Hmmm..
kalau ditanya soal impian, saya suka senyum-senyum sendiri nih… soalnya langsung
menjalar-jalar kemana-mana. Mungkin karena terlalu banyak, hehehe… tapi bukan
masalah juga sih, dengan impian, rasa-rasanya justru menambah semangat yah…
Paling tidak, kita masih sadar bahwa masih ada hal-hal yang perlu kita raih. Dan,
bagaimanapun, meraih impian cukup besar sumbangsihnya kepada rasa bahagia… ya
begitulah kira-kira…
Seperti
anak-anak pada umumnya, saya memulai menyusun impian-impian saya di masa kecil.
Kadang pertanyaan, “Kalau sudah besar kamu mau jadi apa?” lumayan memainkan
imajinasi saya. Mulai dari jadi astronot, jadi menteri, penari sampai jadi
penyanyi, pernah hinggap dalam imajinasi saya.
Saya
sering menceritakan semuanya kepada kakek saya, yang kebetulan, saat itu lebih
punya banyak waktu untuk bersama saya. Beliau hanya pesankan, bahwa untuk
menggapai impian, kita harus banyak belajar dan berani mencoba.
Sampai
suatu saat saya punya impian menjadi jurnalis. Salah satu cita-cita yang
sedikit dilarang oleh kakek saya. Sepertinya beliau khawatir, karena jurnalis sering
menjadi korban teror. Kira-kira usia saya sepuluh tahun waktu itu. Saya kurang
paham dengan maksud kakek saya. Justru saya semakin penasaran, kenapa kakek
saya begitu khawatir. Padahal, menurut saya, pekerjaan itu cukup seru.
Walaupun
saya punya cita-cita lain, tapi saya tetap penasaran dengan profesi jurnalis itu. Tadinya saya ingin menjadi jurnalis perang, seperti dalam film-film yang
pernah saya tont. Tapi saya pikir-pikir, serem juga ya, mungkin itu salah satu
hal yang dimaksud bahaya oleh kakek saya. Lama-kelamaan saya beralih ingin
menjadi jurnalis olahraga. Ah, gantinya
gak nyambung banget ya… wkwkwkwkwkwk….
Ya
tapi bagaimanapun, saya tetap ingin menjadi seorang jurnalis. Titik. Dengan impian
itu, saya semakin semangat belajar menulis dan banyak membaca tentang banyak
hal. Waktu duduk di bangku SMA, saya mulai tertarik dengan hal-hal yang berbau
budaya dan isu-isu sosial. Lagi-lagi saya menemukan teman diskusi yang sangat
menyenangkan, iya, kakek saya. Alhamdulilaah. Saya bersyukur.
Hampir
setiap hari saya dan kakek saya berbincang tentang budaya dan isu-isu sosial. Saya menyebutnya sebagai ajang asah otak. Menyampaikan
rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala saya. Dari situ,
saya merasa, saya masih harus banyak belajar dan banyak membaca tentunya.
Kemudian, saya berpikir, kalau bertanya pada
kakek saya tentu saja saya lebih berani, tapi bagaimana kalau saya harus
bertanya kepada orang-orang yang baru saya kenal, atau bahkan belum saya kenal?
Ah, jangan-jangan dia tidak peduli pada saya, atatu bahkan enggan menjawab
pertanyaan saya. Wah ternyata harus latihan wawancara juga yaa…
Sempat
beberapa kali, dalam ekstakurikuler yang saya ikuti di sekolah, saya mendapat tugas
untuk mewawancara juga. Banyak hal baru yang dapat saya temukan dan saya punya
kesempatan untuk lebih memahami orang lain serta kejadian-kejadian di sekitar
saya.
Oke,
saya semakin menyukai dunia korespondensi dan kemudian menuliskan hasil
korespondensi itu. Sepertinya pada saat itu, saya berteriak dalam hati… “Aku
ingin jadi jurnalis…………!!!” xixixixixixi… berlebihan ya? Ya, tapi itulah yang
saya rasakan. Jujur, tak banyak yang mendukung keinginan saya itu. Pastinya,
kekhawatiran yang membuntutinya.
Tapi
saya masih yakin, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang cocok dengan jiwa
saya. Saya pasti suka melakukannya, dengan senang hati. Begitu saja.
Keyakinan
itu bertambah ketika saya duduk di bangku kuliah dan bertemu dengan teman-teman
yang memiliki faham yang sama, impian yang tak jauh beda. Saya banyak belajar
dari mereka semua, dan mulai mencari karakter dalam diri saya sendiri.
Saya
bergabung dengan komunitas penulis dan mulai belajar menjadi reporter untuk
majalah kampus, serta sebuah bulletin untuk Jurusan tempat saya belajar. Sedikit
demi sedikit saya memahami tentang teknis-teknis pembuatan sebuah berita. Mulai
dari merencanakan pemberitaan, mencari narasumber, wawancara hingga menuliskan
berita.
Sepertinya
sederhana tapi dalam prosesnya cukup banyak pelajaran yang saya dapat. Harus
tanggap, cepat, dan mental baja. Iya, pada awalnya saya cukup kaget dengan
tanggapan-tanggapan dari narasumber, termasuk juga tanggapan pembaca berita
setelah berita-berita tersebut dicetak dan disebarluaskan. Ya, semacam pro dan
kontra tentang suatu hal yang kita angkat menjadi sebuah berita.
Selama
kita mendapatkan narasumber yang tepat dan menuliskan berita sesuai dengan
faktanya, kita tetap bisa mempertanggungjawabkannya. Kalau dalam pikiran saya,
tulisan-tulisan yang saya buat adalah informasi yang saya harap dapat menjadi
masukan bagi pembaca.
Meski ternyata lebih dari sekadar
itu, saya tetap menyukai dunia korespondensi. Dengan banyak resiko yang mungkin
saya terima, saya rasa hal itu akan menjadi pelajaran berharga untuk saya, di
masa depan.
Rasa penasaran saya tentang dunia
jurnalistik tak terbayar begitu saja. Mungkin karena saya sudah terlanjur jatuh
cinta dengan dunia tersebut, sampai-sampai dalam penulisan skripsi pun saya
memilih tema untuk kaum jurnalis. Alasannya sederhana, saya ingin menulis yang
saya suka dalam dunia yang membuat saya jatuh cinta.
Saya juga bukan orang yang paling
kuat untuk bisa meraih impian saya. Di lain sisi orang-orang yang kurang
memberikan dukungan, ada juga yang dengan kukuhnya memberikan dorongan kepada
saya untuk meraih impian saya. Saya tahu, bahwa setiap perjuangan yang diridhoi
oleh Alloh akan bisa mendapatkan hasil yang baik, di saat yang tepat.
Langkah-langkah itu pun mendaratkan
saya pada sabuah tawaran menggiurkan. Dimana, seorang pemimpin redaksi sebuah
tabloid pendidikan menawarkan pekerjaan yang saya idam-idamkan kepada saya. Ya,
saya mendapat tawaran untuk menjadi jurnalis untuk sebuah tabloid pendidikan.
Subhanalloh, betapa baik Alloh kepada umat-Nya. Memberikan ijin untuk mendekat
pada hal yang dicintainya.
Saat itu skripsi saya belum selesai.
Saya harus mempercepat proses ujian agar saya bisa segera bekerja. Menjadi
jurnalis, salah satu impian saya tengah mendekat, sangat dekat dengan saya. Ayah
saya, agak keberatan saat itu. Tapi saya ingin mencoba profesi itu. Ayah saya
khawatir tentang ragam “uang suap” dan pulang malam pada saat itu. Kemudian saya
menjelaskan, bahwa sebisa mungkin saya menjauh dari hal-hal yang kurang baik,
yang ada dalam pikiran beliau saat itu. “Do’akan baik-baik saja,” kata saya
pada Ayah. Kemudian, ayah memberikan ijinnya juga kepada saya. Begitu juga
dengan ujian skripsi saya. Alhamdulillah semua beres.
Hingga pada hari yang ditentukan,
saya resmi menjadi jurnalis sebuah tabloid pendidikan. Memang bukan sebuah
media terkenal, tapi saya menyukai arah
pemberitaannya. Pada saat itu saya dipercaya untuk menulis berita-berita
pendidikan dan tentang remaja. Cukup menarik.
Ada banyak kejutan yang saya
dapatkan, sejak hari pertama. Saat itu, saya harus bisa mendapatkan dua berita
tentang pendidikan. Saya harus mencari sendirian, padahal saya pikir untuk anak
baru masih bisa tandem. Ternyata tidak… hehehehehe… Alhamdulillah semuanya lancar
dan dari hari ke hari saya menikmati pekerjaan saya, sebagai seorang jurnalis.
Seseru-serunya pekerjaan, selalu ada kejutan
yang menyenangkan dan kurang menyenangkan. Tapi sungguh, banyak pelajaran yang
saya dapatkan dari sana. Bagaimana memahami orang lain, kehati-hatian,
ketelitian, dan siap menerima wacana
baru. Intinya, bersahabatlah dengan diri sendiri untuk bisa menerima keadaan,
yang belum pernah kita duga sebelumnya.