gambar dipinjam dari sini
Lama, Dira tak bertemu dengan sang
pemuda tiga kata. Ya, ia yang selalu menyapa Dira dengan “Apa kabar, kamu?” dan
juga “Apa kamu bahagia?”. Kadang Dira merindukan pertanyaan itu, seperti ada sihir
sempurna ketika ia yang mengucapkannya. Sayangnya, Dira tak ingin terlarut
dengan suka yang ia rasakan. Biar saja pertanyaan itu menjadi tanya yang
sesungguhnya. Dari seorang Galang. Itu saja.
Sore ini, Galang menepati janjinya
kepada Dira, membantu memperbaiki laptop Dira yang sudah beberapa hari ini
tidak dapat dioperasikan secara sempurna.
“Hmm ini laptop sama orangnya sama deh,
lagi labil…hahaha..”
Dira spontan merengut dan melirik Galang
sinis. Main-main. Galang justru terkikik dan tak mengalihkan perhatiannya dari laptop Dira.
“Ya udah, martabaknya buat aku semua aja.. kamu gak usah..”
Dira mengambil sepiring martabak manis yang dia sediakan untuk sang tamu.
“Eee sini-sini… itu kamu yang keju aja, yang cokelat jatah aku… gak bisa-gak bisa.. belum makan siang iniii…” Galang merebut piring yang diambil Dira. Serius dia lapar.
Dira justru cengar-cengir, tetap memegang erat piring berisi martabaknya.
“Oke… tak ada servis yang baik, laptop gak bisa beres…” timpalnya santai.
“Yaaaaahh.. jangan dooong… penting ini.. buat kerja dan buat berkarya.. haha.. Yaudah nih ambil..ambil…” rajuk Dira sambil menyodorkan kembali sepiring martabak untuk tamunya.
Galang sibuk mengutak-atik laptop,
sedangkan di sebelahnya, Dira sibuk menghabisakan martabak kejunya sambil
membaca novel.
Tanpa sengaja, Galang tergoda untuk membuka satu file dengan nama “My future has lost”. Ada beberapa foto disana, entah siapa yang berada di samping Dira waktu itu. Dan salah satunya ber-caption “my wed’s invitation”. Galang kemudian mengingat tentang postingan Dira di blog beberapa waktu lalu. Hmmm jadi benar, batin Galang.
“Ciyeee… ada yang pernah punya pacar
ternyata…” Galang sengaja menggoda Dira.
Dira tersentak, melongok apa yang
sedang dikerjakan Galang. Spontan Dira memukul Galang dengan novel 400 halaman
di tangannya. “Bluuk”.
“Galaaaangg… tutup gaakk?? Kamu
jahat aahh..” Dira berusaha meraih laptopnya tapi Galang menghalangi dan justru
membaca keras-keras caption-caption yang ada di foto-foto yang tanpa sengaja ia
temukan. Galang tertawa-tawa.
Dira terdiam. Menutupkan kedua
telapak tangannya ke telinganya. Berharap tak mendengar apa pun yang dikatakan
Galang.
Muka Dira memerah tak sudah-sudah.
Ada yang menggenang di pelupuk matanya. Tapi tak ada yang sanggup Dira lakukan
selain menatap bahu Galang yang tadi ia pukul sungguh-sungguh.
Dira teringat malam itu, ketika
keduanya terjebak hujan di Benteng Vredeburg, Jogja. Galang sempat menyatakan
perasaannya kepada Dira. Tapi, seperti biasa, Dira tak bisa mengatakan iya, bahkan
tak bisa menerjemahkan perasaannya sendiri.
Dira terdiam tanpa jawaban.
Membiarkan hujan menghanyutkan perasaannya, entah di muara yang mana.
“Ra, kamu kemanakan Tuhan? Dia yang mengatur takdirmu. Atas usahamu juga. Aku tahu kamu tulus sama Galang. Tuhan tak akan pernah menukar kepemilikan bahagia, Ra…” sekuat itu Talita meyakinkan, Dira tetap tak bisa menyambut rasa yang mungkin saja, cinta.
***
Sejak insiden laptop, Galang lebih
tenang menghadapi Dira. Tak pernah memaksa apa-apa dan tetap memberikan
perhatiannya kepada Dira. Dira yang masih bingung dengan perasaannya, kadang
berusaha menjauh dari Galang. Masih ia percaya bahwa cinta diterima sepaket
dengan luka. Mungkin, ia siap dengan cinta, tapi sepertinya tak sanggup
menyambut luka.
Bukan karena kebaikan Galang, tapi
lebih dari itu. Dira bukan seorang yang mudah jatuh hati dengan siapa yang baik
kepadanya. Bukan. Jika tak ada chemistry yang ia rasakan, Dira pun tak akan
betah berlama-lama dengan seseorang. Ada yang membuat Dira nyaman ketika
bersama Galang. Galang tak lebih baik dari orang yang paling baik. Galang tak
lebih perhatian dari orang yang paling perhatian. Galang tak lebih paham dari
orang yang paling paham. Tetapi, ada sesuatu yang membuat Dira menerima.
Sayangnya satu, Dira takut luka. Itu saja.
Hari Minggu ini ulang tahun Galang.
Galang sengaja mengajak Dira pergi jalan-jalan. Dira sedang ngidam bermain sepeda di Monas dan bermain layang-layang.
Pagi-pagi mereka berangkat, menikamti keramaian Monas di hari minggu. Dimana banyak
orang berolah raga, bermain sepeda, bermain laying-layang, atau bahakan sibuk dengan
kegiatan yang sengaja digelar di jantung ibukota.
“Aaaa dia terbang tinggi sekali… aku
sukaaa…” Dira berteriak dan tertawa bahagia ketika layang-layangnya terbang
semakin tinggi dan tinggi. Ia berkonsentrasi mengendalikan laju layang-layang
dengan manarik dan mengulur benangnya.
Galang melihatnya dengan senyum
bahagia pula. Berharap mampu memupus luka-luka yang mungkin tak sengaja Dira
simpan, terlalu dalam. Terlalu lama. Atau mungkin sudah sembuh, namun tak ingin
lagi tergores sedikit pun. Sungguh, Galang ingin turut menjaganya, menjaga Dira
sekaligus hatinya.
“Udah capek, keringetnya udah banjir.
Pulang yuuk…” Dira menggulung benang layang-layang, lalu menyambar ranselnya.
Galang pun berkemas, mengikuti yang
Dira lakukan. Sejenak mereka bertedeuh di bawah pohon, melepas lelah. Setelah
meneguk air minum dari tumblernya, Dira merogoh ranselnya sekali lagi. Ia
keluarkan sekotak hadiah lalu menyerahkannya kepada Galang.
“Ini Lang buat kamu, tapi bukanya di
rumah aja yaa..” Dira yang cengar-cengir membuat Galang gemas dan ingin
mencubit pipi chubby-nya. Tapi pasti
Dira cepat-cepat menangkisnya. Biar kecil, Dira gadis yang gesit, kecuali dalam
insiden laptop tempo hari. Dira merasa benar-benar kecolongan. Yaa… sudah
jalannya harus begitu, mungkin.
Galang menerima kotak itu lalu
memainkan alisnya dan menebak-menebak isinya.
“Awas ya kalau kamu ngerjain aku… aku
kutuk kamu jatuh cinta sama aku… hahahaha…” spontan kepalan tinju Dira
melambung ke bahu Galang. “Awww..” Galang mengelus bahunya yang menjadi korban
keganasan Dira.
Sampai di rumah, Galang membuka
hadiah yang diberikan Dira tadi siang. Kotak yang dibungkus dengan kertas kado
warna biru bergambar kartun Smurf itu dibukanya perlahan. Tentu saja Galang
penasaran. Mmm sebuah scrapbook berwarna jingga berada di dalam kotak itu.
Galang membuka halaman demi halaman. Termuat foto-foto dirinya bersama Dira,
ketika sama-sama mengikuti acara komunitas mereka. Galang membaca seksama
setiap caption yang tertulis, Dikulum Senja Malioboro, Berlumur Lelah Suka Borobudur, Melawan Senyap Malam Alun-alun Kidul, dan tentu saja Jebakan Hujan di Benteng Vredeburg. Galang
tersenyum-senyum sendiri. Mengulang-ulang perhatiannya pada foto-foto yang
tentu saja mengikat erat ingatannya tentang kebersamaannya dengan Dira.
Di halaman terakhir scrapbook itu,
Dira menuliskan sebuah puisi
Aku
suka caramu menyapaku
Aku
suka caramu memahamiku
Aku
suka caramu merindukanku
Aku
suka caramu menyayangiku
Aku
suka caramu membahagiakanku
Terima
kasih, kamu
I
love you too
Galang menutup scrapbook dari Dira.
Malam itu juga dia menelepon Dira, mengucapkan terima kasih dan bercakap
sebentar.
“Masih pengin main flying fox?”
“Massiiiiihhh..”
“Yaudah besok bolos, aku mau culik
kamu sehari…”
Tanpa alasan mereka berangkat untuk
bermain flying fox. Sampai di lokasi, tetiba nyali Dira menciut. Apa iya,
dirinya yang bertubuh mungil berani bermain flying fox seperti itu.
“Aaahh gak jadi aah.. itu masa
bawahnya laut gitu.. aku kan gak bisa berenang. Gak mau ah..”
“Segitu aja nyali mantan atlet bela
diri. Oke..” Galang mengedikkan bahu.
“Isshh.. okeee… aku terima
tantanganmu. Aku mau merem aja… haha..”
“Terserah…” Galang tersenyum simpul.
Petugas sibuk memasang perangkat
safety untuk Dira. Setelah selesai, Dira melayangkan pandang ke sekeliling.
Galang tak ada di situ. Ia pun kesal. Tapi the show must go on. Dan… beberapa
detik ke depan Dira akan meluncur menyeberangi lautan.. hahaha..
Dira hanya mampu mendengar
teriakannya sendiri. Ia ingin memejam, tapi ingin juga melihat keadaan
sekitarnya. Sampai di seberang, Dira tak tahu seperti apa wajahnya. Semakin tak
bisa dipahami, tetiba Dira mendapati Galang berdiri di hadapannya,
tersenyum-senyum. Dira ingin mendaratkan kepalan tinjunya ke lengan Galang,
tapi tak berdaya. Ia lebih memilih sibuk melepas safety equipment yang membebat
tubuhnya.
“Apa kabar kamu?”
Dira justru menatap Galang dengan
sinis.
“Apa kamu bahagia?”
“Hiiihh… sebel ah sama kamu…” Dira
melangkah meninggalkan Galang.
Galang mengejar dan menyembul di
hadapan Dira.
“Takut? Masa sih? Kan kamu yang
kepengin banget, hehehe…”
“Iya… tapi kan maunya ada kamu juga…”
“Nah, kan ada, menyambut kamu malah…”
Dira memilih diam.
“Ya udah, gak usah ngambek. Orang sebenarnya
kamu itu pemberani, tangguh, kuat, apa lagi yaa… mmm… bukan penakut deh
pokoknya…”
“Truss..?”
“Yaaa… aku harap begitu juga dengan
masalah hati dan masa depan”.
Dira melongo, menatap wajah Galang
tanpa berkedip.
“Masa depan kamu gak akan hilang. Ia
selalu ada, memang butuh perjuangan meraihnya. Kamu berhak mendapatkannya. Aku,
tak akan hilang. Kamu, akan halal bagiku.”
Mata Dira berkaca-kaca. Ia ingin
Galang mencubit pipinya. Jika sakit, ia akan yakin bahwa ini bukan mimpi.
“Terima kasih, kamu, I love you too”
goda Galang seraya mengabadikan ekspresi Dira dengan kamera saat itu.
“Hiiiihhh Galang… kamuuuu…” Galang
berlari, menghidari gempuran tinju Dira. Dira mengejar, mengejar masa depan
yang semoga benar menjadi miliknya. Hadiah dari Tuhan yang saling menjaga
nantinya.
*ditulis untuk menjawab tantangan dalam Kelas Menulis. Ini lagunya sedih yaa? Tapi lagi pengin nulis yang happy ending.. xaxaxa...
No comments:
Post a Comment