Aku, tak sengaja bertemu dengannya. Seorang pemuda biasa, yang menyemai kesabaran di satu sudut sebuah ibukota.
Kami duduk semeja. Menikmati malam dengan kudapan seadanya. Lalu ia terus bercerita, tentang sebuah ibukota.
Sejurus ia menjadi sangat serius. Katanya, ia ingin pandangan orang-orang tentang sebuah ibukota menjadi lurus.
Yaa, sehingga tak perlu mengira sebuah ibukota adalah surga dunia, yang mampu membuang nestapa dan pabrik yang membuatmu kaya raya serta bersahaja.
Ah, entah itu ulah siapa. Padahal semuanya sama saja.
Mungkin, kau bisa mendapat kemudahan, kemewahan, atau kesenangan apapun yang pernah kau impikan. Tapi, tolong, jangan kau lalai pada Tuhan.
Mungkin, kau akan temui pertengkaran, perebutan atau apapun yang disebut penindasan. Itu karena tak ada pengertian. Kesalahan anggapan bahwa sebuah ibukota adalah istana kemewahan.
Sudah, biar semua terlihat seperti biasa. Bahwa semua saja. Kau dan yang lainnya hanyalah manusia yang Tuhan sengaja berada di tempat yang sama, memperjuangkan hidupnya. Bukannya justru mengumbar nestapa.
Ah, mungkin, cerita pemuda itu masih sangat panjang. Tapi sayang, ia harus kembali berjuang. Merentang kepakan di esok siang dan tenggelam dalam petang.
Sekali lagi ia katakan, jangan lagi-lagi kau mewahkan. Karena anggapan kemewahan akan membuatmu dalam kealpaan.
Iya, semua, memang biasa saja. Ia, menutup ceritanya.
Wednesday, November 02, 2011
Cerita Pemuda Biasa
Monday, May 30, 2011
Setelah Tiga
Hujan. Menelan suatu kenangan. Nanti pasti berganti. Meski hanya dengan pelangi. Bukan matahari.
Setelah tiga.
Iya, setelah masa ke tiga, segera saja ada yang berbeda. Bahkan, Meyra tak pernah menyangkanya. Seperti hujan yang datang tiba-tiba dibalut kilat dan petir yang menyambar-nyambar. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali.
Meyra bertanya, sesaat saja Tuhan meminjamkan selimut cinta untuk mengobati luka. Tapi, seketika, selimut itu diambil-Nya lagi. Mungkin ada yang salah dalam perjalanan itu. Tapi Meyra tak tahu tebakan apa itu. Yang jelas, ia masih ingat jelas saat Tuhan menyelamatkannya dari kebimbangan yang terus saja mencumbui kesepian.
Merelakan untuk kembali dibalut sepi. Seperti kali ini, saat ia hanya mampu berdiri sendiri. Entah apakah suatu kali nanti akan ada yang menopangnya lagi. Tapi ia tetap percaya, bahwa Sang Maha Pemilik Cinta tak akan pernah membiarkannya berteman nestapa. Suatu kali, Meyra yakin akan mendapatinya lagi. Suatu cerita yang lebih bermakna dan membuatnya bahagia. Itu saja.