Monday, December 14, 2009

Nay, Maafin Dooong…

“Cekrek,duk” Nayla menutup pintu kamarnya.
Gosh, gue nggak pernah speechless kayak gini,” desahnya.
Nayla melepas kerudung dan cardigan yang tadi dikenakannya lalu meletakkannya di gantungan baju samping meja riasnya, lalu mengganti stelan t-shirt dan jeans belel itu dengan piyama pink bergambar teddy bear.

Sekejap kemudian, Nayla meringkuk di atas ranjang kecilnya, sambil sesekali membuka-buka majalah Alia yang tergeletak di salah satu sisi ranjangnya. Bukannya konsentrasi membaca, justru pikirannya menerawang. Entah kepenatan apa lagi yang singgah di benak gadis cubby ini.

Yudhis baru saja pergi, meninggalkan keraguan (lagi) buat Nayla. Dua jam tadi, Nayla hanya mampu memandangi Yudhis dengan t-shirt polo-nya. Hati Nayla masih pekat, tenggorokannya seperti tiba-tiba tercekat saat akan mengeluarkan kata-kata. Sedikit sekali yang berhasil ia lontarkan. Padahal Nayla si ratu bawel buat Yudhis. Menurut Nayla, cara yudhis cukup smooth untuk membongkar permasalahan yang tengah mereka hadapi.

Seperti biasa, Nayla nggak pernah mau membicarakan sebab musabab jika dia memang sakit hati dengan Yudhis. Pacar bukan sodara bukan, males ah cepet-cepet baekan, pikir Nayla sambil mlintirin ujung cardigannya. “Kamu kenapa?” kejar Yudhis. Nayla menggeleng-geleng, sambil sesekali meneguk Nescafe original yang sengaja dibuatnya untuk menemani sesi obrolan mereka.

Yudhis sudah mengajak Nayla ngobrol ngalor ngidul tanpa batas, tapi Nayla hanya memberikan jawaban-jawaban pendek. Setiap Nayla ingin angkat bicara, ia selalu teringat saat-saat itu. Betapa ia merasa ditampar oleh orang yang selama ini dia sayangi secara diam-diam.

Menurutnya, untung-untungan jika seorang Nayla yang introvert mampu menceritakan hal yang cukup privasi sama orang lain. Butuh kepercayaan khusus untuk bisa melakukan hal itu…tapi sayangnya, Yudhis melanggarnya, entah paham atau tidak, sengaja atau tidak yang jelas Nayla sangat sakit hati. Nayla paham, Yudhis telah menyadarinya, tapi nggak tau kenapa Nayla belum bisa mencairkan suasana itu, saat hanya ada dia dan Yudhis. Sebenarnya, Nayla tahu, Yudhis orang yang pengertian, laki-laki yang baik dan cukup baik kontrol dirinya.

“Ayo Nay, udah biasa aja, maafin aja dia,” suara-suara itu terus melintas di benak Nayla selama ia berada di hadapan Yudhis. Meski nggak disuruh, Nayla juga tahu itu, tapi berat banget untuk kembali terbiasa dengan Yudhis. Belum lurus bengkoknya tulang hati, dan belum kering luka tikam yang menyayat (mulai lebai). Bagi Nayla, ini masalah pertaruhan harga diri. Bagian dari perjuangan hidup Nayla yang tiba-tiba tumbang oleh Yudhis. Tapi paling tidak, ia sudah bisa tegar, tidak ingin menangis seperti sebelumnya.

Nayla meletakkan majalah yang tadi dibacanya, berganti memeluk guling kesayangannya, dan menarik nafas panjang. Ingin rasanya memejam mata untuk melupakan semuanya. Merebah, memejam, plaaasssss, tidur pulas dan menyambut besok pagi dengan perasaan yang lebih baik, menghargai semua maksud Tuhan, seperti yang ia upayakan untuk menghargai maksud Yudhis yang beritikad baik memperbaiki semua kesalahan yang ada. “Masih sayang kamu, kok Dhis,” desah Nayla sebelum memejam matanya. Tidur kali ini, diawali dengan senyum kecil buat Yudhis yang mungkin juga lagi bingung mikirin gue, hehehehe ngarep kali…batin Nayla.



**sepucuk naskah teenlit yang belom juga laku :p


No comments: