“Duudull... katanya aku lagi cengeng... oyah?”, sentakku dalam hati.
Mungkin iya, apa hanya karena dalih aku kangen jalanan?! God, kenapa kau takdirkan aku untuk mencintai jalanan? Ternyata aku masih moody, sayang, kapan mau dewasa? “Yah kadang2 doang kaleee....” kilahku sedikit mencibir diriku sendiri.
Sekotak french fries dan segelas sundae strawberry bercampur debu pagi, membawaku terawang atas apa yang menyesak di dadaku kali ini serta tingkah konyolku tadi pagi. Lelah mencari seseorang yang telah lama tak kujumpai, sosok yang... sering ditepikan oleh mayoritas rakyat seperti kita, sok suci, sok kaya dan sok terhormat. Hanya karena sering melihatnya berteman dengan yang kumuh dan berumah 'kebebasan' seperti yang aku idamkan...
Unyil, aku mencarimu, aku kangen dihibur sama kamu, bulu matamu yang lentik, lincah gerakmu tanpa alas kaki, rambutmu yang keriting, kulit mu yang hitam karena terbakar daya paling bermankna, sang matahari dan satu lagi, kelihaianmu menghisap sepuntung racun yang dibalut rapi dengan kertas yang terasa manis katanya. Ya, semua yang ada dalam dirimu, seorang bocah berusia 7 tahun, ooops mungkin saat ini usiamu telah bertambah. Aku masih ingat, bercerita denganmu membuatku terasa menerima perihnya hidup.
Aku, memang tak lebih sengsara daripada kau, tapi kenapa kini aku harus sesenggukan di telinganya... (pasti dia geram...memalukan sekali ya...). aku tak pernah berpikir, jika aku yang memiliki takdir seolah lebih baik dari kau, dan tiba-tiba harus berjalan di atas roda kehidupan sepertimu, pasti aku tak akan setegar kamu, bocah. Aku hanya bisa bilang ini pedih, karena suatu kenyataan yang tidak, oops, maksudku kurang sempurna bagiku, aku, merasa diperlakukan bagai kacung oleh orangtuaku, mereka tak lagi pengertian, bahkan kejam pada batinku. Itu luka bagiku, Unyil.
Tapi kini aku tak dapat menemuimu, aku rindu saat kau membuka mataku kembali saat aku mulai roboh dan hampir terkalahkan oleh kekerasan hatiku. Di matamu ada kebebasan. Mungkin, orang lain tak melihatmu menggenggam masa depan dengan pasti, tapi aku tahu, kau mampu mengatasi semua masalah dengan kecerdikan dan ketangkasan jemari yang kau miliki. Bukannya malah sesenggukan sepertiku.
Kembali kulayangkan pandanganku pada pelataran pusat kota yang cukup luas itu. Masih pagi, tak cukup banyak orang bergerombol atau sedang temu kangen di trmpat itu. Ranting-ranting kecil beringin itu sedikit berayun saat angina pelan menghembusnya. Sejuk, tapi tak cukup lama, kalah oleh asap-asap tumpangan manusia-manusia pekarya itu. Setiap sudut bangku batu kuperhatikan, belum kutemukan sosokmu, Unyil. Sungguh, aku merindukanmu. Mungkin berjabat denganmu sudah cukup menguatkan aku.
Beberapa teman kecilmu mulai berlarian membawa kaleng bekas kosong yang siap menampung receh sumbangsih pejalan kaki. Berlari-lari kecil, hingga tak sadar kedua bocah itu menabrakku yang tengah memerhatikan sekawanan dara terbang kian-kemari. Seorang bocah gundul mendongakkan kepalanya, aku tersenyum, bukannya membalas senyumku, malah ia sodorkan kaleng dengan tangan kirinya. Aku diam sebentar, “Hei siapa namamu?” tanyaku. Dia hanya menggeleng. Aku ulang pertanyaan itu sambil sedikit mundur. “Iwan,” singkatnya. “Kau tahu dimana Unyil?” tanyaku lagi. Ia menggeleng. Aku ingin bertanya banyak, tapi aku sedang tak ingin bicara, aku masukkan satu koin 500 perak ke dalam kaleng milik Iwan, sebentar kemudian ia belari lagi mengikuti kawanan dara yang hendak pergi.
“Mbak, ini French fries dan sheaker kejunya,” sapaan waitrees berseragam kuning-merah itu membuyarkan lamunanku. “Terimakasih,” jawabku singkat sambil menarik sekotak kentang yang aku pesan untuk kedua kalinya pagi ini. Senyum waitrees itu seolah mengisyaratkanku untuk tenang saja.
Mungkin ini yang Tuhan maksudkan. Maunusia yang wajib belajar. Aku selalu bertanya, kenapa aku mencintai jalanan? Sedangkan Unyil pernah berkata padaku, kadang dia pun ingin menjadi anak rumahan, tidak pusing katanya. Tapi, dia selalu bisa menikmati setiap sisi hidupnya. “Ya nggak apa-apa,” itu jawaban pasrah yang selalu muncul dari bibir tipisnya yang kian menghitam akibat isapan ‘racun’ berbungkus itu. Matanya tidak pernah berkaca-kaca saat bercerita hal yang paling pedih sekalipun.
Ibu dan ayahnya saja sudah renta, kakak-kakak yang dia miliki saja tidak pernah menghiburnya. Justru ibunya memberikan seorang adik bayi, yang entah dia tak tahu kenapa bisa datang bayi itu. Kacau balau, rumah petak itu tak muat lagi. Ia hanya mampu berdalih senang bersama teman-temannya dan menyimpan harapan-harapannya dalam tiap kepulan asap rokok yang telah ia hisap. Unyil belum pernah berpikir untuk menjadi ranking satu di sekolahnya, belum sempat memikirkan cita-citanya di masa depan. Ia selalu menggeleng saat kutanya. “Yang penting bisa hidup,” mungkin itu yang ia pikirkan.
Pertahanan dirinya cukup hebat, untuk bocah sekecil itu. Sedangkan aku, hamper seperempat abad usiaku masih saja kacau saat menemui suatu ketidak sempurnaan. Tapi bagi Unyil, kesempurnaan itu tidak hadir dalam satu garis lurus dengan harapan. Kesempurnaan itu, ada di dalam hatinya, ia sendiri yang merangkai kesempurnaan itu. Ia bebas dengan hidupnya.
Aku pulang tanpa putus asa, ingin meraih besok pagi dengan senyumku, aku harap Unyil kini sudah bahagia.