itu, pembaca akan lebih mudah memahami pesan yang ingin disampaikan. Hal ini juga terkait dengan karakter yang dibangun dalam sebuah cerita.

Berbicara tentang emosi dan karakter dalam sebuah cerita, Aristotle pun membagi cerita dalam tiga jenis, yaitu tragedi, komedi, dan tragedi komedi.

Tragedi adalah sebuah cerita yang mengungkap kesedihan dengan tokoh yang awalnya memiliki kebaikan-kebaikan atau masa jaya dan kemudian mengalami momen kejatuhan atau kehilangan atau mengalami masalah yang membuat nasib mereka berubah menjadi lebih buruk. Biasanya menceritakan kaum bangsawan yang mengalami momen kejatuhan dalam kehidupannya. Ini yang membuat cerita tragedi kerap disebut bercirikan memiliki "noble man".

Sedangkan komedi adalah cerita yang mengungkapkan kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak ada unsur "noble man" di sini. Biasanya yang diceritakan adalah kehidupan rakyat jelata dan menirukan perilaku-perilaku yang kerap muncul dalam kehidupan mereka.

Dan tragedi-komedi adalah perpaduan antara keduanya. Menjadi satu-kesatuan dalam cerita.

Lalu, cerita apa yang kerap ditulis atau kita baca?
Coba saja dirasakan, apakah itu tragedi, komedi, atau perpaduan keduanya? ;)

Memang pada kenyataannya tidak semua cerita memiliki plot, seperti yang pernah dibahas, bahwa jenis cerita deskriptif, tidak didominasi dengan plot. Begitu pula dengan cerita jenis sketsa. Dalam sketsa, biasanya hanya ditampilkan dialog atau  potongan peristiwa. Namun, dialog atau potongan peristiwa tersebut sudah cukup mewakili pesan yang hendak disampaikan.


Meski dalam dialog dan peristiwa diungkap tentang masa lalu atau pun sekarang, cerita tersebut tetap tidak dianggap memiliki plot. Dialog tersebut hanya merupakan obrolan anatar tokoh/karakter yang ada. Intinya, cerita yang memiliki plot, sebagain besar terdapat dalam cerita narasi, yang memaparkan cerita dengan runtutan waktu secara jelas.

Nah, sekarang saatnya belajar menulis dengan menggunakan plot secara lebih baik. Semoga, cerita yang kita buat pun lebih memikat ;)





 

No comments: