gambar dipinjam dari sini
Aku adalah Tuhan. Aku berkuasa. Aku dilahirkan untuk memenangkan
segalanya. Mendapatkan segalanya, dengan cara yang baik atau buruk. Aku
tidak peduli. Karena apa? Karena aku dilahirkan untuk menang, menjadi
pemenang, pemimpin dari keluarga paling hebat di negeri ini, Meksiko.
Keluarga Guillermo, otak di balik korupsi, nepotisme, prostitusi,
obat-obatan terlarang, dan segala bentuk ilegalitas.
Tentu saja pemerintah tahu. Tapi mereka bisa apa? Menangkapku? Hah!
Bisa-bisa mereka yang berakhir di ujung senapanku. Tentu saja mereka
bungkam. Mereka pun berkonspirasi denganku, atau lebih tepatnya menjadi
pengekor bagiku dan keluargaku.
Pemimpin bukanlah presiden, tapi aku, Rodrigo Guillermo. Kau mengerti?
Kemanapun Lamborghini-ku beranjak, maka akan selalu ada barisan
polisi yang mengawal. Kemanapun. Kapanpun. Memastikan bahwa jalanan
bersih dan aku terbebas dari segala gangguan.
See. Aku Tuhan.
Aku merapikan kemejaku. Sekali lagi meyakinkan kepada cermin, bahwa
akulah pemuda paling tampan di kota ini. Tak ada perempuan yang tak
takluk dalam pelukanku. Semua yang mereka ingin dapatkan bisa mereka
dapatkan. Asalkan, mereka dengan senang hati melakukan apa yang aku
perintahkan. Aku terbahak, dalam hati, dan tetap menjaga kewibawaanku.
Angelina, tengah menungguku di restoran yang telah kami sepakati.
Angelina, putri walikota, yang kini tak mampu terlepas dari jeratanku,
haha…
Aku memasuki restoran dengan dibuntuti pengawalku. Ada bisik-bisik
melintas di telingaku ketika aku berjalan. Berceloteh tentangku, baik
dan buruk. Bah, aku tak peduli. Aku tidak sedang berminat memotong lidah
siapapun hari ini. Aku berjalan bak raja, ketika ada bisik lain yang
terdengar.
“Oh… bukankah itu Nona Eunica, putri wakil presiden?”
Mereka membicarakan orang lain. Tak tertarik. Wanita tetaplah wanita.
Mereka akan sama saja seperti Angelina, atau wanita lain. Menempel
layaknya benalu. Mereka ada hanya untuk memuaskan gairahku. selebihnya,
bukan apa-apa. Tak ada yang menarik sedikitpun.
“Oh,
God… cantik sekali… lihat rambut keemasan berkilaunya. dan wajah porselen itu.”
“Ya, dia sangat sopan dan ramah. tapi aku tak habis pikir. bukankah dia selalu menolak lelaki yang mendekatinya?”
Mungkin mendengar kata penolakan, membuatku tertarik. Atau mungkin
karena mereka mengatakan dia adalah replika dari porselen. Entah. Aku
mengintipnya dari sudut mata dan melihatnya.
Cantik. Sama cantiknya seperti Angelina. Aku memilih untuk menikmati
semua yang aku miliki. Karena aku yakin tak satu pun mampu
menandinginya.
Tiba-tiba telepon genggamku berdering, mama meneleponku malam-malam.
Aku menjawab hati-hati. Aku tak mampu mendengar suara mama dengan jelas,
aku hanya bisa mendengar isakan tangis dan nafas satu-satu milik mama.
Aku dengarkan dengan lebih seksama. Ia menyebut berkali-kali nama
papa. Aku mengernyitkan dahiku. Ada apa dengan papa? Gumamku. Angelina
menggenggam punggung tangan kiriku. Aku semakin tak bisa menerjemahkan
kata-kata mama.
Papa.
Rumah sakit.
Jatuh.
Pistol.
Tertembak.
Aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh mereka. Namun kebisingan
yang melatari telepon di seberang sudah pasti menandakan situasi yang
tidak baik. Aku dengan cepat bediri dan bergesa keluar restoran.
Angelina kutinggal begitu saja, memanggilku berulang kali.
“Josue, pastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tau jika papa masuk rumah sakit sekarang.”
Aku mengomando pengawalku sementara mobil terus melaju. Aku
mengumpulkan informasi secepat kilat. Papa ditembak oleh musuh, kini
masuk rumah sakit. Mamaku sedang di sana, pasti beliau sudah berderai
air mata.
Fuck. Siapa yang berani menentang keluarga Guillermo!! Ingin menantang maut dia!
Sampai di rumah sakit, aku menyusuri koridor-koridor gelap menuju
kamar papa. Para pengawal berjaga-jaga di setiap ujung koridor,
memastikan tak ada penyusup yang masuk atau sekadar mengintai keadaan
papa.
Tampak Paman sedang berbicara dengan salah satu orang kepercayaan
papa tak jauh dari pintu ruangan tempat papa dirawat. Perih, ketika
melihat papa terkulai lemah. Tubuhnya yang tinggi besar pun tak sanggup
menopang bebannya saat ini.
Mama duduk di samping ranjang papa dan mengelus-elus kepalanya. Tak
peduli seberapa dingin sikap papa kepadanya, mama tetap saja menjaga
papa layaknya induk yang memedulikan anak-anaknya.
Aku mendekat kepada mama. Mengelus pundaknya pelan. “Kita harus kuat
Ma, tak ada yang bisa mengalahkan keluarga Guillermo. Kita punya
semuanya,” bisikku ke telinga mama.
Wajah letih pria di ranjang itu terlampau pias. Tak nampak damai
sekerutpun. Tubuhnya lemah, sama seperti elektrokardiogram yang bergerak
lambat di sampingnya. Beberapa selang melintasi tubuhnya, di tangannya,
di hidungnya. Kesadaran nampak mengawang, entah akan kembali atau
tidak.
“Ma, papa akan sadar.”
Iya kan? Aku akan melakukan segalanya untuknya. Tidak ada yang boleh
meninggalkanku. Tidak akan kumaafkan yang membuat papa menjadi seperti
ini. Tidak ada yang boleh terlepas dari genggamanku, termasuk penembak
itu.
“Josue, cari siapa yang menembak papa! bawa dia hidup-hidup! Aku ingin melihat wajah busuknya!”
Tiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttt……………
Garis lurus di elektrokardiogram melintas tanpa henti. Bersamaan
dengan tangis histeris mama, kerumunan dokter yang berlari mendekati
papa dengan berbagai peralatan. kami yang diusir keluar. Mama yang jatuh
pingsan. Semua terjadi begitu cepat. Aku tak mengerti.
Mama mengangguk pelan. Menyeka air matanya. “Rodrigo, mungkin kita
terlalu angkuh ya…” kata-kata mama bercampur isakan tangis, tapi aku
cukup jelas mendengarnya. Aku menganga. Apa yang sedang mama pikirkan
saat ini. Kenapa mama seakan menyerah.
Aku ingin berkata, tapi aku urtungkan. Aku tak mau suasana menjadi
semakin keruh. Biar saja aku dan paman yang mencari tahu penyebab dan
mencari penyelesaian masalah yang sedang terjadi.
.
Hari berlalu. Pemakaman berakhir dua hari yang lalu. Mama mengurung
diri di kamar. Aku dan Paman Alejandro masih mencari orang yang berani
bermain denganku. dipikirnya dia akan lepas begitu saja, hah!
“Guillermo harus dibunuh!!”
Aku masih baru terbangun ketika ada suara teriak kemarahan dari
jendela luar. Aku terkejut untuk beberapa saat, dan lebih dan lebih….
“Yaa!! Dia harus dibunuh!!”
“Dia sudah menyebabkan negara kita hancur berantakan!!”
“Ayahnya sudah mati! Sekarang seluruh keluarga Guillermo harus mati!!!”
“Bunuh!!!”
“Bunuh dia!”
“Bunuh!!”
Aku sengaja membuka tirai kamarku lebih lebar, agar dapat melihat
jelas orang yang sedang berteriak-teriak di depan pagar rumah itu. Bola
mataku pun membulat melihat sang empunya suara. Aku mulai mengenalinya.
Semakin jelas dan semakin jelas.
Dengan lantang ia bangga dengan terbunuhnya papa. Dengan lantang ia
berteriak akan membunuhku. Membunuh keluargaku, satu per satu.
Ya,
dia. Angelina.
Dia berdiri dengan tegap di memimpin lautan manusia yang menyerbu
rumahku. Manusia-manusia jelata yang harusnya tunduk padaku. pada Tuhan.
Berpikir apa mereka?!! Hey, aku Tuhan! Aku Tuhan!!
“Tuan Muda!” Josue berlari tergesa dengan wajah panik. “Orang-orang
itu sedang gila, Tuan! Mereka mulai membakar rumah! Sebaiknya anda cepat
pergi dari sini!”
Tidak. Ini tidak mungkin. Aku Tuhan. Iya kan? Iya kan?!!
Josue mengawalku menuju pintu rahasia rumah kami. Aku bersama mama
pontang-panting menyelamatkan diri. tidak kupercaya, Tuhan sepertiku
harus melarikan diri. Namun bodohnya aku. Pintu dibuka, dan aku baru
saja tersadar. Aku terkepung oleh lautan manusia.
Hey, aku Tuhan! Dengarkan aku!
Mereka tak peduli. Hidupku tamat sudah.
Tanpa kusadari, nyawaku tak menyatu lagi dengan raganya, aku.
***
“Sayang, ayo pulang,” seorang pria paruh baya menepuk pundak seorang
gadis. Gadis itu berbalik, mengangguk lesu dan mengekor di belakang
ayahnya. Ayahnya kemudian berkomentar sinis, “Eunica, kenapa kamu
menagisi iblis sepertinya? Dia bahkan tak pantas untuk hidup.”
“Daddy… semua orang pantas untuk hidup. Dia buta oleh kekayaan dan
kekuasaan, dan belum sempat untuk tersadar,” Jawab Eunica. Dia menyeka
air matanya. “Kasihan.”
Ayahnya mendengus.
Eunica tak peduli. Dia menatap nisan di belakangnya untuk yang
terakhir kali. Dengan ingatan yang membekas jelas. Bagaimana tatapan
pria itu begitu kelam dan kesepian, kala mereka beradu pandang di
restoran malam itu.
.
a collaboration of tragicomedy fiction with Gladish Rindra