Monday, January 14, 2013

Pulang pada Pelukan

gambar dipinjam dari sini

Dering telepon yang cukup kencang dan berkali-kali pun tak juga membuat Raras bangun dari tidur pulasnya. Baru dua jam lalu ia bisa memejam. Suhu tubuhnya serius menuju empat puluh derajat celcius. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring di tempat tidurnya. Mengangkat kepala pun dirasakannya sangat berat. Ketika membuka mata, ia justru merasakan sakit yang berlebih, bahkan untuk menelan ludahnya sendiri.

Ibu yang sejak tadi menelepon Raras semakin dibalut rasa khawatir. Tak biasanya Raras tak mengangkat telepon ibu yang berkali-kali. "Yah, Raras kenapa ya? Ini dari semalam loh Ibu telepon dia nggak pernah angkat. Dan ini nyambung loh, berarti kan handphone-nya bukan sedang mati kan?" kekhawatiran ibu semakin memburu. Ayah mengernyit, melipat koran yang sedang dibacanya. "Mungkin dia nggak dengar.. coba saja lagi nanti," komentar Ayah tak juga membuat Ibu lebih tenang.

Ibu terus berusaha menelepon Raras, mencari jawaban atas kekhawatirannya. Ibu tahu, di tempat kosnya, Raras sendirian. Apalagi di akhir minggu seperti ini. Teman-temannya banyak yang pulang ke rumah masing-masing. Pastilah Raras lebih sering sendirian. "Kalau begitu, ibu akan pergi mengunjungi Raras ya, Yah.." tiba-tiba ibu bersemangat dengan keinginannya. Kalau sudah begini, ayah tak bisa berbuat apa-apa.

Dingin membalut malam dengan gagahnya. Seperti pelukan yang enggan terlepaskan membuat tubuh Raras semakin menggigil, dan terus memanggil-manggil ibunya dengan terbata-bata. Mungkin ini rasa rindu yang telah ia redam terlalu lama. Banyak cerita yang tertahan, yang seharusnya bisa ia bagi dengan ibu. Namun entah, kemana perginya kesempatan, hingga membuat Raras memilih meredam semua inginnya, menyekat segala rasanya untuk menemui ibu. Hanya ingin menjadi dewasa dan mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri saja. Namun, semua justru mengatupkan segala pikiran-pikiran jernihnya. Justru membuatnya semakin lekat dengan pusing, sendirian.

Tok tok tok..

Terdengar pintu kamar yang diketuk dari luar. Semakin keras dan semakin keras. Berada diantara mimpi dan kenyataan Raras berusaha membuat tubuhnya bangkit. Namun tetap saja gagal. Ia justru terbatuk-batuk. Semakin membuat dadanya sakit.

"Nak, ini ibu. Kamu sakit? Bukalah pintunya,"

Dengan tetap dalam bebatan selimut, Raras berusaha berjalan menuju pintu dan membuka pintu kamar. Tubuhnya yang lemah tak bisa ditopangnya sendirian. Baru saja pintu terbuka, Raras sudah nyaris ambruk. Ibu yang terkejut dengan sigap memapah tubuh Raras kembali berbaring di tempat tidurnya. Ibu bisa merasakan suhu tubuh Raras yang meninggi. Wajah Raras yang pucat ingin sekali tersenyum atas kedatangan ibu yang begitu ia tunggu. Ia rindukan pelukannya. Dan entah bagaimana akhirnya kini berada di hadapannya dan mendekapnya.

Raras membuka mulutnya pelan-pelan. Sup buatan ibu selalu menjadi obat paling mujarab ketika ia sakit. Kehadiran ibunya lebih dari sekadar kehangatan yang ia butuhkan. Genggaman tangan ibu yang mengusir semua kelelahan. Kelelahan yang membuat tenaganya nyaris lenyap. Bahkan membuka mata pun seakan tak ia sanggupi.

Aruna tak ingin melepaskan genggaman ibunya. Ia ingin Kirani tak pergi lagi darinya. Aruna tak bisa menerima perpisahan ayah dan ibunya. Jauh dari ibu berarti membuat Aruna tak bisa menikmati hari-harinya. Melemahkan semangatnya. Tak ada alasan yang membuatnya tersenyum setiap hari. "Ibu jangan tinggalin Aruna lagi," ucap gadis itu pelan. Kirani mencium kening putri semata wayangnya. Air matanya menetes. Mengungkap bahwa bukan inginnya membiarkan Aruna sendirian.

"Tak ada ibu yang membiarkan anaknya sakit sendirian, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Cerita sama ibu, tak ada yang bisa menyekat segala firasat ibu tentang kamu," Raras bangkit, memeluk erat ibunya. Membiarkan air matanya banjir di bahu ibunya. Melepas segala kesal di hatinya. "Ras, kamu pasti kuat. Pulanglah ke rumah jika memang kamu ingin." Raras menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia masih belum sanggup menerima pria yang harus ia sebut ayah. Pria yang memutuskan menikahi ibunya sejak enam bulan lalu. Menggantikan tahta ayahnya yang berpisah dengan ibunya empat tahun lalu.

Hujan turun begitu derasnya. Menyamarkan isakan kerinduan. Kerinduan yang kemudian terbayar atas naluri sang ibu. Mengeratkan pelukan dalam dingin yang semakin menusuk. Perlahan mencipta kehangatan dan senyuman yang telah lama sama-sama mereka nantikan, setelah beratnya sebuah perpisahan. 




*Cerita ini ditulis sebagai replika cerita Semesta Rasa


 

2 comments:

Riesna Kurnia said...

halo...
entah kenapa tokoh Aruna mengingatkan saya pada seseorang. anyway, tulisan-tulisan kamu asik, bagus. :)
salam kenal ya.. :)

lunaspider said...

Halo, salam kenal juga... terima kasih sudah baca yaa.. :)

Wow.. ada apakah dengan Aruna? :D