Natasha berusaha menguatkan dirinya sendiri. Membiarkan telinganya tetap peka. Seolah tak memberi kesempatan sedikitpun pada konsentrasinya, untuk buyar. Setumpuk dokumen di hadapannya, harus segera dibereskan. Kerinduan mama yang tak mampu dibendung, tersinyalir dari dering telepon setiap saat... setiap waktu. Hampir menangis ketika Natasha tak mampu menjawabnya. Serta, menjumpa pelataran memorinya, yang siap menangkap sepenggal masa lalu yang tetiba menyapanya.
Ahh, ini apa? Bahkan berdiri tegak dari kursinya pun, berapa detik yang ia mampu? Hampir sebulan ia sendirian mencoba berdamai dengan keadaan. Semenjak dimutasi ke divisi baru, Natasha memiliki tanggung jawab yang lebih besar, dan kadang harus menghadapi klien yang cukup menyebalkan.
Ringtone Back To December-Taylor Swift dari handphone Natasha pun tak berhenti. Natasha yang mulai jengah dengan suara, menyambarnya, lalu menjawab telepon dari seberang, "Halo, Ta'.." jawabnya. Gita, di seberang masih geram karena Natasha begitu lama menjawab teleponnya. "Ah, kamu ngapain aja sih, angkatnya lama bener. Buruan deh kesini, udah pada ngumpul....." Gita terus meracau tanpa peduli keadaan Natasha. Uuuppss... Ya... hari ini, Natasha ada janji dengan teman-temannya. Mereka cukup lama tak bertemu. Tapi, Natasha lupa. Benar-benar lupa. "Ta', sorry, mungkin aku gak bisa dateng. Kerjaan aku banyak banget deh ini," keluh Natasha. Suasana mendadak hening. Natasha memainkan pulpen dia tas meja dengan jari-jarinya. Ia menunggu jawaban Gita. Tapi, tak ada. Gita mendadak membisu.
Gita menarik nafas panjang. "Kamu masih mau berdalih kerjaan? Yaudah, kalau kamu lebih memilih menjadi diri kamu yang lain. Bukan yang kami kenal dulu...." Kalimat terakhir Gita sekan menghujam jantung Natasha. Bukan. Bukan itu yang sebenarnya dia mau. Natasha ingat, jadwal hari ini pun, banyak mundur juga karena semua menyesuaikan waktu dengannya. Tapi, kenyataannya apa? Tetap, Natasha tak bisa memenuhi janjinya.
Natasha ingin marah pada dirinya sendiri, yang mengecewakan mereka, sahabat-sahabat yang sangat berarti baginya. Aahhh... itu cukup membuat Natasha kesal. Sayangnya, Natasha belum mampu menerjemahkan perasaannya saat ini. Natasha ingin sendiri. Tapi.. kenapa ia bahkan tak mampu jujur pada sahabat-sahabatnya. Mungkin, ia bisa menceritakan semua masalahnya, seperti sebelum-sebelumnya. Ihhh... kadang Natasha pun jengkel, pada dirinya.
Seperti malam sebelumnya, Natasha menelepon mama dan bercerita tentang banyak hal. Tapi, semua itu tak juga menjadikan perasaannya lebih baik, sepenuhnya. Natasha masih merasa ada senyum dan tawa yang kadang kurang jujur tercipta. Kenapa Natasha? Pertanyaan itu muncul lagi, dari Natasha, untuk dirinya sendiri.
Natasha mencoba menutup satu memori, satu perasaan, yang ia pun tak mampu memahaminya. Sepertinya, ini hanya cerita lalu, yang sebentar menghampiri dan menyapanya. Bukan untuk tinggal, seperti sebelumnya. Natasha seperti menyusp ke dalam rimbunan rindu yang sesungguhnya, ia tahu, ini tak akan ada ujungnya. Yaaahhh..... Ini sangat mengganggu. Gumamnya.
Sekali lagi, ia membaca satu pesan di handphone miliknya,
"Natasha, itu bukan cinta."
Sekali lagi, Natasha meringis. Lalu, "Apa dong....?" racaunya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
No comments:
Post a Comment