Mungkin suatu saat aku hanya bisa berjalan tanpa harus menentukan arah sendiri. Mungkin suatu saat aku hanya bisa melihat tanpa mampu memberikan komentar tentang apapun yang sedang ataupun telah aku lihat. Mungkin suatu saat aku hanya bisa mendengar tanpa bisa mengatakan tidak setuju. Kemudian aku terdiam. Mengunci pintu kamarku rapat-rapat dan menangis sendirian.
Berapa lagi rentang waktu yang mesti aku tunggu. Berapa panjang cerita lagi yang harus aku tulis. Berapa banyak lagi orang-orang asing yang harus aku temui. Berapa kejadian lagi yang mesti aku saksikan. Jika semua hanya ada untuk membuat aku terbungkam. Seperti aku yang sengaja memenjarai diriku sendiri.
Bising. Iya, hanya bising dengan tawa-tawa di atas nestapa-nestapa pada sekian luka. Mereka, tak pernah memedulikannya. Mereka reguk semua kemenangan di atas segala lemah diantara dosa-dosa yang tak pernah mereka tahu lebih atau kurangnya dibanding milik mereka sendiri.
Gusar. Iya, justru balasan gusar, kasar, bahkan kadang lebih tajam daripada cakar macan paling besar. Mereka bangga dengan segala kepemilikan besar yang tengah bersembunyi di balik punggung-punggung rapuhnya. Tak pernah pula mereka sadar bahwa apa yang kini dirasakannya bukan atas perjuangannya, sendirian.
Dan sekarang adalah masanya. Ketika aku tak lagi melihat taman-taman dengan pohon-pohon yang rindang, yang selalu memaksaku menari dan bernyanyi pada semesta. Tentang apa saja, semua yang aku rasa semestinya.
Dan sekarang adalah masanya. Ketika aku dipaksa diam dan terbungkam atas semua cerita yang aku saja enggan menikmatinya. Aku tak boleh membenci, katanya. Aku harus bersabar, katanya. Lalu, lama-kelamaan aku semacam melindaskan tubuhku diantara roda-roda kendaraan yang bertuan, yang mungkin aku kenal, yang mungkin juga tak perlu aku kenal atau justru belum dan tak pernah aku kenal.
Jika memang semua telinga tak lagi punya ruang untuk mendengar, jika memang semua bahu tak lagi mau menjadi tempat bersandar, jika semua mata hanya mau melihat dengan sebelah saja, jika semua hati tak lagi memiliki empati, jika semua kisah telah dipaksakan antiklimaksnya. Baiklah, aku berjuang... berjuang... tak ingin berkesah dalam pasrah. Aku takut Tuhan marah.