Mungkin ini malam kesekian Maya merindu. Entah kepada siapa. Mungkin saja... kepada apa. Sepertinya sih lebih tepat ia merindu pada sesuatu. Ia duduk di sudut ranjang, membolak-balik sebuah album foto. Sesekali Maya tersenyum. Kemudian, sesekali ia pun cepat-cepat membalik lembar-lembar foto.
Kemudian Maya kembali menatap meja, dimana dua buah buku dan sebuah majalah berjajar disana. Iya, buku yang diterbitkan dengan nama Maya sebagai penulisnya. Sebuah perjuangan panjang yang ia lalui untuk mewujudkan impiannya. Dan, di majalah itu pun, artikel yang ia tulis kini akan dibaca sekian pasang mata. Bukan decak kagum yang ia nantikan, tapi memanglah sebuah kepuasan baginya saat mampu bercerita dan menyampaikan banyak hal yang ada di kepalanya. Maya menyebutnya, berbagi.
Bukunya, satu judul tentang puisi-puisi yang sering ia tuliskan atas nama cerita tentang cinta, kebebasan, serta perjalanan. Satu lagi, tentang cita-cita, yang ia bagi untuk para remaja. Ah, sederhana bukan? Tapi tahu kah? Maya selalu bahagia dengan apa yang dimilikinya, saat ini dan seterusnya. Semoga.
Maya memeluk album foto yang sejak tadi masih ada di genggamannya. Maya memejam. Dan, senyum ikhlasnya mengembang saat itu juga.
"Yah, Maya cuma ingin belajar. Maya ingin belajar dengan menulis," rajuk Maya kepada Ayah malam itu. Ayah keberatan atas pilihan Maya untuk menjadi penulis dan meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta.
"Kamu yakin dengan keputusan kamu? May, ayah sudah tidak bekerja lagi, mungkin ayah tak bisa membantumu sewaktu-waktu nanti," ayah mencoba menasihati Maya.
"Ayah, penulis itu juga pekerjaan kan? Tak ada yang perlu ayah khawatirkan. Mudah-mudahan Maya sanggup bertanggung jawab atas pilihan Maya," jawab Maya mantap.
"May, kehidupan ini mungkin permainan. Tapi bukan berarti kita bisa main-main dengan sebuah keputusan, Nak," ucap Ayah lebih serius. Menatap lekat-lekat putri perempuan satu-satunya itu.
"Maya tak pernah main-main, Yah. Maya serius, dan berjanji akan memperjuangkannya," Maya mendekat, duduk di sebelah ayah dan merangkul lengan ayahnya.
Ayah hanya terdiam, seraya membenamkan kepala Maya dalam pelukannya.
"Kalau nanti Maya sudah di Jogja, ada Kak Awan dan Bayu yang akan menjadi teman cerita ayah setiap sore. Kalau ayah kangen, ayah bisa kok telepon Maya kapan aja. Nanti Maya pesan juga sama Mama, kalau harus memasak menu istimewa buat ayah setiap akhir minggu, hehehehe...." celoteh Maya berusaha membuat ayahnya tenang dan tidak mengkhawatirkannya.
Ya, memang Maya memilih untuk magang di sebuah penerbitan kecil di Jogja, milik kakak kelasnya ketika kuliah. Maya yang mencintai menulis, bertekad mendalami ilmu kepenulisan di penerbitan itu. Menjadi asisten editor, dengan gaji yang tidak seberapa. Bahkan, untuk tempat kos saja, Maya harus rela berbagi dengan seorang temannya lagi.
***
Ini Hari Minggu. Jam sepuluh pagi. Telepon genggam Maya terus berdering tak berhenti. Sang empunya masih lelap dalam tidurnya dan justru menelungkupkan bantal di telinganya. Sebentar saja dering itu berhenti. Berganti dering pesan singkat berkumandang. Maya sekalipun tak memedulikan telepon genggamnya.
Seperti sudah menjadi kebiasaan, Maya hanya membalas cepat pesan singkat tentang pekerjaan. Pun begitu dengan telepon darurat, semuanya Maya utamakan untuk pekerjaan. Jangankan pacar, keluarga pun kerap ia nomor sekiankan.
***
"May, tuh ada paket dari Jakarta. Makanan lagi deh kayaknya," Gea, teman Maya mengabarkan berita yang menurutnya bagus. Dan, selalu sambil cengar-cengir.
"Ya udah, buka aja, pasti juga kamu yang kepengen ngabisin, hahaha..." Jawab Maya santai. Disambut kerlingan mata Gea yang kemudian membuka bungkusan. Bisa dipastikan isinya makanan, dari ayah Maya.
Karena Maya jarang pulang dan ayah juga tak sempat berkunjung ke Jogja, ayah selalu mengirimkan makanan-makanan kesukaan Maya. Katanya, biar Maya semakin semangat. Ah, tapi nyatanya, yang semangat menghabiskan makanan juga teman-teman kantornya.
Sekarang, sudah genap satu tahun Maya meninggalkan ayah yang begitu mengkhawatirkannya. Waktu yang singkat mungkin bagi Maya, karena ia lebih banyak disibukkan dengan segala urusan pekerjaannya. Tapi, bagaimana dengan ayah? Apakah ini juga waktu yang singkat?
Ternyata tidak. Dalam setiap pesan singkatnya, ayah selalu mengatakan sangat merindukan Maya, karena sudah begitu lama tak bertemu. Tak mendengar tawa Maya yang ceria. Tak ada lagi sore yang penuh cerita. "Nggak, ayah nggak pernah bosan dengar cerita Maya. Malah selalu seru," jawab ayah sambil terkekeh. Menjawab pertanyaan Maya yang khawatir ayahnya akan bosan mendengar semua ceritanya sepulang kerja. Namun, selama jauh dari ayah, Maya tak begitu banyak punya waktu untuk bercerita dengan ayah.
***
Maya mengambil sebuah buku besar dan tebal dari rak bukunya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Iya, itu kado ulang tahun dari ayah. Ayah yang membeli khusus untuknya, karena Maya tak suka selalu diberi baju ataupun boneka-boneka yang sudah semakin membuat kamarnya sesak.
Begitupun dengan sebuah tape recorder. Oleh-oleh dari ayah ketika tahu Maya menyukai korespondensi. Betapa senang ketika Maya menerima hadiah-hadiah itu. Mungkin, tak penting bagi orang lain yang tak membutuhkannya. Tapi ayah tahu, Maya sangat membutuhkannya. Dan pastinya, Maya menyukainya.
Kini Maya duduk di hadapan meja, dimana dua buah buku dan sebuah majalah berjajar disana. Kembali dibukanya album foto kesayangan yang sengaja ia bawa untuk mengobati rindunya kepada ayah, mama, Kak Awan, dan Bayu. Maya tahu, betapa sayangnya ayah padanya. Kekhawatirannya bukan karena tak suka. Itu tanda ayah sayang pada Maya, selalu peduli dengan keadaan Maya.
Ah, aku terlalu sering mengesampingkan segala urusan tentang ayah. Tapi, aku bisa semakin semangat juga karena dukungan ayah. Ayahku adalah ayah hebat. Ayah pendengar yang baik. Ayah kemudian memahami semuanya. Dan....membuktikan dukungannya.
Maya mengemas buku-buku dan majalah di atas mejanya. Dimasukkannya ke dalam ransel yang telah dipersiapkannya. Maya akan pulang besok pagi. Ke rumah ayah. Membawakan kejutan untuk ayah. Ayah tidak akan pernah sia-sia dengan dukungannya. Tuhan mengemasnya dengan indah. Menghadiahkan impian Maya yang sekarang menjadi nyata. Sederhana, tapi indah. Lewat dukungan dan do'a ayah.
Love you, Dad....
No comments:
Post a Comment