Wednesday, December 05, 2012

I Love You Too



gambar dipinjam dari sini


Lama, Dira tak bertemu dengan sang pemuda tiga kata. Ya, ia yang selalu menyapa Dira dengan “Apa kabar, kamu?” dan juga “Apa kamu bahagia?”. Kadang Dira merindukan pertanyaan itu, seperti ada sihir sempurna ketika ia yang mengucapkannya. Sayangnya, Dira tak ingin terlarut dengan suka yang ia rasakan. Biar saja pertanyaan itu menjadi tanya yang sesungguhnya. Dari seorang Galang. Itu saja.

Sore ini, Galang menepati janjinya kepada Dira, membantu memperbaiki laptop Dira yang sudah beberapa hari ini tidak dapat dioperasikan secara sempurna.

“Hmm ini laptop sama orangnya sama deh, lagi labil…hahaha..”
Dira spontan merengut dan melirik Galang sinis. Main-main. 
Galang justru terkikik dan tak mengalihkan perhatiannya dari laptop Dira. 
“Ya udah, martabaknya buat aku semua aja.. kamu gak usah..” 
Dira mengambil sepiring martabak manis yang dia sediakan untuk sang tamu. 
“Eee sini-sini… itu kamu yang keju aja, yang cokelat jatah aku… gak bisa-gak bisa.. belum makan siang iniii…” Galang merebut piring yang diambil Dira. Serius dia lapar. 
Dira justru cengar-cengir, tetap memegang erat piring berisi martabaknya.
“Oke… tak ada servis yang baik, laptop gak bisa beres…” timpalnya santai. 
“Yaaaaahh.. jangan dooong… penting ini.. buat kerja dan buat berkarya.. haha.. Yaudah nih ambil..ambil…” rajuk Dira sambil menyodorkan kembali sepiring martabak untuk tamunya.

Galang sibuk mengutak-atik laptop, sedangkan di sebelahnya, Dira sibuk menghabisakan martabak kejunya sambil membaca novel.

Tanpa sengaja, Galang tergoda untuk membuka satu file dengan nama “My future has lost”. Ada beberapa foto disana, entah siapa yang berada di samping Dira waktu itu. Dan salah satunya ber-caption “my wed’s invitation”. Galang kemudian mengingat tentang postingan Dira di blog beberapa waktu lalu. Hmmm jadi benar, batin Galang. 


“Ciyeee… ada yang pernah punya pacar ternyata…” Galang sengaja menggoda Dira.
Dira tersentak, melongok apa yang sedang dikerjakan Galang. Spontan Dira memukul Galang dengan novel 400 halaman di tangannya. “Bluuk”.
“Galaaaangg… tutup gaakk?? Kamu jahat aahh..” Dira berusaha meraih laptopnya tapi Galang menghalangi dan justru membaca keras-keras caption-caption yang ada di foto-foto yang tanpa sengaja ia temukan. Galang tertawa-tawa.


Dira terdiam. Menutupkan kedua telapak tangannya ke telinganya. Berharap tak mendengar apa pun yang dikatakan Galang.

“Pantesan, tiap ditanya, jawabannya… ‘aku gak bakalan jatuh cinta’… ahahaha.. yaudah sih… sedihnya udahan aja…” Gilang mengelus kepala Dira.

Muka Dira memerah tak sudah-sudah. Ada yang menggenang di pelupuk matanya. Tapi tak ada yang sanggup Dira lakukan selain menatap bahu Galang yang tadi ia pukul sungguh-sungguh.

Dira teringat malam itu, ketika keduanya terjebak hujan di Benteng Vredeburg, Jogja. Galang sempat menyatakan perasaannya kepada Dira. Tapi, seperti biasa, Dira tak bisa mengatakan iya, bahkan tak bisa menerjemahkan perasaannya sendiri.

“Kita, tak ada yang sempurna, pernah terluka. Tapi tak ada yang dapat mengikis asa, kita berhak bahagia” kata Galang malam itu.

Dira terdiam tanpa jawaban. Membiarkan hujan menghanyutkan perasaannya, entah di muara yang mana.

“Aku trauma, Ta. Aku capek berjuang dan kemudian ujungnya aku justru menerima luka” cerita Dira kepada Talita, sahabatnya, sepulang dari Jogja. 
“Ra, kamu kemanakan Tuhan? Dia yang mengatur takdirmu. Atas usahamu juga. Aku tahu kamu tulus sama Galang. Tuhan tak akan pernah menukar kepemilikan bahagia, Ra…” sekuat itu Talita meyakinkan, Dira tetap tak bisa menyambut rasa yang mungkin saja, cinta.

***

Sejak insiden laptop, Galang lebih tenang menghadapi Dira. Tak pernah memaksa apa-apa dan tetap memberikan perhatiannya kepada Dira. Dira yang masih bingung dengan perasaannya, kadang berusaha menjauh dari Galang. Masih ia percaya bahwa cinta diterima sepaket dengan luka. Mungkin, ia siap dengan cinta, tapi sepertinya tak sanggup menyambut luka.

Bukan karena kebaikan Galang, tapi lebih dari itu. Dira bukan seorang yang mudah jatuh hati dengan siapa yang baik kepadanya. Bukan. Jika tak ada chemistry yang ia rasakan, Dira pun tak akan betah berlama-lama dengan seseorang. Ada yang membuat Dira nyaman ketika bersama Galang. Galang tak lebih baik dari orang yang paling baik. Galang tak lebih perhatian dari orang yang paling perhatian. Galang tak lebih paham dari orang yang paling paham. Tetapi, ada sesuatu yang membuat Dira menerima. Sayangnya satu, Dira takut luka. Itu saja.

Hari Minggu ini ulang tahun Galang. Galang sengaja mengajak Dira pergi jalan-jalan. Dira sedang ngidam  bermain sepeda di Monas dan bermain layang-layang. Pagi-pagi mereka berangkat, menikamti keramaian Monas di hari minggu. Dimana banyak orang berolah raga, bermain sepeda, bermain laying-layang, atau bahakan sibuk dengan kegiatan yang sengaja digelar di jantung ibukota.

“Aaaa dia terbang tinggi sekali… aku sukaaa…” Dira berteriak dan tertawa bahagia ketika layang-layangnya terbang semakin tinggi dan tinggi. Ia berkonsentrasi mengendalikan laju layang-layang dengan manarik dan mengulur benangnya.

Galang melihatnya dengan senyum bahagia pula. Berharap mampu memupus luka-luka yang mungkin tak sengaja Dira simpan, terlalu dalam. Terlalu lama. Atau mungkin sudah sembuh, namun tak ingin lagi tergores sedikit pun. Sungguh, Galang ingin turut menjaganya, menjaga Dira sekaligus hatinya.

“Udah capek, keringetnya udah banjir. Pulang yuuk…” Dira menggulung benang layang-layang, lalu menyambar ranselnya.

Galang pun berkemas, mengikuti yang Dira lakukan. Sejenak mereka bertedeuh di bawah pohon, melepas lelah. Setelah meneguk air minum dari tumblernya, Dira merogoh ranselnya sekali lagi. Ia keluarkan sekotak hadiah lalu menyerahkannya kepada Galang.

“Ini Lang buat kamu, tapi bukanya di rumah aja yaa..” Dira yang cengar-cengir membuat Galang gemas dan ingin mencubit pipi chubby-nya. Tapi pasti Dira cepat-cepat menangkisnya. Biar kecil, Dira gadis yang gesit, kecuali dalam insiden laptop tempo hari. Dira merasa benar-benar kecolongan. Yaa… sudah jalannya harus begitu, mungkin.

Galang menerima kotak itu lalu memainkan alisnya dan menebak-menebak isinya.
“Awas ya kalau kamu ngerjain aku… aku kutuk kamu jatuh cinta sama aku… hahahaha…” spontan kepalan tinju Dira melambung ke bahu Galang. “Awww..” Galang mengelus bahunya yang menjadi korban keganasan Dira.

Sampai di rumah, Galang membuka hadiah yang diberikan Dira tadi siang. Kotak yang dibungkus dengan kertas kado warna biru bergambar kartun Smurf itu dibukanya perlahan. Tentu saja Galang penasaran. Mmm sebuah scrapbook berwarna jingga berada di dalam kotak itu. Galang membuka halaman demi halaman. Termuat foto-foto dirinya bersama Dira, ketika sama-sama mengikuti acara komunitas mereka. Galang membaca seksama setiap caption yang tertulis, Dikulum Senja Malioboro, Berlumur Lelah Suka Borobudur, Melawan Senyap Malam Alun-alun Kidul, dan tentu saja Jebakan Hujan di Benteng Vredeburg. Galang tersenyum-senyum sendiri. Mengulang-ulang perhatiannya pada foto-foto yang tentu saja mengikat erat ingatannya tentang kebersamaannya dengan Dira.

Di halaman terakhir scrapbook itu, Dira menuliskan sebuah puisi
Aku suka caramu menyapaku
Aku suka caramu memahamiku
Aku suka caramu merindukanku
Aku suka caramu menyayangiku
Aku suka caramu membahagiakanku
Terima kasih, kamu
I love you too

Galang menutup scrapbook dari Dira. Malam itu juga dia menelepon Dira, mengucapkan terima kasih dan bercakap sebentar.
“Masih pengin main flying fox?”
“Massiiiiihhh..”
“Yaudah besok bolos, aku mau culik kamu sehari…”

Tanpa alasan mereka berangkat untuk bermain flying fox. Sampai di lokasi, tetiba nyali Dira menciut. Apa iya, dirinya yang bertubuh mungil berani bermain flying fox seperti itu.
“Aaahh gak jadi aah.. itu masa bawahnya laut gitu.. aku kan gak bisa berenang. Gak mau ah..”
“Segitu aja nyali mantan atlet bela diri. Oke..” Galang mengedikkan bahu.
“Isshh.. okeee… aku terima tantanganmu. Aku mau merem aja… haha..”
“Terserah…” Galang tersenyum simpul.

Petugas sibuk memasang perangkat safety untuk Dira. Setelah selesai, Dira melayangkan pandang ke sekeliling. Galang tak ada di situ. Ia pun kesal. Tapi the show must go on. Dan… beberapa detik ke depan Dira akan meluncur menyeberangi lautan.. hahaha..

Dira hanya mampu mendengar teriakannya sendiri. Ia ingin memejam, tapi ingin juga melihat keadaan sekitarnya. Sampai di seberang, Dira tak tahu seperti apa wajahnya. Semakin tak bisa dipahami, tetiba Dira mendapati Galang berdiri di hadapannya, tersenyum-senyum. Dira ingin mendaratkan kepalan tinjunya ke lengan Galang, tapi tak berdaya. Ia lebih memilih sibuk melepas safety equipment yang membebat tubuhnya.

“Apa kabar kamu?”
Dira justru menatap Galang dengan sinis.
“Apa kamu bahagia?”
“Hiiihh… sebel ah sama kamu…” Dira melangkah meninggalkan Galang.

Galang mengejar dan menyembul di hadapan Dira.
“Takut? Masa sih? Kan kamu yang kepengin banget, hehehe…”
“Iya… tapi kan maunya ada kamu juga…”
“Nah, kan ada, menyambut kamu malah…”
Dira memilih diam.
“Ya udah, gak usah ngambek. Orang sebenarnya kamu itu pemberani, tangguh, kuat, apa lagi yaa… mmm… bukan penakut deh pokoknya…”
“Truss..?”
“Yaaa… aku harap begitu juga dengan masalah hati dan masa depan”.
Dira melongo, menatap wajah Galang tanpa berkedip.
“Masa depan kamu gak akan hilang. Ia selalu ada, memang butuh perjuangan meraihnya. Kamu berhak mendapatkannya. Aku, tak akan hilang. Kamu, akan halal bagiku.”

Mata Dira berkaca-kaca. Ia ingin Galang mencubit pipinya. Jika sakit, ia akan yakin bahwa ini bukan mimpi.

“Terima kasih, kamu, I love you too” goda Galang seraya mengabadikan ekspresi Dira dengan kamera saat itu.
“Hiiiihhh Galang… kamuuuu…” Galang berlari, menghidari gempuran tinju Dira. Dira mengejar, mengejar masa depan yang semoga benar menjadi miliknya. Hadiah dari Tuhan yang saling menjaga nantinya.




*ditulis untuk menjawab tantangan dalam Kelas Menulis. Ini lagunya sedih yaa? Tapi lagi pengin nulis yang happy ending.. xaxaxa...

No comments: